Happy reading
***
Remaja berusia tanggung itu mengembuskan napas lelah. Sebagian besar energinya telah tersalurkan dengan baik. Saat ini hal yang ingin sekali ia lakukan adalah mencharger tubuhnya. Dan disinilah ia.Arlen, laki-laki yang saat ini melepas lelah di sudut tersepi taman kota yang jarang dikunjungi oleh masyarakat di jam-jam istirahat. Lagipula siapa lagi yang akan mengunjungi taman di pukul 23.00 selain poci dan teman-temannya. Nah, kebetulan Arlen ini sebangsa mereka, terkadang.
Raut wajah lelaki itu sulit diartikan. Tatapannya menengadah ke langit. Menatap penuh arti gelap malam. Kemudian tatapannya menurun menatap jemari yang masih terbungkus sarung tangan hitam.
Perlahan Arlen membuka kait sarung tangannya. Menarik hingga terlepas. Hanya sebentar sebelum fokusnya teralih pada sesuatu yang menempel di sela jari tengahnya.
Tatto.
Berbentuk sulur melilit yang terpotong. Berukuran kecil hingga jika dilihat sekilas hanya terlihat seperti coretan tak berarti. Namun, memang itu yang Arlen mau. Sampai saat ini, tidak ada yang pernah notice keberadaan tatto kecilnya ini. Karena hampir setiap hari, lelaki berwajah baby face itu menambalnya. Bahkan ketiga sahabat dekatnya pun tidak pernah menyadari.
Lamat-lamat Arlen mengusap cetakan kecil itu. Sudut bibirnya terangkat pasti. Tatapan matanya terpancar puas.
"Nah..."
"Time is over."
***
Arlen berjalan dengan santai menuju kamarnya. Saat ini Arlen lebih memilih untuk menginap di kos. Walau bunda selalu menyuruhnya untuk tetap tinggal di panti, tapi sebagai orang yang sudah dewasa-menurut Arlen sendiri-makanya Arlen memilih bertahan seperti orang dewasa."Hah..."
Remaja mungil itu merebahkan badannya di atas kasur. Merasakan setiap ototnya melemas dan nyaman. Seakan semua lelahnya hilang perlahan.
Drtt drtt
"Halo, bang"
"Dimana?"
"Di kos bang"
"Oke, otw"
"Eh, jan-"
Tut tut
Arlen melihat layar hpnya yang telah hitam.
"Ck, dasar nggak sopan. Untung abang."
Geral, orang yang menelpon Arlen tadi. Ketua gengnya itu selalu saja menutup panggilan secara sepihak.
Acuh, Arlen kembali merebahkan badannya. Sembari memikirkan kenapa Geral datang ke kos. Mana nada suaranya datar lagi. Seperti ada yang salah. Tapi apa ya?
Satu detik
Dua detik
Ti-
"Astaga, mampus gue!" Arlen bangkit sembari melotot horor. Tangan kirinya menepuk keningnya tak percaya.
Arlen yakin Geral saat ini mau memberikannya hadiah. Tidak, saat ini bukan waktunya memikirkan kesalahan atau hukuman. Yang pasti ia harus lari alias kabur.
Buru-buru Arlen beranjak mengambil kunci motor di gantungan. Lalu melangkah cepat menuju motornya. Ia harus cepat, jangan sampai Geral lebih dulu datang.
"Akhirnya hidup ju-" senang Arlen ketika merasa ia bisa bebas dari cengkraman geral.
"Mau kemana?"
Sayangnya, suara berat dari arah belakangnya, memudarkan senyum bahagia Arlen. Matanya terpejam merutuki. Dengan berat, Arlen memutar kepalanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
That Warm
Teen FictionCerita Brothership ✔️ Bukan BxB❎ *** Dengan fakta kalau ia di buang, Arlen bersyukur Hena, pengurus Panti Asuhan kencana, bersedia mengadopsinya. Ditambah tiga sahabat yang protektif tingkat dewa yang terkadang membuat Arlen merasa pusing. Apalagi...