✧✦epilogue✧✦

2.1K 248 69
                                    

✧✦

Date : June 11th 2015

Place : Counceling Room 301, Dr. Amelia Christine

Patient's Name : Benjamin Hayes Grier

Suffer : Post Traumatic Stress Disorder, -

Patient's History : he lost his brother in a terrible accident

Status : two weeks after the accident occur

Final Diagnose :

.
.
.
.

"Jadi... kau tidak tahu bagaimana dia meninggal?"

Hayes memainkan jari jemarinya di bawah meja. Matanya tertutup dan alis matanya berpaut. Hayes menggigit bagian dalam pipinya dengan kencang. Keringat dingin meluncur menuruni dahinya secara perlahan.

Hayes menelan ludahnya dengan bersusah payah. "Yeah."ujarnya.

Seorang psikolog duduk di depan Hayes. Psikolog itu mengamati gerak-gerik Hayes dengan penuh perhatian--sambil menjaga gerak-geriknya sendiri agar tetap terlihat seperti seorang psikolog ahli. Dia menarik nafas panjang dan membereskan berkas-berkas yang berisi informasi tentang pasien barunya ini dengan cepat-cepat.

"Sekarang permisi, Hayes. Aku ingin berbicara dengan ibumu. Kalau kau ingin bermain game atau memakan cemilan ambil saja ok? Jangan sungkan-sungkan."ujar psikolog itu--Dr. Amelia Christine--dengan ramah. Dr. Amelia menyuguhkan sebuah keranjang berisi dengan berbagai macam jenis cemilan di depan Hayes sambil tersenyum manis. Hayes hanya menatap keranjang itu sambil terdiam.

Dr. Amelia bangkit dari tempat duduknya dan membuka pintu. Hidungnya langsung mencium aroma bunga chamomile dari lilin aromaterapi yang memang sengaja dia nyalakan di kantornya. Ruang konseling tempat Hayes menunggu memang berhubungan dengan ruang kantor Dr. Amelia. Saat Dr. Amelia membuka pintu, matanya langsung bertemu dengan seorang wanita paruh baya yang menampakkan raut wajah khawatir.

Mrs. Grier langsung bangkit dari tempat duduknya saat melihat Dr. Amelia. Wajahnya terlihat seperti makin tua dan rentan--efek akibat kehilangan salah satu anak laki-lakinya dua minggu yang lalu. "Apakah dia baik-baik saja?"

Dr. Amelia menutup pintu menuju ruang konseling rapat-rapat. Dari sini, mereka masih bisa melihat gerak-gerik Hayes dari kaca dua jalur yang memang sengaja dipasang untuk mengamati pasien. Hayes sedang menutupi kedua wajahnya dengan kedua tangannya. Cemilan dan game yang sudah disediakan Dr. Amelia tidak dia sentuh sama sekali.

Dr. Amelia membimbing Mrs. Grier ke meja kerjanya. Dia duduk di kursi kerjanya, sementara Mrs. Grier duduk di depannya. Dr. Amelia tersenyum simpatik.

"Dia terlihat sangat terguncang dengan kematian kakaknya. Aku belum melihat gejala-gejalanya, namun masih ada kemungkinan bahwa dia akan terkena mental disorder lain selain PTSD."ujar Dr. Amelia. "Rekomendasiku adalah, sebaiknya Hayes tidak diperbolehkan lagi untuk tampil di depan khalayak ramai, seperti yang sering dia lakukan sebelumnya. Pekerjaannya dapat mempengaruhi keadaan mentalnya. Hayes bisa dengan mudahnya terkena depresi yang bisa mengarah pada kasus yang lebih parah."

Mrs. Grier menelan ludahnya dengan bersusah payah. Dia sudah kehilangan satu putranya yang sangat dia sayangi--dan dia tidak ingin kehilangan satu anak lagi. "Apa kasus yang lebih parah itu?"

