"Namjoon..."
"Ayo ngebut!" Seokjin menarik-narik jaket kulitnya.
"Jangan sayang...kata nenek tidak boleh..." Ia terkekeh sambil menoleh ke kaca spionnya.
"Sebentar saja...."
"Aku pegangan dengan erat..." Seokjin melingkarkan kedua tangan di pinggang Namjoon dan menempelkan pipinya di punggung.
"Anak nakal...." Tanpa aba-aba Namjoon melajukan motornya cepat. Seokjin memekik kegirangan di belakangnya.
Namjoon tersenyum. Rasa rindunya semakin memuncak mendengar tawa pria kesayangannya.
Ia kembali memelankan motornya.Melaju menuju apartemennya.
Pulang.
"Astaga Jjangu betul-betul cepat besar ya..." Ia memeluk anjing yang terus menjilati pipinya kemudian meletakkannya kembali ke lantai.
Seokjin terkejut ketika Namjoon tiba-tiba memeluknya dari belakang.
"Sekarang kau harum seperti susu strawberry" Ia menghirup ceruk leher Seokjin dan mengeratkan pelukannya.
"Terimakasih sudah mau kembali kesini Seokjin..."
Seokjin berbalik dan mengusap keningnya lembut.
"Namjoon jangan bohong lagi ya..."Namjoon menggeleng cepat. "Tidak...aku tidak akan menyembunyikan apa-apa lagi darimu sayang..."
"Janji...."
"Dan.....satu lagi...."
"Seokjin...maaf"
"Ayah menyelidikimu beberapa bulan lalu"
"Beliau.......bercerita tentang masa lalumu...." Namjoon menatapnya hati-hati.
"Namjoon......" Ia menghela napas panjang.
"Aku ingin bercerita tentang masa laluku sekarang....""Tapi......"
"Namjoon temani aku tidur ya..."
"Aku takut mimpi buruk itu datang lagi" Seokjin tersenyum lalu menarik tangannya untuk duduk berhadapan di sofa.
"Aku sempat menjalani perawatan selama beberapa bulan setelah kejadian itu" Ia menghela napas kemudian memulai ceritanya.
"Namjoon..."
"Aku masih ingat ayah dan ibu yang memberiku semangat sebelum mereka berangkat kerja"
"Aku masih ingat senyum bangga mereka....anak semata wayangnya akan berkuliah" Ia tersenyum dengan kedua tangan mengepal dan bergerak-gerak di samping dadanya.
"Hasil kerja keras mereka akhirnya terbayar"
"Aku belum sampai di kampus ketika paman mengabari lewat ponselnya"
"Aku melupakan segalanya dan kembali pulang"
"Walau percuma...."
"Mereka sudah.....tidak.....utuh" Suaranya bergetar.
"Sayang....."
"Kau bisa berhenti bercerita kapanpun...""Kumohon....aku tidak tega melihatmu begini" Namjoon meringis dan menggenggam tangannya.
Seokjin menggeleng. "Aku harus melawan ketakutanku Namjoon..."
"Aku tidak ingin setiap menyebut nama mereka aku harus bermimpi buruk lagi"
"Itu yang psikiaterku katakan selama terapi"
"Tapi aku tidak pernah mendengarkannya" Ia terkekeh.
"Saat malam tiba....aku menyelinap ke ruang penyimpanan obat"
"Dan.....entah berapa pil yang terus kumasukkan ke dalam mulutku"
"Sampai perutku sakit dan mual"
"Lalu aku kehilangan kesadaran"
"Saat aku terbangun....rasanya sedih sekali..."
"Aku tidak juga bertemu orang tuaku"
"Mereka mengikatku di besi tempat tidur agar aku tidak melakukan hal bodoh lagi" Ia tersenyum pahit.
"Seokjin....stop..."
"Sudah....cukup..." Namjoon menunduk dan mengatur napasnya yang memburu.
"Lalu aku pindah ke desa dan bertemu dengan Namjoon..." Ia kembali tersenyum lebar.
"Namjoon membuatku merasa istimewa"
"Namjoon kembali membuatku merasa dilindungi"
"Hangat...dan nyaman...."
"Terimakasih...."
Seokjin tersenyum memiringkan kepalanya.Menatap Namjoon yang masih menunduk dan mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Eh?"
"Astaga Namjoon kenapa?" Ia menangkup pipinya yang basah dan mengangkat wajah yang enggan dilihat itu.
"Namjoon jangan menangis...."
"Aku sudah tidak apa-apa sekarang"
"Aku punya Namjoon yang akan selalu bersamaku bukan?"
Namjoon kembali mengangguk-angguk.
Matanya terpejam bersamaan dengan air matanya yang terus mengalir.
"Aku bodoh Seokjin..."
"Aku bodoh jika aku melepaskanmu" Ia mengeraskan rahang menahan isakannya.
"Jangan dilepaskan Namjoon....."
Seokjin berbisik menatap wajahnya lekat kemudian memeluknya erat.Membiarkan pria itu menangis di bahunya kemudian memejamkan mata.
"Ayah...Ibu......aku bahagia sekarang...."