Adivty Yang Mandiri

61 12 1
                                    

Shit! Gimana cara napas ini woy!?' batin Ava dalam hatinya.

Rara menyadari keberadaan Ava di ambang pintu kamarnya, "Kak Ava?" gumam Rara dengan polosnya.

Ava merasa kikuk, "Dipanggil bunda," setelah mengucapkan itu, Ava hendak menutup pintu.

"Eits, Kak!" sela Rara membuat Ava semakin kikuk berada disana.

"Tolong panggilin pembantu buat ngeringin rambut Rara!"

"Heem," Ava menganggukkan kepalanya lalu, segera keluar dan menutup pintu kamar Rara.

Ava merasa kalau jantungnya kini sedang tidak baik-baik saja, rasanya berdetak jauh lebih cepat dari biasanya, ia merogoh saku di celananya dan mendapati sebuah permen, segera ia kupas bungkus permen itu dan memakannya. Bayang-bayang Rara masih berkeliaran di kepalanya.

'Calm down, Ava... tenang,' batin Ava dengan mengelus dadanya sendiri.

💗💗💗

"Mama!" panggil Adiv saat baru saja memasuki rumahnya. Adiv tak melihat keberadaan mamanya, hanya ada Jiyo-ponakan Adiv- yang sedang menonton Tv.

"Hole! Om Adiv datang!" seru Jiyo sambil berlari lalu, memeluk Adiv.

Adiv menggendong anak berumur empat tahun itu, "Jiyo sendirian?"

"Oma ada di kamal Jiyo sama Mama," Adiv mengerutkan dahinya, 'Tumben Jiyo ditinggal sendiri,' batin Adiv.

Adiv menurunkan Jiyo dari gendongannya,"Jiyo diem di sini dulu ya.. Om Adiv mau ganti baju dulu."

Adiv melangkah ke kamar Betriz-kakak kandungnya. Saat Adiv membuka pintu terlihat Tari sedang menangis di pelukan Betriz, Adiv spontan langsung menghampiri mereka berdua, "Mama kenapa, Kak Bet?"

"Toko kita telat bayar kontrak. Jadi, terpaksa harus ditutup," lirih Betriz.

Tari menyeka air mata yang membasahi pipinya lalu, membelai rambut Adiv dengan lembut, "Nak, kamu jangan kepikiran. Mama sama Kakak akan berusaha sebaik mungkin"

"Iya Div, kamu sekolah aja yang bener, jangan jadi seperti kakak," ucap Betriz yang menasehati Adiv.

"Adiv mau nyari kerja lagi Ma, lumayan buat tambah," jawab Adiv.

"Jangan! Kamu gak boleh terlalu capek, takut ganggu sekolah kamu," sahut Tari dengan perasaan khawatir.

"Adiv kuat Ma, Adiv itu cowok loh! Bukan boti," candaan Adiv berhasil mengukir senyum di wajah Tari dan Betriz.

💗💗💗

Adiv menyerbeti meja di kafetaria yang berada dalam mall kota. Ia bekerja sepulang sekolah untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Ayahnya meninggal enam tahun yang lalu, dan Kakaknya bercerai dengan suaminya. Hal itu membuat Adiv harus menjadi seorang yang mandiri, belum lagi ia masih harus sekolah.

"Hai, Div!" sapaan itu membuyarkan pikiran di kepala Adiv yang berisik.

Terlihat Zee dan Windy menghampirinya, "Ngelamun bae," kata Windy.

Zee menarik kursi lalu, mendudukinya,"Tumben sepi, pasti gara-gara lo ada di sini."

"Emang udah mau tutup," sahut Adiv.

"Yah, kok tutup sih! Div, padahal gue sama Zee mau ngopi loh," Windy mengedipkan matanya berkali-kali.

"Wajah lo mengundang infaq masjid," kata Adiv saat melihat wajah Windy yang memelas.

"Okey, americano dua yaa.." ujar Windy dengan penuh semangat.

"Tiga aja sekalian sama Adiv," sahut Zee.

ADIVTYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang