"The real, kudu berjuang iki."
-Adivty-"Ra! Gue mau tanya sesuatu," ujar Adiv yang duduk di sebelah Rara.
Rarapun mengalihkan pandangannya dari buku pelajaran beralih menatap Adiv, "Apa?"
"Pada sebuah percobaan, dilemparkan tiga buah dadu secara bersamaan sebanyak dua kali. Hitunglah berapa banyak peluang gue bisa rebut hati lo?" Adiv berpura-pura membaca buku. Jiwa playboy sangat melekat dengan dirinya. Kata-kata manis yang keluar dari mulutnya adalah jurus yang sangat ia andalkan.
"Mending gue hitung bulan berputar daripada hitung peluang lo," jawab Rara dengan kalimat savage khas-nya.
Adiv memegang dada sebelah kirinya, "Aduh! Hati kecil gue terpotek-potek." Lagi-lagi Rara dibuat tersenyum oleh tingkah Adiv yang selalu ada-ada saja.
Entah darimana datangnya Gibran tiba-tiba ada di hadapan Adiv dan Rara. "Ra, bantuin gue ngerjain tugas ini dong Pliss!"
Adiv menatap tajam ke arah Gibran yang merusak aktivitasnya bersama Rara. Gibran sekilas melirik Adiv yang sedang menatapnya dengan intens lalu, tersenyum jail.
Senyum Gibran langsung lenyap ketika Rara menjitak kepalanya, "Jangan sakiti gue, Ra! Gue gak punya BJPS!" seru Gibran dengan mengelus lembut kepalanya sendiri.
"Baca buku lo dulu! Jangan asal tanya, semua pembahasaan soal yang lo tanya itu ada di buku," Rara menggurui Gibran yang masih menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Adiv yang melihat Gibran dimarahi Rara merasa puas dan tersenyum lebar.
"Wih! Belajar bareng gak ajak-ajak gue!" Kavin datang tentunya bersama Zee. "Jangan-jangan lo gak mau belajar sama gue karena gak mau kalah saing ya?" gurau Kavin dengan nada sok sombong, saat melihat Rara yang fokus membaca bukunya.
"Gue gak perlu bersaing buat menjadi bersinar," sahut Rara.
Kavin tertawa kecil mendengar jawaban Rara dan duduk tepat di depan Adiv, "Lo emang egois, Ra." Rara hanya membalas dengan tersenyum simpul.
"Tumben lo baca buku," Zee merebut buku dari tangan Adiv.
Dengan cepat Adiv merampasnya kembali, "Kan gue udah bilang, mau perjuangin Aurora dan mengikuti segala perintah Tuan putri."
Rara sama sekali tidak menggubris percakapan teman-temannya, ia masih tetap teguh membaca buku.
"Ternyata enak juga duduk di taman gini," ujar Gibran sambil mengambil nafas dalam-dalam lalu, membuangnya dengan pelan.
"Kalau lo gak dateng malah lebih bagus lagi," sahut Adiv tanpa menatap Gibran.
"Bener tuh! Gue setuju sama Adip kali ini," Zee mendukung Adiv.
"Sembrono banget tuh mulut! Adip, Adip," protes Adiv tak terima.
"Suka-suka gue, wlee!" ledek Zee sambil menjulurkan lidahnya.
"Shutt! Diem lo pada. Aurora gue lagi belajar," Adiv mencoba untuk menarik perhatian Rara.
"Udah dapet jawaban belom, Div?" Kavin memberi pertanyaan dengan nada meledek.
"Oh iya, gue baru inget. Ra, mau minta nomor lo?" pinta Adiv dengan ekspresi seperti anak kecil.
Rara menatap Adiv sejenak lalu bangkit dari duduknya, "Tiga puluh tujuh."
"Nomor apaan, Ra?"
"Sepatu!" jawab Rara sebelum dirinya pergi.
Semua yang ada di taman tertawa mendengar percakapan Adiv dan Rara yang seperti tidak ada ujungnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
ADIVTY
Dla nastolatkówAdiv adalah pemuda tampan dengan kepercayaan diri yang tinggi. Hidupnya sederhana bersama keluarganya, hingga ia bertemu Aurora, gadis cantik dan anggun yang merupakan pewaris tunggal Grup Habel, perusahaan besar yang sedang sukses. Saat mereka sal...