Wajah Dr. Amelia seketika berubah menjadi suram. "Yah, kemungkinan terburuknya adalah, dia bisa terkena depresi berat dan mencari kesempatan untuk membalas dendam pada pembunuh kakaknya."ujar Dr. Amelia, hati-hati.

Mrs. Grier terkesiap kaget. Rasa dingin merambati punggungnya secara perlahan. "T-tapi... Julie ada di rumah sakit jiwa, bukan?"ujar Mrs. Grier, ketakutan. Dr. Amelia mengangguk.

"Yes, ma'am. Dia ada di rumah sakit jiwa dengan keamanan yang sangat ketat. Aktivitasnya dipantau 24/7 oleh dokter-dokter spesialis dan suster yang sudah berpengalaman selama puluhan tahun. She's in a complete isolation."

Mrs. Grier menoleh ke jendela, melihat anaknya yang sedang termenung di ruang konseling. Hayes sedang menutup kedua telinganya dengan kedua tangannya--seperti mencoba untuk tidak mendengar sesuatu. "Jadi... apa maksudmu dengan 'mencari kesempatan untuk balas dendam'?"

Senyum simpatik kembali terukir di wajah Dr. Amelia. Dr. Amelia menarik nafas dengan panjang. "Masih banyak kemungkinan bahwa Hayes akan membangun delusi dan halusinasi yang megah di otaknya. Walaupun kita memasangkan alat pembaca pikiran itu padanya sekarang, kita masih tidak tahu apa yang dia pikirkan saat dia sendirian.

Dan saat delusi dan halusinasinya mulai menjadi nyata, kita bisa mendiagnosa bahwa dia terkena schizophrenia. Trauma yang menyebabkan Hayes menderita PTSD bisa membuat Hayes menderita schizophrenia, dan hal itulah yang paling aku takutkan. Masih banyak skenario lain dan tidak ada satupun dari skenario itu yang bagus."

Mendengar kata-kata Dr. Amelia, satu butir air mata keluar menuruni mata Mrs. Grier. Dia segera mengelap air matanya itu dengan cepat-cepat. Dia tidak boleh menangis disini. Anaknya harus disembuhkan. "Jadi apa saranmu?"

"Dia harus mendapatkan perawatan secepatnya. Dia harus meminum obat yang aku tulis di resep ini dan menemui konseling setiap hari."ujar Dr. Amelia. Dr. Amelia mengambil buku resepnya, dan menuliskan obat-obatan yang diperlukan Hayes disitu. Setelah selesai, ia segera memberikannya pada Mrs. Grier yang langsung menjabat tangannya dengan penuh terima kasih.

"Baiklah, kalau begitu. Terima kasih banyak, Dokter."

"Panggil aku Amelia."ujar Dr. Amelia, tersenyum. Mrs. Grier mengangguk.

Dr. Amelia bangkit dari tempat duduknya dan berjalan ke arah ruang konseling. Dia membuka pintu ruang konseling dengan perlahan. Dr. Amelia berharap saat dia membuka pintu konseling, dia akan melihat Hayes bermain game dan memakan cemilan yang dia berikan. Tetapi tak disangka, saat Dr. Amelia membuka pintu, Hayes berada tepat di balik pintu--membuat Dr. Amelia berteriak kaget.

Matanya menatap Dr. Amelia dengan tatapan nanar. Rambutnya kusut dan berantakan. Pipinya dipenuhi dengan air mata dan hidungnya memerah. Bajunya yang tadinya rapi berubah menjadi kusut. Hayes terlihat seperti seseorang yang hampir mencapai batas kewarasannya.

Saat pintu terbuka, Hayes segera berjalan maju dan menggenggam lengan Dr. Amelia dengan sangat kencang.

.
.
.

"Dokter,"

.

Dr. Amelia menelan ludahnya dengan gugup. "Iya, Hayes?"

.

"Sebenarnya, ada yang berbisik di kepalaku."

.
.
.
.
.

Final Diagnose : Post Traumatic Stress Disorder, Schizophrenia, Major Depression -

✧✦

eyes ;; nash gTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang