.twelve.

2K 282 118
                                    


| hayes's |

Hayes mengetuk-ngetukkan jarinya dengan gelisah. Ponselnya tertempel erat di telinganya. Butir-butir keringat mengalir menuruni pelipisnya--memberikan sensasi geli yang terasa di kulitnya. Hayes buru-buru mengusap keringat itu dan kembali memfokuskan dirinya ke telefon.

Selain Hayes, orang-orang yang ada di ruangan itu juga ikutan gelisah. Keheningan janggal menyelimuti mereka semua--membuat suasanya jadi terasa tegang dan canggung.

Saat nada tunggu berubah menjadi suara operator, Hayes langsung melempar handphone-nya ke atas meja dan mengerang frustasi.

"Bagaimana?"tanya salah satu anggota FBI yang berkulit gelap, Derek. Hayes menggelengkan kepalanya, tidak. Air muka orang-orang yang ada di ruangan itu langsung berubah. Mereka langsung kembali tenggelam dalam pikiran mereka masing-masing dan kembali memikirkan bagaimana caranya mengontak Nash Grier dalam keadaan cuaca seperti ini.

"Coba lagi"ujar seorang pria jangkung berkulit pucat, Reid.

"Ini benar-benar membuang-buang waktuku saja."ujar Hayes, ketus. Jauh di dalam lubuk hatinya, dia memang sangat ingin kakaknya kembali dengan selamat--tetapi otaknya dipenuhi oleh pikiran-pikiran buruk.

Karena (menurut Hayes), kemungkinan menyelamatkan Nash dalam cuaca seperti ini adalah 0,0000000001%.

"Kau ingin kakakmu selamat atau tidak?"ujar Derek, setengah menyeru-setengah berbicara. Ekspresi mukanya datar tapi kata-katanya menusuk hati Hayes bagaikan ribuan tombak.

Hayes mengepalkan telapak tangannya sampai buku-buku jarinya memutih. Dia lalu menggebrak meja dan berkata, "Tentu saja aku mau!"teriak Hayes, marah. Air matanya tergenang--membuat penglihatannya blur. Pikirannya kalut memikirkan keselamatan kakaknya. Dia takut Nash akan mengalami hal yang sama seperti Cam.

Hayes takut.

Sangat amat takut.

Hayes menghempaskan diri ke kursi dan menangis tersedu-sedu. Ini sudah kedua kalinya dia menangis di depan banyak orang--dan di depan polisi.

"Maaf."

Dengan gemetar, Hayes mengambil kembali ponselnya dan men-dial nomor Nash. Hayes menggigiti bibir bawahnya--hal yang biasa dia lakukan kalau sedang panik atau gelisah. Matanya merah dan air mata masih turun membasahi pipinya.

Situasi ini sangat bodoh. Sangat amat bodoh.

Mereka sudah mempunyai semua yang mereka butuhkan. Mereka sudah punya senjata, transportasi, dan agen-agen yang sudah professional di bidang masing-masing. Tapi tetap saja, gara-gara badai hujan bodoh ini--mereka tidak bisa apa-apa.

Badai hujan besar membuat mereka terjebak di kota itu. Jaringan internet dan telfon menjadi terganggu. Sebenarnya mereka bisa saja langsung terbang ke Washington D.C dan menyelamatkan Nash. Tapi gara-gara badai bodoh ini, seluruh penerbangan menjadi tertunda. Mau penerbangan internasional, domestik, ataupun penerbangan pribadi.

Tim FBI yang ada disini juga sudah mengontak tim mereka yang ada di Washington D.C--tapi Hayes ragu karena kelihatannya saat ditelfon, suara yang terdengar di ujung sana terputus-putus dan telfonnya pun mati.

Mereka hanya bisa berdoa semoga badai hujan ini reda. Karena kalau badai hujan ini makin besar, kemungkinan terburuk adalah jaringan internet dan telfon bisa putus dan penerbangan ditunda lebih lama. Dan kalau itu sampai terjadi, hilang sudah harapan mereka untuk bisa menolong Nash.

Bagaimanapun caranya, mereka benar-benar harus menyelamatkan Nash--dan menangkap Julie Tanner.

Karena sekarang,

eyes ;; nash gTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang