Bab 3

1.4K 76 4
                                    

Happy Reading☘️

***
Rian buru-buru memasuki mansion tatkala mendapati mobil yang biasa dikendarai Daddy telah berada di halaman. 

Mansion bergaya eropa dengan sedikit sentuhan klasik khas tahun 90'an, berdiri gagah di tengah-tengah kota. Pertemuan warna natural dengan gold menyatu memberikan kesan mewah, simpel tapi terkesan mahal. Tidak salah keluarga Selger–pemilik mansion– mengeluarkan miliaran uang demi membangun 'rumah' ini.

Rian melangkah menuju ruang keluarga saat mendengar suara percakapan di sana. Dilihatnya tiga pemuda sedang berbincang.

"Mana Daddy?"

Pemuda berwajah lebih muda menjawab pertanyaan abang keduanya, "Ruang kerja, kenapa?"

Tidak menjawab, Rian memilih berlalu, menaiki lift menuju ruang kerja Daddy.

Si pelaku yang bertanya berdecak kesal. Sudah biasa diacuhkan oleh kedua abangnya yang kaku macam kanebo kering. Mentang-mentang anak bungsu.

***

Rian mengetuk pintu di depannya, hingga terdengar suara jawaban, baru ia memutar knop pintu. Ia melihat daddy berkutat dengan komputer, terlihat serius.

Daren, sang daddy, menoleh ketika seseorang masuk ke ruangannya. Keningnya berkerut, heran. Tumben anaknya apalagi Rian datang menemuinya.

Rian berjalan mendekati Daren.

"Kenapa, bang?" tanya Daren setelah menepikan aktivitasnya.

"Daddy, abang mau minta tolong"

"Apa?"

"Tadi abang ketemu ama seseorang. Nggak tau kenapa, jantung abang berdegup kencang. Biasanya abang nggak pernah kayak gini. Tapi ketika abang pas-pasan ama dia, abang ngerasa de javu."

Daren masih menunggu apa yang sebenarnya akan diutarakan oleh anaknya ini.

"Abang rasa–"

Rian menghembuskan napas terlebih dahulu. Ia terlihat gugup menyampaikan kalimat selanjutnya.

"Abang ketemu adek" ucapnya lega sambil menunduk menanti respon daddynya.

Seketika suasana menjadi lebih hening. Rian bahkan bisa mendengar degupan jantungnya yang berdebar kencang. Ia tahu, sangat fatal akibatnya jika ia hanya membual mengenai adik bungsunya. Ya, adik bungsu yang telah lama hilang.

"Rian, kamu tahu bukan apa terjadi kalau kamu salah kira?" suara Daren terdengar lebih tajam dari sebelumnya.

Mendengar suara rendah Daren yang tajam memanggil namanya, Rian paham jika ia tidak bisa main-main. Ada hukuman yang menanti ketika ia terbukti salah.

Setelah menenangkan diri, Rian mengangguk mantap, menatap daddynya.

"Abang yakin, dad"

"Daddy bisa suruh orang daddy buat cari siapa pemilik plat motor ini. Abang yakin kali ini kita akan mendapatkan petunjuk."

Demi melihat bara keyakinan dalam netra putranya, Daren mengambil ponselnya, mendial salah satu nomor kepercayaannya.

"Cari data pemilik plat ini. Saya tunggu satu jam dari sekarang." titah Daren sebelum mematikan panggilan sepihak.

Daren berdiri menghampiri putra keduanya itu. Menariknya dalam dekapan hangat. Pria berstatus duda tersebut memejamkan mata sembari mengusap lembut belakang kepala Rian.

Awalnya Rian sedikit tertegun menerima pelukan dari daddy, tidak menyangka ia akan dipeluk seperti ini. Walaupun begitu, Rian tetap memasrahkan diri dalam pelukan Daren, memejamkan mata menikmati.

Meski umurnya sudah hampir 20 tahun, Rian masih merasa pelukan daddynya selalu jadi yang terhangat semenjak kematian mommy tiga tahun yang lalu.

"Daddy harap kali ini kita berhasil, bang" ucap Daren pelan penuh harap.

Riang mengangguk pelan, ia juga berharap banyak kali ini.

"Semoga, daddy."

***

Sean menutup pelan pintu di depannya. Ia memilih pergi daripada ikut masuk ke dalam.

Awalnya, saat ia melihat Rian tergesa-gesa naik ke atas, ia pikir adiknya itu mengalami masalah. Karena itu tak lama setelah Rian naik, Sean juga mengusul.

Ketika lelaki sulung itu mendapati Rian berada di ruang Daren, ia pun memutuskan mengusul. Namun, baru sedikit ia membuka pintu, percakapan yang didengarnya mengurungkan niatnya untuk masuk.

Rian memilih berlalu menuju balkon kamarnya. Tangannya tertarik mengambil sebatang rokok, lalu menyalakannya. Meski bukan perokok aktif, pemuda itu terkadang akan merokok hanya saat masalah hilangnya si bungsu kembali diungkit.

Asap yang terhembus dari bibir tipisnya memudar kala dihantam angin. Netra kelam itu menengadah menatap malam yang terlihat kelam, mendung. Seakan sesuai dengan kondisi hatinya yang sedang mendung.

Pikirannya terbayang bagaimana adiknya yang  kecil menghilang kala itu. Kejadian itu selalu berhasil membuatnya merasa gagal menjadi seorang kakak. Apalagi setelah mendengar percakapan Rian dan daddy tadi.

"Kakak" suara di belakangnya membuyarkan lamunan Sean.

Sean menoleh ke belakang, melihat sosok adik bungsu– saat ini– berjalan mendekati balkon. Sean segera mematikan rokok yang masih tersisa setengah itu. Lantas memutuskan mendekati Alga lebih dahulu. Setelah sebelumnya menutup pintu balkon.

"Ada apa?" tanya Sean.

Dari jarak sedekat ini, Alga dapat mencium bau nikotin dari tubuh kakaknya. Apa Sean sedang ada masalah?

"Bau rokok, kakak ada masalah?" Alga  balik bertanya.

"Nggak, kakak cuman ngilangin lelah sejenak. Masalah kerja," jawab Sean.

Menatap sejenak wajah sulung di depannya, memang terlihat garis lelah. "Begitu, kakak istirahat aja, Alga keluar dulu," pamit Alga.

"Tunggu, kamu kenapa tadi ke sini?"

"Nggak jadi."

"Katakan!" desak Sean.

Alga terlihat ragu, "Alga mau tidur ama kakak, kangen." ujarnya ragu

Sean tersenyum lembut mendengarnya, "ayo," ajak Sean seraya menarik Alga ke ranjang.

Sean membaringkan tubuhnya lebih dulu, disusul Alga yang masuk ke pelukan Sean. Ah, saat Alga bertingkah seperti ini, Sean selalu berharap Adik bungsunya yang lain segera ditemukan.

"Kakak, selamat malam."

Sean mengeratkan pelukannya, seraya menepuk pelan punggung Alga.

Tak lama, hembusan napas di dekapannya terdengar teratur. Selanjutnya Sean ikut mengusul adiknya ke dunia mimpi.

"Sleep well"

***
Tbc

Hai, ketemu lagi☺️

Kalau ada typo tandain  ya, soalnya aku jarang revisi.

Jangan lupa Vote dan Komen ya biar aku tambah semangat. Saran dan kritikan, aku terima asal sampaikan dengan baik😉

Terimakasih yang sudah Vote ya

Next?



That WarmTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang