Chapter 6: Artyomovich (I)

10 4 0
                                    

Bahkan seorang anak kecil mengetahui larangan dalam melakukan pembunuhan. Namun pada beberapa kasus, kita dapat menjumpai keadaan yang memaksa untuk membunuh atau menjadi terbunuh... Hanya saja, mengapa manusia yang membunuh demi melindungi diri dan orang – orang kesayangannya masih saja menyempatkan waktu di balik jeruji besi? Bagaimana dengan para pembunuh sebenarnya yang bebas menghirup udara segar di luar sana?

Keadilan telah menjadi kapal yang karam bagi korban, ketika "hak asasi manusia" melindungi golongan yang salah. Belakangan ini aku juga menemukan berbagai bentuk "keadilan" yang menjatuhkan hukuman berat terhadap rakyat biasa, namun meringankannya bagi para elitis dan orang – orang berkuasa.

Kill or be killed. Eat or be eaten.

"Segera tinggalkan tempat ini. Aku tidak ingin warga sipil dan jurnalis menemukanmu selagi aku di sini."

"Sampai jumpa nanti, Dika. Roland!"

"Siap laksanakan, Tuan Agung."

*Shut*

Menuruni taksi samaran itu, aku menyeberangi jalan raya dan tiba pada komplek Hotel Kusumajaya yang terletak di jantung Kota Kusumajaya, dekat dengan alun – alun utama dan bangunan kantor walikota Pak Agung. Pencakar langit ini menjadi salah satu lokasi suar milik Detasemen Gagak... Aura mewah yang dipancarkan oleh hotel ini merupakan magnet bagi tamu kaya raya, dilengkapi oleh acara hari jadi hotel tepat satu tahun yang lalu. Misiku malam ini adalah memainkan peran sebagai entitas malaikat pencabut nyawa pengotor Kusumajaya... Cukup menyenangkan jika aku memikirkannya.

"Ara~! Selena Garcia datang juga!"

"Tentu, Nona Mia~"

*Tap* *Tap* *Tap*

"Undangannya, Tuan Yang Terhormat?"

Mendengar suara yang tidak asing dari salah satu penerima tamu, aku segera menyadari identitasnya sebagai salah seorang bawahan Niki yang telah menyelesaikan masa migrasinya. Setelah memastikan keadaan sekitar, aku mendekati sosok yang menyamar ini untuk menyampaikan beberapa penggalan sandi.

"Kemuliaan bagi pembela umat manusia. Gagak menyambut serigala dengan hangat."

"..."

"..."

"...Silakan masuk, Tuan Dika. Sergei Titochenko berada pada ruang dansa."

*PEEP*

Meninggalkan agen itu, aku lalu menjalani pemeriksaan pada detektor besi, sebelum bergerak menelusuri atrium mewah yang menjulang tinggi ini. Tujuan berikutnya adalah ruang dansa untuk bertemu dengan lawan bicaraku malam ini.

("...Dia kelihatannya cakep tuh...")

("Iya nih, nona... Anda ingin berbuat apa?")

("Tentu saja ini...")

("Ho~?")

Mendengar suara hentakan sepatu hak tinggi, aku memutar tubuhku untuk menemui seorang wanita berambut pirang hasil semir tengah berjalan dengan "anggun" kepadaku. Ia kemudian membungkukkan tubuh seraya mengangkat daun ungu itu untuk menyampaikan gestur hormat.

"Selamat malam, Tuan Yang Terhormat... Apakah anda ingin meluangkan waktu untuk berdansa dengan saya?"

"...Aku?"

"...Benar, tuan..."

Selain menawarkan tangan, wanita dengan riasan tebal ini juga menyondongkan tubuhnya kepadaku. Baiklah, rupanya aku kembali menjumpai seseorang yang cukup keras kepala untuk menyerah. Namun kurasa aksi membaur ini sempurna untuk menghilangkan tatapan yang menusukku dari jauh layaknya ayam tanpa kepala ketika mencari Sergei Titochenko.

Nagara NusantaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang