Bab 8

1.1K 63 1
                                    

Hai, jangan lupa vote dulu yaa
Happy reading:)

***
Arlen pergi setelah susah payah membujuk Cael mengizinkannya pulang. Sudah hampir dua hari ia berdiam diri di apartemen. Karena alasan sakit yang menurut Arlen tidak seberapa, Cael memaksanya istirahat di apartemen. Tidak ada yang lebih menyebalkan daripada tinggal berdua dengan Cael dalam keadaan sakit. Serius.

Untung saja, Cael ingat untuk membawa motornya ke apartemen. Sehingga ia tak harus memesan taksi. Buang uang coy.

Lelaki itu melajukan motor ke panti dengan kecepatan rata-rata. Keadaan jalan yang tumben sepi, membuat perjalanannya lumayan lancar.

Langit malam terasa menenangkan. Udara berhembus lembut menampar pipi Arlen yang sedikit kemerahan. Bintang-bintang muncul satu persatu. Benar-benar malam yang cocok untuk berkencan. Sayang banget, Arlen sampai sekarang masih menggandeng angin, alias jomlo.

Arlen memarkirkan motornya di samping pohon mangga tempat biasa ia parkir jika di panti. Meletakkan helm di atas spion kiri, lalu melirik sedikit kehadiran mobil yang batu ia sadari.

Lelaki itu memilih masuk lewat belakang. Malas jika harus bertemu tamu lalu basa-basi berkenalan. Mohon maklum, nak intropet.

"Kak Ale!" Arlen menoleh, segera membuka tangannya membawa sosok kecil yang kini berlari ke pelukannya.

Hap

"Azel, Kenapa belum tidur?"

"Hehehe... Azel denger suara motor kak, makanya nggak jadi bobok," jelas Azel seraya tersenyum lucu.

Arlen menggeleng kecil, lalu menggendong makhluk kecil itu. "Ayo tidur."

Sepanjang perjalanan, Azel berciloteh panjang mengenai hari-harinya selama Arlen tidak di panti. Sesekali lelaki imut itu akan menanggapi seantusias mungkin.

Arlen menurunkan Azel di atas ranjang.

"Nah, sekarang tidur, oke?"

Azel berbaring sembari memegang boneka angry bird pemberian Arlen saat ulang tahunnya ke 6. Setelah memastikan Azel tertidur lelap, Arlen mematikan lampu kamar dan beranjak keluar.

"Arlen."

Suara bunda yang memanggilnya, menyadarkan Arlen keberadaan pengurus panti tersebut.

"Eh, bunda. Tamunya udah pulang?" Arlen menghampiri bunda yang berjalan ke arahnya.

Bunda mengangguk lembut. Tangannya terangkat membelai halus pipi lelaki di depannya. Netranya menyapu wajah Arlen yang rasanya masih sama seperti 14 tahun yang lalu.

"Bunda, kenapa?" tanya Arlen mengambil tangan yang mulai keriput itu di pipinya.

Jarang sekali bunda bertingkah seperti ini. Tatapan yang diberikan perempuan yang paling disayangnya ini sedikit mendung. Ada apa?

Bunda tersenyum tipis. "Anak bunda udah besar."

"Yaa kalau kecil terus, nggak manusia namanya, nda," kekeh Arlen kecil.

Bunda mendengus kecil mendengar jawaban Arlen. Sedari dulu, anak yang ditemukannya di depan gerbang panti ini, tak pernah sekalipun menyusahkannya. Di sini Arlen sering berlaku layaknya seorang abang. Tidak ada raut-raut manja dan cengeng. Kendati visualnya tidak berbohong jika ia sebenarnya hanyalah anak manja.

"Bunda," panggil Arlen berulang kali membuat bunda tersadar dari lamunannya.

"Bunda, kenapa? Sakit kah?" tanya Arlen khawatir.

Ah, kenapa mereka harus datang? Membayangkan Arlen pergi rasanya bunda tidak sanggup. Ingin rasanya ia berlaku egois. Namun, tidak bisa. Ada hidup seseorang yang harus dipertaruhkan di sini.

That WarmTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang