Prologue De La Nusantara

75 6 0
                                    

Aku dapat merasakan kehadiran seorang anak laki – laki di dalam kegelapan yang dingin ini. Entah bagaimana, ketika perawakan kusam itu berhasil menyamarkan keberadaan tubuhnya. Mengabaikan sosok itu, aku juga mengendus aroma nostalgia—bunga melati yang berusaha mengencerkan busuk darah dari jasad – jasad di sekitarnya. Menggunakan kenangan, aku berhasil menerangkan kegelapan ini menjadi suatu koridor putih tak berujung, sekaligus memudarkan keberadaan halus itu layaknya hantu... Sejenak, tidak akan ada yang mengira bahwa koridor cerah ini telah menyimpan banyak kisah tragis.

Bergerak menggunakan kesadaran itu, aku lalu menelusuri ilusi halus ini untuk mencari petunjuk atau kejanggalan—sebenarnya apa pun yang dapat menghibur aku dari siklus tanpa akhir ini... Hingga akhirnya aku menemukan sebuah jendela berbentuk persegi panjang yang melekat pada sisi kiriku, mengungkapkan ruangan dengan bantalan putih yang menyelimuti dindingnya. Tidak terdapat satu pun jiwa yang menempati ruangan itu, layaknya hanya digunakan sebagai pameran dari ingatanku... Kembali melanjutkan perjalanan, aku kini menemukan jendela yang mengungkapkan ruangan berdinding keramik layaknya ruangan kelas, dilengkapi oleh 13 tempat duduk bagi para "pelajar"-nya. Mengamati meja "guru" yang terletak pada bagian depan kelas, aku juga menjumpai pot kecil yang sedang menahan berdirinya setangkai bunga lily putih, menantang lampu langit – langit yang sesekali mengedip itu.

Jendela berikutnya mengungkapkan ruangan berumput dengan dinding yang memamerkan lukisan alamnya. Tidak hanya itu, terdapat bangunan gazebo putih yang menguasai bagian tengah ruangan ini. Akan tetapi membedakannya dengan kedua ruangan sebelumnya adalah kehadiran dari sosok anak laki – laki berjubah pasien rumah sakit yang tengah menduduki pelataran bangunan kecil itu. Kaki menekuk ke atas, diikuti oleh wajah dengan rambut hitam tajam yang tertuju pada lututnya... Anak itu terlihat kesepian.

Tidak lama kemudian, sebuah pintu besi terbuka dari sisi kanan ruangan ini, menampilkan seorang anak perempuan berjubah pasien yang berjingkrak menuju bocah laki – laki itu. Aku tidak dapat mendengar perbincangan mereka dari balik jendela tebal ini... Namun mengamati raut wajah dan gestur dari sosok gadis berambut merah itu, rupanya ia ingin mengajaknya untuk bermain dengannya. Setelah beberapa saat menolak, anak laki – laki itu akhirnya menyerahkan tubuhnya untuk berdiri dan dituntun memasuki pintu besi, seraya bergandengan tangan dengan gadis itu.

*BRRT!*

Apakah kamu ingin bangun dari mimpi buruk ini?

Merasakan setruman yang mengacaukan penglihatan, aku segera menemukan diriku berdiri tepat di ujung koridor putih ini—masih dengan ruangan gazebo yang sama tepat di depan mata, namun dengan aura dan pencahayaan suram yang datang dari balik sudut pandangku, membasmi seluruh kesucian putih ini... Aku harus merombak perantara ini secepatnya, terlebih setelah merasakan kehadiran sosok makhluk halus tepat di belakangku. Sejenak memampatkan keberanian, aku lalu memutar kesadaran ini secara perlahan untuk menelan pemandangan yang menyerupai gerbang menuju neraka. Koridor menyilaukan ini telah menjadi redup, dengan kedipan lampu rusak yang sesekali mengungkapkan bercak aliran darah dari tumpukan tubuh – tubuh tidak bernyawa. Tidak ada satu pun yang dikasihani untuk hidup, baik tua atau muda, dokter, sipir, hingga sekedar petugas kantin.

Di balik pertumpahan darah ini, aku kembali merasakan keakraban yang datang dari sosok suram tepat di hadapanku. Tatapan kosong namun membaranya tertuju kepada koridor berdarah di sekitarnya. Dinding – dinding berlumuran darah itu menertawakannya, layaknya mengejek kekejiannya dalam membunuh saudara – saudara seperjuangannya sendiri... Namun jauh berbeda dengan isi pikiran lelaki itu. Kewarasan yang telah diracuni oleh aroma darah itu membuatnya tidak dapat membedakan tawa dan tangisan syukur atas penderitaan serta dendam kronis yang akhirnya terselesaikan.

"Lima... Lagi..."

Layaknya robot yang rusak, ia kembali mengulangi perkataan itu untuk kesekian kalinya. Belati yang meneteskan darah pada tangan kirinya telah digunakan untuk menebas mangsanya dengan mudah, layaknya potongan kue. Namun itu semua tidak dapat menutupi berbagai luka tebasan dan tembakan di sekujur tubuh, serta darah yang mengalir dari telinga, mata, mulut, hingga lengan dan kakinya.

Apakah kamu rela menjadi seorang pengecut yang menyerah dari mimpi buruk kecil ini, atau apakah kamu bersedia memaksa kewarasanmu demi akhir yang telah engkau nantikan selama ini?

Pertanyaan itu datang untuk menghantui pikirannya—sebuah mimpi buruk yang terus kembali hingga membuatnya mati rasa. Manusia selalu berdiri di antara kehidupan dan kematian tanpa mengetahui kapan ajal akan datang mengetuk hatinya... Namun lelaki itu tidak memedulikannya. Ia hanya ingin menyelesaikan dendam yang telah terpendam semenjak hari ulang tahun itu. Mengamati wajah yang haus akan darah itu membuatku tersadar—aku sedang meratapi sebuah cermin. Lelaki itu adalah aku.

***

"...Guh."

Meronta – ronta, aku akhirnya terbangun dari mimpi buruk itu. Membuka kedua mata, aku menemukan tubuh nyataku terbaring di atas sebuah kasur berwarna biru, menatap langit baja dengan sekrup – sekrup berukuran besar yang menahannya. Ruangan ini begitu asing hingga berhasil membuatku menyita waktu sejenak untuk menyadari di mana aku sebenarnya, di dalam sebuah kabin dari kapal pesiar.

"Mimpi itu lagi..."

Jam tangan pada meja di sisi kasur mengungkapkan jarum yang menunjukkan pukul 10:12. Rupanya berhasil mengumpulkan sisa – sisa nyawa yang tercecer, aku memaksa tubuh berkeringat ini untuk bangun dari jebakan pulau kapuk, sebelum mengambil sebuah botol putih yang berdiri tepat di sebelah jam tanganku... Mengeluarkan beberapa pil kecil, aku kemudian meletakkannya pada lidah keringku. Menunggu sejenak seraya meminum air dan meregangkan anggota tubuhku, getaran yang sebelumnya menjalar kini akhirnya mereda.

"Haah... Sebentar lagi kita akan tiba, Jackie."

Menyelesaikan sesi mandi air dingin, aku lalu mengenakan seragam yang menyerupakanku dengan seorang pekerja kantoran—kemeja putih serta celana panjang hitam wangi yang baru saja keluar dari pencucian. Merapikan barang – barang pribadiku dalam ransel, aku kemudian memeriksa koper hitam yang terbaring menghalangi pintu kamar... Melihatnya tidak bergerak sama sekali membuatku dapat menghembuskan napas lega, mengetahui tidak ada berandalan perampok yang ingin mendobrak masuk kamar ini, meski dengan keberadaan kunci dan rantai yang terikat pada gagang pintu kayu itu.

*HONK*

Mendengar suara klakson angin milik kapal, aku perlahan mengangkat koper hitam itu agar tidak mengusik mainan yang sedang tertidur pulas di dalamnya. Memastikan kelengkapan dari perlengkapanku, aku lalu melangkah keluar dari kamar untuk menelusuri koridor baja ini. Tiba pada geladak, aku juga menemui berbagai penumpang lain yang tengah mempersiapkan diri mereka untuk menuruni kapal pesiar ini. Di antaranya yaitu sepasang suami-istri dengan kedua anak mereka, seorang pemuda dengan kacamata, kemeja bunga, topi jerami, dan tongkat swafotonya, juga sekelompok pekerja yang mengitari geladak untuk menyiapkan proses penurunan kargo kapal.

Minggu, 17 Juli 2022. Hari ini cukup panas. Aku dapat melihat berbagai payung warna – warni yang bertebaran melindungi para penumpang dari keganasan matahari di puncak musim kemarau ini. Di balik keramaian, aku juga menemukan daratan yang kian mendekat. Dermaga pelabuhan dengan bangunannya serta penanda raksasa berwarna oranye yang bersandar pada lereng bukit di baliknya... Kusumajaya.

...

Nagara NusantaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang