Chapter 6: Artyomovich (III)

11 4 0
                                    

<Bagaimana kehidupan di Kusumajaya setelah hampir sebulan kamu bersekolah, Dika?>

<Semuanya baik – baik saja. Aku telah terbiasa dengan jadwal seperti ini.>

"..."

Itu adalah pesan yang dikirimkan oleh Bagas kepadaku. Pada akhir – akhir ini, ia seringkali menyibukkan dirinya dengan berbagai perlombaan dan panitia sekolah, sehingga harus mengorbankan sebagian besar waktu kosong yang dimilikinya... Rupanya ia juga telah menerima keadaanku dengan baik.

"—Andika. Bagaimana jika kamu membagikan pandanganmu kepada kelas?"

"...Mengenai patriotisme dan nasionalisme? Sangat penting untuk dimiliki setiap warga negara. Negara tanpa pengabdian dan perjuangan rakyat akan mengarahkannya menuju kehancuran, terikat oleh manipulasi oleh kekuatan – kekuatan asing seperti pada masa lalu."

"Hm... Jika boleh buat, bagaimana caranya agar sikap – sikap ini tidak luntur dan menghilang, Andika?"

Ah. Kini aku memahami mengapa guru kewarganegaraan ini menggunakan nada bicara yang terkesan menyerangku... Meletakkan ponsel pada meja, aku memperbaiki posisi duduk seraya mengulur waktu untuk menyusun jawaban yang "aman" untuk didengar oleh teman – teman kelasku.

"Salah satu cara yang dapat saya bawakan saat ini adalah kehadiran seorang tokoh panutan. Sosok yang berjuang demi keberlangsungan negaranya serta menarik hati para generasi muda, generasi penentu masa depan dengan menyampaikan pencerahan dan sikap yang disiplin terhadap integritas bangsa. Melaluinya, mereka akan meraih kebanggaan dan kemenangan tersendiri."

"""..."""

"Jawaban yang cukup bagus... Meskipun Andika sudah memahami konsep ini, saya berharap kamu tidak membuka ponsel ketika jam pelajaran berlangsung... Paham?"

"Saya menyadari kesalahan ini."

Mengabaikan perkataannya, aku mengamati berbagai tanggapan "berwarna" yang dilontarkan oleh teman – teman kelasku, mulai dari terkesan hingga menertawakanku secara diam – diam... Aku dapat mengumpulkan reaksi mereka sebagai referensi di masa mendatang.

***

"...Dan akhirnya anda terkena pengurangan nilai karena membuka ponsel pada saat jam pelajaran. Cukup aneh, datang dari Dika... Saya penasaran apa sebenarnya yang ingin anda katakan sepenuhnya jika teman – teman Dika tidak ada di situ."

"Hm. Seorang panutan bangsa cukup rumit untuk hadir pada masa kini... Contohnya, kita semua terpapar oleh banyak sekali berita skandal, masalah percintaan, paham ekstremis, hingga hiburan murahan yang mengalihkan perhatian orang – orang awam dari pencapaian mulia sesungguhnya—Juara internasional, relawan kemanusiaan, hingga penemuan terkemuka yang tidak dihargai dan dipandang murah oleh negara. Realita ini harus dipertimbangkan jika kita ingin membangkitkan jiwa – jiwa itu."

"Uwih... Tidak heran, Dika."

"Aku mementingkan tindakan daripada perkataan besar tanpa hasil. Aku bukanlah seorang propagandis."

"—Tuan Kotarou, Tuan Dika, kita telah sampai di Istana Megah Ibu Kiara Amanda."

"*Yawn* Terima kasih, Roland."

"..."

Menuruni mobil sedan milik Roland, aku tiba pada rumah Kochi yang tengah menahan sinar matahari sore sehingga memberikan corak oranye pada dinding berbata merah itu. Kiki bersandar pada kusen pintu rumah, merajuk seraya melipat kedua tangannya dengan pandangan yang tertuju pada kita... Melihatnya, Kochi mengeluarkan batuk seraya memperbaiki posisi kacamatanya.

"Natsuke Kotarou~ Apakah kamu tahu jam berapa ini~?"

"A-Aku tahu... Maaf, Kiara..."

"Hmph!"

Nagara NusantaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang