3. Hancur

55 2 0
                                    

Hening di perjalanan. Sepasang muda-mudi hanya saling diam ketika mereka berada di dalam mobil yang sedang melaju ke sebuah tempat indekos. Tak ada yang mau membuka suara, Cakra dan Fika sama-sama diam berada di pikirannya sendiri.

Fika sedari tadi hanya menunduk sambil memainkan tangannya, menautkan jari-jari. Mungkinkah dia harus menikah? Mempunyai hubungan sakral ketika masih banyak mimpi yang ingin dicapai? Lalu bagaimana sebenarnya sikap Cakra? Fika tidak mungkin asal menikah karena insiden ini.

Berbagai pikiran hinggap di diri Fika. Namun, gadis itu tidak berani mengatakan apa-apa. Ditambah lagi dari tadi raut wajah Cakra tidak enak dilihat. Datar dengan tatapan tajam.

"Saya yakin kata maaf aja gak cukup buat kamu. Saya juga siap kalau harus nikahin kamu, apalagi kalau dalam diri kamu tumbuh makhluk lain," lontar Cakra mampu membuat Fika menoleh ke arahnya.

Fika menghela napas, dirinya memejamkan mata sejenak guna menghalau air mata yang ingin turun. "Saya harap tidak karena saya sendiri masih punya cita-cita," balas Fika.

"Semua juga akan berharap tidak ada hasil dari sebuah kejadian yang tak diinginkan. Kejadiannya aja tidak diharapkan, apalagi hasilnya," tutur Cakra.

Kembali hening beberapa saat. Cakra mengedarkan pandangan ke sekitar, lalu melihat Fika. "Ini ke mana?" tanya pria itu.

"Masih lurus, nanti di depan ada gang dekat warung nasi, nah belok di situ," jelas Fika.

Cakra mengangguk, dia kembali melanjutkan perjalanan. Mematuhi ancar-ancar dari Fika, lalu berhenti di depan gerbang dengan cat hitam. Cakra mengamati bangunan yang ada di depannya. Tampak seperti bukan rumah pribadi, banyak pintu yang terlihat dan berjajar.

"Makasih," ujar Fika. Dia hendak membuka pintu mobil, tetapi Cakra lebih dahulu membuka mulut untuk berbicara.

"Sekali lagi saya minta maaf."

Fika tidak menjawab, dia kembali melanjutkan pergerakannya. Cakra pun hanya diam, mengamati Fika yang membuka gerbang dan masuk ke pekarangan tersebut. Gadis itu menuju ke salah satu pintu yang kedua dari kanan, lalu membukanya. Cakra masih memperhatikan sampai Fika masuk ke dalam ruangan di balik pintu tersebut.

Dari pengamatan Cakra, dia berpikir jika Fika tinggal di sebuah indekos. Selain karena bentuk bangunannya, di gerbang hitam itu juga terdapat papan yang bertuliskan 'Ada kamar kosong. Khusus putri'

Cakra menghela napas pelan, sepertinya dia harus mencari tahu lebih dalam tentang gadis bernama Hafika Xaquila itu. Dia mengeluarkan ponselnya dari kantong celana lalu mengetikkan sesuatu. Kemudian Cakra kembali menghidupkan mesin mobil dan melajukannya ke arah jalan pulang.

***

"Hafika Xaquila. Alamatnya ada di Panti Asuhan Asa Insan. Tahun ini dia umur 19 tahun, baru aja lulus dari SMA Mahardika. Masuk ke SMA itu karena dapat banyak beasiswa. Harusnya tahun ini dia kuliah, Cak. Tapi gak ada daftar universitas yang dia masukin."

Cakra menyimak dengan baik rincian dari sahabatnya, Andra langsung mendapat banyak info tentang Fika setelah tadi Cakra meminta bantuan. Kini kedua pria itu sedang duduk santai di gazebo rumah Cakra, membahas perihal masalah yang sedang dihadapi Cakra.

"Berarti dia nggak kuliah?" tanya Cakra bingung.

"Sebenarnya dia dapet beasiswa buat kuliah, tapi gak tau kenapa dia gak kuliah."

"Intinya Bunda maksa Cakra untuk tanggung jawab, Bunda gak mau apa yang terjadi ke Bunda, itu juga terjadi ke orang lain. Paham?" sambung Winda ketika dia baru datang ke halaman belakang rumahnya. Dia menaruh dua cangkir teh hangat di meja.

Carka terdiam, menatap Winda dengan tatapan yang sulit dipahami. Kalau sudah membahas masa lalu Winda, Cakra menjadi sakit hati. Cakra sendiri susah memberitahu perasaannya sendiri. "Cakra minta maaf, Bunda," lirih pria 25 tahun itu.

My Indifferent HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang