Manis
Oleh: Ilham Ramadhan
Rumit jika dijelaskan melalui kata-kata, mungkin manis adalah kata yang paling tepat jika aku ingin menggambarkan memori cintaku semasa kuliah dulu. Kisah yang terjadi di sepanjang tahun 2017, kisah yang tergolong singkat namun dapat memberikan aku makna merelakan yang sangat dalam, kisah yang mampu menyesarkan sudut pandangku tentang dunia.
Hai Julian, ini aku Kania, izinkan aku menuliskan sepenggal kisah kita ya. Jangan khawatir, hidupku kini sudah sampai di level nyaman, saat ini aku mempunyai dua orang anak laki-laki buah dari pernikahan ku bersama seorang lelaki gagah yang aku temui tak lama setelah kita lulus kuliah.
Bagaimana kabarmu disana? kudengar kau sudah berhasil membuka toko sepatumu sendiri di Bandung, kapan-kapan kalau aku berlibur ke Bandung, engkau pasti ku sambangi. Rangatku adalah kembali mendengar suara merdu darimu ketika kau bernyanyi bersamaan dengan genjrengan gitar akustikmu itu. Ayo, nyanyikan lagi aku lagu puisi dari Jikustik yang pernah kau lakukan di saat kuliah dulu. Ah, intinya semoga kamu bahagia juga dengan kehidupan barumu disana ya. Terima Kasih.
Begitu kukuhnya memori ku ketika pertama kali melihat seorang lelaki yang berpunca dari Bandung, yang juga terlambat masuk ke barisan ketika ospek di kampus pada saat itu. Hahaha, pertemuan yang cukup mengerikan untuk diingat tapi juga terlalu berkesan untuk dilupakan. Saat itu kami berdua dimarahi oleh seorang kakak tingkat dari fakultas teknik.
"Wooy, woooyy ... Kalian berdua! Kenapa kalian berdua telat?" bentaknya dengan keras.
"Anuu, maaf Kak, saya tadi diantar Ayah, dan tadi sempet nganter adik dulu, jadi telat datang kesini," jawabku dengan nada bicara rendah.
"Kamu?" Dia bertanya kepada laki laki yang berdiri di sebelahku. Ku taksir kira-kira tingginya sekitar 175 cm mungkin, berkulit putih, rambut rapi yang disisir ke arah kanan dan yang paling aku ingat, wangi.
"Maaf kak, tadi motor yang saya bawa ban nya bocor." Dia memberikan alasan.
"Siapa nama kalian berdua, UGM bukan tempatnya orang-orang ga disiplin kayak kalian," katanya dengan logat jawa sembari mengeluarkan sebuah buku catatan kecil.
"Kania Larasati," jawabku singkat.
"Julian Haris Roni." Lelaki di sebelahku menyahut.
"Asalnya darimana kalian?" tanya sang kakak tingkat yang berlagak garang.
"Palembang kak," kataku yang mulai tak senang dengan cara bicara sang kakak tingkat ini.
"Bandung kak."
"Sudah, balik ke barisan sanaa, segera!" teriaknya.
Sontak aku dan Julian sesegera mungkin mencari barisan fakultas kami masing-masing untuk segera bergabung dengan teman-teman yang lain.
Hari itu sangat melelahkan buatku, walaupun kegiatan di hari pertama ospek hanya materi pengenalan tentang kampus, tapi mood ku sudah dihancurkan oleh teriakan kakak tingkat yang sok garang tadi, sehingga apapun kegiatannya sangat membuatku lelah, jasmani dan rohani. Kehancuran mood ku semakin bertambah setelah ayahku memberi kabar bahwa dia tidak bisa menjemputku siang ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Warna-Warni Imaji Himasakta
Short StoryWarna-Warni Imaji Himasakta adalah antologi cerpen karya mahasiswa FKIP Unila dalam program tim Himasakta Wattpad. Edisi perdana menghadirkan cerita pendek dari empat belas penulis yang terpilih menjadi penulis pada program Himasakta Wattpad 2023. ...