Elio diam sepanjang jalan. Sedangkan Acha tertidur di bangku belakang. Jaka mengendarai mobil dengan fokus. Tangannya bertumpu memegang kepala. Sepertinya proses penyelidikan kasus kematian wanita di hotel tak terpakai itu akan segera ditutup. Pertama pihak keluarga tidak ingin melanjutkan, dan sepertinya ada tekanan-tekanan dari pihak-pihak penting di sini yang membuat proses penyelidikan terasa lambat.
Tersadar suasana terlalu sepi, Elio melirik Acha dan Jaka. Diperhatikannya wajah pria yang selalu serius itu dengan seksama, kemudian tersadar sepertinya pria yang sudah seperti saudaranya itu memiliki banyak masalah. Elio perhatikan Jaka memang jarang menceritakan masalahnya dengan siapa pun. Oma juga sering kali mengeluh, takut beban pekerjaan Jaka berat di kantor, tapi pria itu selalu menenangkan seolah semuanya baik-baik saja.
"Ada masalah Bang di kantor? Kasus yang tumbal itu ya? Kayaknya pusing amat," tanya Elio memecah sepi di antara mereka. Jaka menghela napas panjang, ada senyum tipis terlihat dari wajahnya saat mendengar pertanyaan Elio yang terdengar sedikit khawatir itu.
"Iyah, kasusnya harus tutup dalam waktu seminggu ini. Pihak keluarga udah gak mau meneruskan penyelidikan dan kita belum dapat apa-apa." Ada perasaan marah, bersalah dan tanggung jawab dalam kalimat yang Jaka ucapkan.
"Aku gak tau harus bilang apa," ucap Elio kemudian bingung, ingin menyemangati tapi tidak terlalu mengerti bagaimana. Jaka mendengar komentar Elio hanya tertawa pelan.
"Makasih, udah bertanya, El. Aku gak apa-apa, kok. Kepikiran pasti, tapi ya udah kita jalani aja prosesnya."
"Semoga aja, ada titik terang sebelum benar-benar ditutup ya, bang," ucap Elio diikuti anggukan dan senyum tipis dari Jaka.
Sesampainya di rumah, Elio segera membereskan rumah sementara Acha mandi dan bersiap makan malam. Oma membuatkan mereka makan malam, kedai masih berantakan jadi Oma membungkuskan makanan itu agar Elio dan Acha bisa makan di rumah saja dan langsung istirahat.
"Cha, udah belom? Buruan makan habis itu kerjain PR," ucap Elio beranjak dari meja makan jalan menuju ke kamar.
Lagi-lagi dia melihat Acha bicara sendiri kali ini dengan wajah yang lebih serius dan tidak sempat menghindar dari Elio yang sudah masuk ke dalam kamar. Elio berkerut, dia tau apa yang dia pikirkan tapi mencoba untuk setenang mungkin.
"Jujur deh, kamu ngobrol sama siapa barusan?"
Acha diam melihat Elio bergantian ke sisinya yang tidak ada siapa-siapa. Bulu kuduk Elio pun merinding. Apa yang dia pikirkan, ketakutan itu ternyata benar.
"Papa jangan marah ya, tapi..." Gadis kecil itu mendekat dan meraih tangan Elio lalu menggenggamnya erat. Mau tidak mau dia menarik napas panjang. Dia sudah menyiapkan mentalnya setelah beberapa kali memergoki Acha bicara sendiri. Nyatanya, ini bukan pengalaman pertamanya. Karena dia yang paling mengerti, kalau ada orang-orang di luar sana yang memiliki kemampuan seperti ini, seperti ibunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Whisper For Help
HorrorSetelah kematian sang Ibu, Elio memutuskan untuk merantau ke kota. Kehidupannya sebagai perias jenazah pun berubah 180 derajat setelah merawat seekor anjing yang dia selamatkan dan seorang anak perempuan cantik yang ditinggal ayahnya. Pada awalnya E...