Tekanan

24 3 0
                                    

"Sangat sulit  mengakui kekalahan bagi pengecut kayak lo."
-Feni-

Adiv memandangi Rara yang terlihat begitu sempurna di matanya. Kecantikan dan keanggunan Rara seolah membuat semua masalah dunia menghilang sejenak, dan Adiv merasa seolah hanya ada mereka berdua di dunia ini. Dengan hati berdebar, ia merasa semakin yakin bahwa dia tak akan pernah menemukan seseorang seperti Rara lagi.

"Bro, lo masih nafas kan?" Kavin meletakkan jari telunjuknya di bawah hidung Adiv, memastikan temannya itu masih bernyawa.

Adiv langsung tersadar dari lamunannya. "Ah, itu, gue mau... apa tadi, itu anu."

"Gugup banget, Div?" tanya Zee dengan heran.

"Salting dia! Salting!" sahut Gibran sambil tertawa.

"Enggak kok!" protes Adiv.

"Gak salah."

"Kalau mau ngomong sesuatu, ngomong aja," ujar Rara.

Adiv menggelengkan kepalanya. "Enggak!"

"Lo gak pantes ada di perayaan ini," suara itu berasal dari Feni yang datang bersama Violette. Rara hanya menatap Feni dengan ekspresi dingin dan datar.

"Akui kekalahan lo," kata Feni.

"Gue kalah sama lo, tapi nama lo akan tetap ada di bawah gue."

Feni tersenyum sinis. "Sangat sulit  mengakui kekalahan bagi pengecut kayak lo."

"Gue akuin gue kalah. Puas kan?"

"Terimalah kenyataan kalau lo gak bisa ngerubah apapun di sini, sama seperti anak kepala sekolah itu," Feni melirik ke arah Kavin.

Kavin merasa marah. Wajahnya memerah menandakan kemarahan yang mendalam.

"Gue tau lo berkuasa di sini! Tapi lo gak punya hak untuk ngehina gue! Papa gue emang kepala sekolah, tapi dia gak mau menyalahgunakan jabatannya hanya untuk keperluan pribadi!" Kavin meluapkan amarahnya.

"Apa? Menyalahgunakan jabatan? Lo gak mau tanya siapa yang bisa membuatnya bertahan dengan jabatan itu hingga sekarang?" tanya Feni.

Kavin hanya terdiam. "Papi gue yang pertahanin jabatan kepala sekolah sampe sekarang," lanjut Feni.

"Diamlah! Gak ada yang peduli tentang itu," sahut Rara.

"Lo pikir semua orang akan ngikutin perintah lo?" Monica yang awalnya diam, kini mulai ikut bersuara.

"Gue gak ngomong sama wanita jalang."

"Sialan! lo manggil gue jalang!"

"Gue gak bilang kalau kalimat itu buat lo."

Monica semakin geram dengan kalimat Rara yang terdengar menghina baginya. Ia menyambar minuman dari tangan Yuri, lalu menyiramkannya ke seragam Rara.

Semua orang terkejut melihat kejadian itu.

Adiv segera menghampiri Rara. "Pergi, sebelum gue balas kelakuan lo."

"Lo ngusir gue cuma demi dia?"

Adiv merangkul bahu Rara. "Oke, gue yang pergi. Gue muak sama kelakuan lo."

Rara yang sedang dirangkul Adiv tersenyum mengejek saat melewati Monica.

"Dasar jalang!" umpat Monica.

Adiv membawa Rara menjauh dari kerumunan. "Lo gak papa, Ra?"

"Gue mau ke toilet," ujar Rara sebelum pergi.

Adiv menunggu Rara di depan toilet siswi hingga akhirnya Rara keluar dengan mengenakan sweater miliknya.

"Maafin gue, Ra."

ADIVTYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang