Chapter 8: Kenangan Terbakar (II)

11 4 0
                                    

*Tap...* *Tap...* *Tap...*

Aku tidak bisa meninggalkan kamu sendirian di sini... Setelah apa yang sudah terjadi di antara kita berdua, kamu masih dan akan tetap menjadi sahabatku... Aku akan terjun secepat mungkin ke neraka dan meninju sang iblis tepat di wajah bengisnya. Kamu akan ikut dengan aku... Entah kamu menyukainya atau tidak... Ahaha... Hahaha!! Aku kembali, Tuanku Yang Mulia!

...

"Haah... Beruntung saja anda masih bisa berjalan, Dika... Kaki kanan anda benar – benar berlubang semua! Apakah yakin Dika tidak ingin istirahat di rumah saya saja? Saya akan persiapkan beberapa perawat untuk memonitor kondisi anda."

"Tawaran yang baik, Kochi, kaki-ku masih terasa kacau dan rasa sakit ini tidak akan hilang setidaknya selama satu minggu lebih. Tetapi aku membutuhkan ketenangan... Terdapat sesuatu yang menggangguku selain reaksi yang akan diungkapkan oleh Niki nantinya. Setidaknya tambal kaki-ku secukupnya sehingga terlihat rapi dan tidak aneh di mata orang – orang awam."

Setelah insiden itu, aku memanggil Sidorova untuk menjemputku melalui suatu jalan yang berdekatan dengan lokasi ledakan itu. Beberapa butir paku yang berasal dari bom rakitan Deslan rupanya berhasil melintasi udara dan menusuk bagian bawah kaki kananku—meninggalkannya tidak dapat digunakan berlari untuk sementara waktu ini... Berhasil menambal luka dengan banyak alkohol dan perban dalam mobil Roland, aku kemudian meminta sebuah tongkat untuk membantuku berjalan. Aku terlihat seperti seorang kakek tua.

Sementara itu, Detasemen Gagak telah memulai proses pembersihan sisa – sisa Deslan pada lokasi ledakan bom itu. Berita nasional akan segera hadir untuk mengangkat kasus pembunuhan Soetanto Agusalim, namun Sidorova telah mempersiapkan berbagai bukti kejahatan untuk meningkatkan kepuasan rakyat dengan mengungkapkan kebenarannya... Aksi pembongkaran ini ditujukan untuk mengancam lebih banyak penjahat tersembunyi, mengikrarkan bahwa kita akan memburu mereka semua secara satu per satu—jika mereka tidak menyerahkan diri kepada pemerintahan yang benar – benar "bersih".

"Kali ini anda yang beristirahat, Dika. Kontrak – kontrak berikutnya akan datang ketika anda tidak berjalan seperti orang tua lagi."

"Heh... Kurasa saatnya beralih kepada kehidupan yang ditawarkan oleh sekolahmu."

Meraih saku bajunya, Kochi lalu mengeluarkan sebuah kotak rokok putih yang masih lengkap dengan isinya. Ikut mengambil batang putih dengan aroma mentol itu, aku menggunakan korek mahal milik Kochi untuk menyalakannya... Bersandar dengan Kochi pada dinding teras rumahnya, aku mulai mengisap penenang ini untuk merasionalkan pikiranku dan meredam rasa sakit di bawah sana.

*Ctck* *Ctck*

"...Anda seharusnya tidak merokok, Dika, mengingat umur anda masih tergolong anak – anak."

"Rasanya tidak seperti itu, Kochi. Semua yang telah kita lalui membuatku merasa tua... Abaikan saja, aku baru saja selamat dari ledakan bom."

"Jadi... Apa yang terjadi di malam hari ini, Dika?"

"..."

Aku hanya menyampaikan kepada Kochi bahwa Alexei Nikolaevich adalah seseorang yang kukenal dari masa lalu. Detail – detail lain sayangnya harus menunggu dengan penuh kesabaran karena telah menjadi masalah personalku dengan kenangan terbakar ini... Lagipula, bahkan bantuan Sidorova tidak cukup kuat untuk melawan kekuatan penuh Beliau pada kondisinya sekarang. Aku... Aku tidak ingin menempatkan orang – orang tercintaku dalam bahaya. Bayangan atas Niki dan senyum manisnya terlintas dari benakku. Something has to be done.

"Terima kasih atas rokoknya, Kochi. Aku akan pulang untuk beristirahat."

"Kembali kasih. Tapi anda pastinya harus menjelaskan semua ini kepada Nikita."

"Jangan khawatir... Itu telah menjadi kewajibanku. Spokoynoy nochi, Kochi."

"Haah... Selamat malam, Dika."

...

Akhirnya tiba pada kamar gelapku, aku dihadapkan oleh sebuah piring putih dengan sepotong kue coklat yang berdiri seorang diri. Mendekatinya, aku juga menemukan secarik kertas yang memuat catatan singkat.

Selamat berlibur, Kak Dika! Semoga pekerjaannya lancar!

"Heh... Aku harus menghadiahi anak itu suatu saat."

Bersulang dengan mengangkat gelas susu coklat panas yang menemani pada sisi piring itu, aku lalu mengeluarkan sebuah benda keras yang sebelumnya tersisip dalam jaket sipilku. Topeng iblis berwarna merah Deslan yang telah bersih dari noda darah miliknya kini bersandar tepat di sisi lampu tidurku... Aura kematian masih segar melekat pada objek itu dan aku yakin siapa pun yang mendekati topeng Deslan akan merasakan sensasi merinding. Namun berbeda hal dengan bagian dalam dari topeng itu yang memiliki warna merah muda dan dilengkapi oleh berbagai corak bunga krisan—sama persis dengan motif yang dimiliki oleh sangkar burung itu.

Menyembunyikan topeng terkutuk itu dalam sebuah brankas kecil pada sudut ruangan kamar, aku meraih dan menelan kembali beberapa pil dari botol yang selalu kubawa setiap saat... Setidaknya, itu yang sedang aku rencanakan. Sial... Aku kehabisan obat.

"Guh..."

Sesaat setelah menyadarinya, aku segera merasakan sakit kepala layaknya tertusuk oleh berbagai pisau tajam. Harmoni suara ping bernada tinggi segera mengikutinya, berusaha setengah mati untuk memecahkan gendang telingaku. Tidak dapat diabaikan juga jantungku yang berdebar keras dan memperparah seluruh keadaan ini... Kehilangan keseimbangan, aku terburu – buru menopang tubuhku pada meja makanku menggunakan kedua tangan yang kini bergetar hebat. Ini tidak bagus. Tidak ada yang dapat membantuku di kamar suram dan dingin ini, persis seperti malam itu.

*Creakk*

Terdengar dari ujung pendengaranku adalah suara pintu kamar yang terbuka, mengungkapkan sosok bertubuh tinggi dengan wajah yang tersembunyi oleh awan – awan hitam... Busananya sangat formal dan profesional layaknya akan berangkat menuju suatu pertemuan mafia. Di balik semua itu? Adalah senyuman tipis namun tajam layaknya ingin menahan tawanya melihat keadaanku. Setiap detak jantungku membuat sosok itu melangkahkan kakinya menuju aku.

"K-Kgh!"

*DOR* *DOR* *DOR* *DOR* *DOR* *DOR* *DOR* *DOR* *DOR* *DOR* *DOR* *DOR* *DOR*

Pada keadaan putus asa ini, aku dengan cepat melepaskan pistol dari pinggangku dan segera mengarahkannya kepada sosok itu—masih menggunakan jemari yang bergetar hebat dan tidak pernah berupaya untuk menenangkan dirinya. Mengabaikan perkataan dari mulut yang mulai bergerak itu, aku menekan keras pelatuk pistol ini berkali – kali dengan harapan binatang buas itu akan mati pada akhirnya. Semuanya harus mati!

"Hraghhhh!!!"

*DOR* *THUD*

***

Sebuah ruangan putih... Sebuah ruangan putih... Sebuah ruangan putih yang memiliki corak bunga krisan berwarna ungu gelap. Sebuah ruangan putih yang menggunakan bantalan pada dinding dan atapnya untuk menggambarkan awan – awan di langit... Atau mencegah seseorang untuk terluka. Seorang anak laki – laki menduduki lantai kamar itu, terlihat gelisah apabila ayunan tubuh itu diamati dengan benar. Tangannya bergetar layaknya ia kedinginan atau memiliki kerusakan pada sarafnya. Ia mendengar redaman langkah kaki yang datang dari balik punggungnya, tetapi tidak memberikan peduli untuk melihat siapa yang membuat suara itu.

A-Apakah kamu ingin bermain petak umpet denganku?

"Pergilah." Anak malang itu merespon, namun ia tidak kunjung pergi dan kembali mengulangi pertanyaannya. Apakah kamu ingin bermain petak umpet denganku? Kali ini anak itu mempertanyakan siapa identitas dari sosok pengganggunya. Jawaban yang cukup singkat—Deslan, Seorang anak berambut pirang yang memiliki keturunan Kaukasus di kedua tangan orang tuanya. Anak itu menanggapinya kembali, "Aku kedinginan". Deslan nampaknya juga telah membawakannya selimut yang ia "pinjam" dari ruangan sebelah.

Sekarang kita bisa bermain petak umpet, kan?

***

Nagara NusantaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang