Chapter 6: Artyomovich (IV)

17 4 0
                                    

"...Tadi emangnya Dika bilang apa ke kamu, Kotarou?"

"Huh? Y-Yah... Dia hanya menyuruh aku untuk cuti sampai hari sabtu..."

"Lha bagus kan?? Kotarou, apakah kamu kecanduan dengan kerja sampai lupa kapan waktu untuk beristirahat?"

Guh... Kiara benar. Bahkan semenjak masa pacaran, ia selalu mengingatkanku untuk tidak terbebani dengan pekerjaan dan mengambil istirahat secara teratur. Pada hari – hari kuliah, Kiara seringkali membawakan aku makanan setiap pagi, lengkap dengan surat – surat penyemangat serta beberapa contekan tugas yang akan dikumpulkan pada hari itu juga... A-Aku memang bukan saingan dari gadis ini dan akan selalu terpana oleh segala aksi yang ia lakukan untukku.

"Haah... Kiara, aku benar – benar menyayangimu."

"Aku tahu, Kotarou. Aku juga sayang kamu."

"Katakan... Apakah aku bisa meminta satu hal, Kiara?"

"Hmm... Sebutkan saja."

Terdapat satu jenis resep makanan autentik Kiara yang selalu membantuku bertahan hidup melewati empat tahun penuh stres itu. Bahkan dengan bahan – bahan yang terbatas di negaraku Sang Matahari Terbit, Kiara selalu menemukan cara untuk menghadirkanku siomay yang mencampurkan bumbu – bumbu tradisional dengan senyuman manis dan hangat itu. Mengingat masa itu cukup untuk membuatku menjatuhkan setetes air mata. Rupanya Kiara telah lebih dulu menyiapkan sejumlah tisu untuk menyumbat mataku.

"Kiara... Apakah aku bisa memakan siomay semrawut-mu?"

"Boleh saja, Kotarou. Akan aku siapkan."

***

"Jalan Timur Raya."

Berhenti pada pinggir jalan, aku mengamati sekelilingku untuk menemukan berbagai kedai dan pedagang kaki lima yang tengah menjalankan bisnis mereka pada sore menyejukkan ini. Memarkir motor pada parkiran yang terletak tidak jauh, aku menanyakan secarik alamat tertentu kepada petugas parkir yang telah aku berikan dua ribu rupiah.

"Di manakah Jalan Emisari 19?"

Petugas itu melepaskan rokok dari mulut dan mengapitnya pada daun telinganya. Ia menunjuk jalan kecil yang berada tepat di sebelah toko kelontong, rupanya cukup untuk dilalui oleh motor.

"Masuk situ, nanti belok kanan ketemu rumah susun tinggi. Di situ tempatnya."

"Baik."

Mengikuti jalan yang sebelumnya tertunjuk, aku menjumpai pekarangan kecil yang berseberangan dengan rumah susun berdinding coklat—resepsionis dan tempat parkir pada lantai satu, serta blok – blok ruang kamar pada lantai satu dan dua. Memasuki bangunan itu, aku berhadapan dengan seorang wanita paruh baya berpenampilan ibu rumah tangga yang sedang terfokus pada ponselnya. Jika perantaraku adalah benar, maka ia adalah pemilik dari rumah susun ini... Akan tetapi, ia terlihat lemah dan lesu.

"Selamat datang... Apakah anda ingin mengajukan kontrakan atau bertemu dengan seseorang...?"

"Apakah Robert Perry ada di sini?"

"...Huh? Anak... Saya?"

(Oh?)

Aku seringkali menjumpai kebetulan seperti ini dalam lini pekerjaanku. Agen – agen amatir dalam agensi pembunuhan bayaran dilarang untuk berinteraksi dengan kerabat maupun target... Rasa penyesalan yang menjangkit mereka dapat mendorong agen itu untuk melakukan bunuh diri tidak lama setelah menyelesaikan misi bergaji tinggi ini.

"...Apakah terdapat masalah, nyonya?"

"Ti... Tidak. Saya hanya ingin bersyukur ia memiliki teman sepertimu. Terima kasih..."

Nagara NusantaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang