Bab 5

1.1K 73 0
                                    

Happy Reading🥀

***

Sedari bangun tadi, ekspresi Arlen terlihat mendung. Tak ada tanda-tanda matahari terbit dari wajahnya. Bahkan lelaki itu mengabaikan panggilan Deni di parkiran tadi.

Arlen melangkah menuju kelas dengan ekspresi dingin. Orang-orang di sekitar menjadi ragu untuk menyapa remaja itu. Melihat aura yang dikeluarkan, lebih baik menjauh daripada dihantam oleh lelaki mungil itu.

Merasakan kondisi hatinya yang masih tidak enak, Arlen memutuskan mengubah haluan dari kelas menuju rooftop.

Dengan pandangan lurus ke depan, Arlen menaiki setiap tangga dengan tenang.

Zean yang kebetulan kembali dari kantin, merasa aneh saat merasa melihat  kelabat Arlen menaiki tangga. Ia mengambil ponsel, mendial nomor Cael.

"Ha–"

"Lele di kelas?" potong Zean sembari menatap lekat tangga yang kosong.

"Nggak, kenapa?"

"Oke"

Bip

Zean menutup panggilan, sebelum bergegas menyusul sosok yang ia kira sebagai Arlen.

***

Cael menatap bingung ponsel yang sudah menghitam. Kenapa Zean menanyakan Arlen, bertepatan pul dengan Arlen yang belum masuk.

"Den, lu liat Lele, nggak?" Cael bertanya pada Deni di sampingnya.

"Hah? Eh, iya kok Lele belum masuk juga ya?" ujar Deni setelah melihat-lihat sekitar.

Mendengar itu, Cael beranjak cepat mencari Arlen ke luar. Tangannya tergerak mengambil ponsel. Demi melihat Cael yang beranjak. Deni cukup tau kalau terjadi sesuatu dengan adik beda ibu itu.

"Dimana?" tanya Cael cepat saat Zean mengangkat ponselnya.

"Rooftop"

Cael menambah kecepatan larinya menuju rooftop. Deni di belakang turut mengikuti langkah sahabatnya.

***

Arlen membuka pintu rooftop yang memang jarang dikunci pihak sekolah. Kondisi rooftop bisa dibilang cukup kondusif. Apalagi tempat ini sering dijadikan tempat bolos oleh anak-anak lain.

Ada beberapa kursi, meja dan dua buah sofa bekas yang masih layak pakai.

Arlen memilih mendudukkan diri di pojok yang terlindungi dari sinar mentari. Ada sebuah kursi di sana.

Remaja itu merebahkan punggungnya sembari menatap langit yang saat ini terlihat bersih. Hanya ada sedikit awan yang bertengger di langit. Suasana yang indah dinikmati sebenarnya. Namun, sayang kondisi hati Arlen saat ini tak memungkinkan menikmati keindahan ini.

Huff

Arlen menghembuskan napas panjang. Sejak tadi pagi, pikirannya tidak bisa tenang. Perasaannya juga sedang kacau. Biasanya kalau seperti ini, akab ada sesuatu yang terjadi nantinya. Entah itu buruk ataupun baik.

Arlen mengambil sesuatu di kantung celananya, sebuah rokok. Remaja itu memantik rokok, kemudian mengisapnya kuat. Lalu, pelan ia hembuskan ke atas. Terus begitu hingga pikirannya tenang.

Untung saja, ketiga sahabatnya tidak tahu. Arlen selalu hati-hati dalam menggunakan barang nikotin ini. Selama ini, ia hanya merokok saat sendiri saja. Bahkan ketiga sahabatnya tidak mengetahui sama sekali.

Arlen kembali mendekatkan rokok di tangannya yang tinggal sebelah, sebelum sebuah tangan mencengkram pergelangan tangannya. Tidak kuat, namun mampu menahan niatnya.

Arlen terkejut sebelum mendongak, melihat siapa yang sudah berani mengganggunya. 

"Merokok, hm?" suara tajam bernada rendah itu, cukup membuat mata Arlen melotot takut.

Ya, Cael yang mencengkram tangan anak itu sebelum Arlen berhasil mengisap benda di jemarinya. Lelaki itu sungguh terkejut melihat dengan matanya sendiri bagaimana Arlen menikmati benda laknat ini. Sejak kapan adik polosnya berani memegang benda ini. Rasanya Cael ingin membunuh siapapun yang mengajari adiknya ini.

"Ba-bang," cicit Arlen tergagap takut sembari patah-patah berdiri.

Diliriknya kedua sahabatnya, Zean dan Deni, yang memandangnya dengan tatapan tajam. Habislah ia setelah ini.

Badan Arlen sedikit menggigil ditatap tajam oleh tiga pasang mata di depannya. "Beraninya kau memegang benda ini, hah?!" Cael merampas rokok di sela jemari Arlen, sebelum akhirnya meremasnya hidup-hidup.

"Siapa yang mengajarimu, hah?!" sentak Cael kencang.

Arlen menggeleng, matanya sudah berkaca-kaca, siap menumpahkan gelombang air mata.

"ARLEN, JAWAB!!!"

Melihat Arlen yang hanya diam dan menggeleng, dada Cael semakin menggebu. Ia mencengkram pipi chubby dengan tangan kanannya sedikit kuat. Terlihat lelehan air mata sudah membanjiri wajah Arlen.

Cael tersenyum miring, "No answer, baby?"

Arlen menggeleng ribut, isakan sudah mulai terdengar. "Ab-aba-bang, hiks,  sowly," ucap Arlen tak jelas.

"Sepertinya ada yang mau dihukum," ucap Cael bernada ngeri.

Setelah itu, Cael menarik paksa lengan Arlen menuju ruang pribadinya. Arlen memberontak takut saat sadar tujuan abangnya ini.

"Enggak, enggak, hiks. Abang adek minta maaf, hiks," jerit Arlen tak mau.

Cael tetap diam mengabaikan jeritan si kecil. Zean dan Deni cuman menurut. Mereka tahu, hanya Cael saat ini yang bisa menghukum Arlen. Meski mereka juga marah, namun Cael pasti akan menyelesaikan dengan baik.

Sesampainya di depan ruangan pribadi yang dibuat khusus untuknya,  Cael membuka pintu, lalu memaksa Arlen masuk ke dalam.

Arlen terus memberontak, berusaha melepas diri dari cengkraman Cael. Bahkan ia juga meminta tolong pada Zean dan Deni, meski harus diabaikan.

"Abang, pliss, jangan. Adek takut, hiks.   Maafin adek, hiks." Arlen memohon sambil menggeleng ribut. Wajahnya sudah sembab dari tadi.

Cael tersenyum miring, sebelum Arlen tiba-tiba merasa pusing. Penglihatannya mulai mengabur. Sebelum ia jatuh tak sadarkan diri, Arlen mendengar Cael berucap sesuatu.

"Nah, baby. You have to accept your 'reward'."

***
Tbc.

Senang akhirnya bisa update lagi. Menurut kalian sejauh ini, ceritanya gimana?

Jangan lupa vote dan kome ya☺️

Tandain typo

That WarmTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang