Bab 2

1.6K 91 2
                                    

Hai, ketemu lagi👋
Jangan lupa Vote dan Komen yaw

Selamat Membaca☘️

***

"Mau makan apa, dek?" tanya Cael

"Hm, bakso dung, bang. Yang pedes," jawab Arlen sambil berbinar membayangkan betapa nikmatnya rasa pedas yang sebentar lagi akan ia rasakan.

Namun, sayangnya bayangan Arlen harus hancur saat sepiring nasi goreng terletak di depannya. Melihat bentukkan nasi saja, Arlen sudah menduga nasi goreng di depannya ini sangat biasa, alias tidak akan ada rasa pedas sedikitpun.

Arlen menoleh ke arah Zean, pelaku yang meletakkan nasi goreng di hadapannya.

"Bang Zi, kok nasi goreng sih?! Kan Lele tadi minta bakso. Tukar," sungut Arlen kesal.

"Nggak, makan ni aja."

Wajah Arlen semakin cemberut, pipinya mulai bersemu merah. Bukan karena tersipu, melainkan kesal.

Kalau tahu gitu, ngapain susah-susah nanya tadi. Batinnya menggerutu.

Dengan tidak ikhlas, Arlen ogah-ogahan memasukkan nasi goreng ke mulutnya. Cael, Zean dan Deni hanya menggeleng kepala menatap perilaku adek imutnya itu.

Buka tidak mau memberi, tapi mereka tahu jika perut Arlen tidak sanggup menerima makanan berasa pedas. Ujung-ujungnya sakit perut dan berakhir demam. Lebih mencegah daripada sakit, bukan?

"Dek, nanti pulang sama siapa? Sama abang mau?" tanya Cael setelah makanannya selesai.

Arlen meneguk minuman punya Deni terlebih dahulu sebelum menjawab pertanyaan Cael, "Lele bawa motor, bang."

"Cil, minuman gue!" teriak Deni tertahan. Ia hanya pasrah saat minumannya tinggal seperempat. Mau marah, takut soalnya ada dua pawang di depannya. Pasrah aja lagi.

"Oke, kabari kami nanti waktu dah di rumah."

Arlen mengangguk mengiyakan.

***

Sebelum pulang, Arlen terlebih dahulu mampir ke minimarket. Pemuda itu ingat kalau susu kalengnya habis di kamar. Jadi ia mampir sebentar untuk membelinya.

"Rp 20.000 mas."

Arlen memberikan uang berwarna hijau sebelum berlalu, "Makasih, mbak."

Arlen bersenandung menuju motornya. Di pintu minimarket, remaja  15 tahun itu berpapasan dengan pemuda yang ia terka berumur 20 tahunan. Bagi Arlen mungkin tidak ada yang aneh. Namun berbeda dengan pemuda itu. Lelaki itu merasa jantungnya tiba-tiba berdetak kencang. Ia yakin tidak ada yang salah dengan jantungnya, namun remaja yang membawa sekaleng susu coklat itu penyebabnya.

Rian, lelaki yang tengah duduk dibangku kuliah itu namanya, yang saat ini menoleh ke belakang melihat punggung Arlen yang telah naik ke atas motornya, bersiap melaju pergi. Degupan jantungnya belum mereda, tidak menyakitkan, malah mendatangkan kembali perasan rindu pada sosok yang telah lama hilang. Adik bungsunya.

Tidak mau kehilangan, Rian segera memfoto plat motor Arlen yang kini telah menjauh. Ia mencari nomor asisten ayahnya dan menelponnya.

"Cari data pemilik nomor plat ini" perintah Rian sebelum mematikan panggilan secara sepihak.

"Adek, " lirihnya sendu.

***

Arlen memutuskan mengubah haluan pulang dari panti menuju markas. Sebagai salah satu anggota inti dari geng Feata, tak jarang Arlen menghabiskan harinya di markas. Walau tubuhnya hanya memiliki tinggi 155 cm, jangan salah ia merupakan salah satu anggota terbaik  dari segi keahlian.

Arlen memasuki bangunan yang dijadikan markas oleh geng mereka. Terdapat beberapa anggota yang berada di dalamnya dengan berbagai aktivitas.

"Len, tumben mampir?" tanya Jo saat menyadari kedatangan Arlen.

"Iya, gue ke atas dulu."

Jo mengangguk paham saat mendengar itu. Ada beberapa waktu dimana Arlen akan ke markas hanya untuk menenangkan diri. Dan itu berarti tidak ada yang boleh mengganggunya sampai si empunya keluar sendiri dari ruangannya. 

"Siapa?"

Suara dari belakang Jo menginterupsi kegiatannya. Jo menoleh, terlihat seorang pemuda sebayanya, berjalan sambil membawa sekantong plastik.

"Arlen," jawab Jo singkat.

Geral, ketua geng Feata, mengangguk paham. Ia melanjutkan kaki menuju lantai dua. Semua anggota tahu, jika ada yang bisa menganggu Arlen pada masa tenangnya, maka Geral lah orangnya. Remaja kelas 12 itu membawa langkahnya pada pintu hitam yang tertutup rapat.

Tanpa mengetuk pintu, Geral membuka pelan ruangan di depannya. Dapat ia lihat, Arlen yang tertidur membelakanginya.

Geral meletakkan barang bawaannya sebelum mendekati tubuh Arlen.

Ia mengelus rambut halus Arlen, "Lele," panggilnya lembut.

Mendengar suara Geral yang telah dianggapnya sebagai abang, Arlen membalikkan tubuhnya. Dilihatnya Geral yang tersenyum lembut sambil mengelus tangannya.

"Abang~" rengek manja Arlen.

Arlen merengsek masuk ke pelukan Geral. Meletakkan kepalanya di perut abs Geral. Tangannya melingkar erat di pinggang Geral. Sesekali Arlen menggesekkan hidungnya ke perut Geral.

"Lele kenapa, hm?"

Arlen menggeleng pelan.

"Abang, mo tidur," pinta pelan Arlen.

Geral merebahkan dirinya ke kasur,  membuka tangannya menerima Arlen di pelukannya. Tubuh Arlen terasa kecil dan pas di tubuh besar Geral. Terkadang Geral merasa takut tubuh di pelukannya ini akan hancur jika ia memeluk terlalu erat.

"Ada masalah?"

Arlen mengeratkan pelukannya

"Nggak ada bang. Lele... cuman lelah aja."

"Yaudah, ayo tidur," Geral menggerakkan tangannya ke punggung Arlen, mengusap pelan. Sesekali ia mengecup puncak kepala Arlen.

Tak menunggu lama, Geral mendengar dengkuran halus dari pelukannya. Setelahnya, Geral mengusul Arlen yang telah terlelap lebih dahulu

***
Tbc.

That WarmTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang