*Tap* *Tap* *Tap*
"—Mama! Lihat apa yang aku buat!"
"...Gambar apa ini?"
"Ini gambar papa, Bagas, dan mama bersama!"
"Oh gitu..."
Aku ingat... Tidak ada satu pun komentar yang ia berikan terhadap gambarku ini—gambar yang berisi kita bertiga saling bergandengan tangan dengan coretan senyum lebar pada masing – masing wajah itu. Sebaliknya, ia hanya menyisir rambutku dengan tangan dinginnya dan meninggalkanku pada teras ini. Mengabaikanku untuk menjaga rumah ini sendirian, ia lalu pergi mengenakan pakaian cerah dan menariknya—memasuki mobil taksi untuk berangkat entah ke mana.
"..."
Aku... Hanya duduk bersandar pada pilar teras rumah kecilku sampai tertidur, tetapi tidak butuh waktu lama untuk seseorang membangunkanku. Saat aku membuka mataku lagi, langit sudah berubah menjadi gelap. Ternyata ayahku menjadi sosok yang berulang kali menepuk pundakku untuk membuatku terbangun. Entah sampai kapan aku akan tidur jika bukan karenanya... Aku juga melihat sepeda yang ayah gunakan untuk berangkat kerja—masih bersandar pada pohon di depan rumah. Keranjang besi yang sedikit berkarat itu membawa makan malam hari ini.
"B-Bagas! Ngapain tidur di teras?? Nanti digigitin nyamuk!"
"Ayah... Aku sedang menunggu... Mama pulang..."
"...Mama? Haah... Ayo masuk dulu, Bagas. Papa bawa nasi goreng kesukaanmu..."
Ayah mengantarku masuk ke dalam rumah dan membiarkanku untuk mandi terlebih dahulu... Dingin, tapi setidaknya kita memiliki air. Setelah itu, aku dan ayah memakan nasi goreng bawaannya di bawah cahaya remang – remang kamar. Memperhitungkan semuanya, malam ini sungguh biasa – biasa saja. Ayah sesekali bertanya kepadaku mengenai sekolah, yang kemudian kujawab "Baik". Mengangkat kepala untuk menanggapi pertanyaan itu, aku bisa merasakan kesedihan pada wajah di balik kacamata persegi milik ayah itu... Belum lagi kantung hitam yang menggantung di bawah kedua matanya.
"Kepergian" dirinya terus terjadi selama beberapa minggu dengan alasan untuk bekerja di tempat jauh... Sampai suatu hari ayah akhirnya tidak tahan lagi setelah ia pulang dengan bau minuman keras yang melekat. Aku terbangun dari kasur untuk pergi menuju kamar mandi, ketika terlihat ayah dan dia sedang bertengkar tepat di depan rumah. Tidak ingin mengagetkan mereka dengan kehadiranku, aku memutuskan untuk mengintip mereka dari pintu kamar setelah menyelesaikan urusanku di toilet. Aku tidak bisa mengerti apa yang mereka tengkarkan, seperti... Pikiran ini tidak ingin mengingat kembali apa yang terjadi pada malam itu antara ayah dengan dia.
"..."
Aku diam – diam kembali menuju kamarku untuk tidur. Setelah beberapa saat, aku bisa merasakan ayah masuk dan menduduki tepi kasur sambil menangis tersedu – sedu, mungkin saja untuk tidak membangunkanku... Pada malam hari itu, aku menyadari bahwa wanita itu telah menyakiti ayah. Aku tidak ingin melihat ayah menangis lagi—iblis itu harus membayarnya... Aku berharap malaikat akan datang untuk menenangkanku, di saat aku berkelana di jalan penuh ketidakpastian ini.
...
"—K-Kak Bagas..."
"Mhrm... Mh... Hm?"
Membuka mata, aku mendapati diriku terbaring pada suatu bantalan empuk—pandangan menghadap ke atas menuju lampu gantung kamarku. Njir. Apakah aku tertidur? Tidak hanya itu, terdapat sensasi sentuhan yang lembut tapi cukup keras untuk membangunkanku—dan juga wajah seorang pelayan berambut hitam... PFFT!
"*Cough!* S-Sylvie!"
"Wah!!"
"Kamu akhirnya bangun. Filmnya telah selesai."
"...Huh? O-Oh iya. Sorry, sorry. Kayaknya aku kecapekan banget... Lagi banyak urusan bisnis yang harus aku handle karena papa sedang sakit."
"Baiklah... Aku dan Sylvie akan pergi untuk bekerja. Kita telah membersihkan camilan yang berserakan dan memasukkannya dalam kulkasmu, juga merapikan meja televisi beserta kabel pemutar kasetnya. Ayo, Sylvie."
"S-Saya pamit dulu, Kak Bagas!"
"Ah, iya... Terima kasih kalian sudah datang untuk nonton. H-Hati – hati!"
Setelah mengantar Dika dan Sylvie menuju pintu, aku pergi ke kamar mandi untuk mencuci muka-ku. Tidak lama kemudian, aku segera membuka kulkas untuk menemukan camilan yang telah tertata dengan rapi. Mengobrak – abrik camilan beraneka warna ini, aku akhirnya menemukan kotak susu coklat setengah penuh—yang segera kuteguk hingga habis. Guhh... Banyak sekali gulanya.
Sepenuhnya terbangun, aku mengingat mimpi yang telah aku rasakan barusan. Bayangan itu sangat jelas hingga membuatku takut... Bersandar pada dinding kamar, aku perlahan menurunkan tubuhku hingga menyentuh lantai—membentuk posisi layaknya orang yang sedang mengalami depresi dengan kotak susu kosong pada tangan kananku.
"Sial, ibu... Kenapa kamu melakukan ini kepada kita semua... Ini adalah ulang tahunku yang ke-14 tanpa keberadaannya tiga hari lagi... Andai saja malaikat akan muncul dan menenangkanku setelah sekian lama penderitaan ini aku rasakan..."
***
*Tap* *Tap* *Tap*
"..."
"...Sylvie. Apakah kamu melihat air mata yang menetes dari wajah lesunya?"
"...Iya, Kak Dika. Apakah ada sesuatu yang membuat Kak Bagas sedih? M-Maaf... Jika saja House of Maids tidak mengadakan evaluasi dadakan malam ini, saya ingin sekali membantu Kak Bagas... Ia terlihat sedikit kesepian..."
"Aku mengagumi simpatimu. Jangan khawatir, aku akan melakukan sesuatu seusai pekerjaan ini selesai... Sementara itu, aku berdoa untukmu mendapatkan hasil yang terbaik malam ini, Sylvie."
"Siap, Kak Dika! Selamat bekerja!"
Seusai mengantarkan Sylvie tepat di depan kamarnya, aku kembali menelusuri koridor asrama dengan langkah cepat menuju kamarku... Semenjak Sidorova berhasil menjalin hubungan dengan beberapa perusahaan lokal, kami menyepakati tawaran mereka melalui seorang utusan—untuk menutup identitas sementara waktu ini. Beberapa tawaran itu meliputi pembungkaman preman dan gangster amatiran yang telah berkeliaran pada pinggir Kota Kusumajaya baru – baru ini—tentunya menjadi tanggung jawabku untuk mengeksekusinya.
Kiki telah memerintahkanku untuk menganalisis komplotan itu dan mengambil aksi pencegahan—sebelum mereka terus melanjutkan tindakan keonaran ini pada Kusumajaya... Adapun sosok yang mengawasi operasi kecil ini tidak lain adalah Pak Agung—terlihat senang dengan tawaran Sidorova yang menguntungkan pemerintahannya, yaitu menjaga tingkat kriminalitas Kusumajaya jauh di bawah rata – rata nasional.
"...Aku hanya memiliki satu minggu."
Beruntung saja Kiki telah menyediakanku dengan 73 titik lokasi persembunyian mereka yang tersebar dan mengepung Pulau Kusumajaya. Sebagian besar dari tempat itu berlokasi di sepanjang jalan pantai atau berdekatan dengan muara Hutan Kusumajaya... Kurasa inilah saatnya aku untuk memanggil beberapa bawahan pribadiku dari Dunia Bawah. Maka selama satu jam terakhir aku telah menghubungi bawahan – bawahan dengan jumlah yang tidak terhitung untuk bergabung denganku dalam operasi kecil ini. Tentunya setelah semua ini selesai, mereka akan dialihkan menuju megaproyek Sidorova yang telah dirancang selama bertahun – tahun—memberikan bawahanku jalan yang aman menuju Dunia Atas.
*Bzzt* *Click*
"Speak."
{Dika. Anda mungkin harus melihat rekaman dari atap asrama. Nampaknya teman anda, Bagas, sedang mengisap rokok seraya bersandar pada pagar... Ia terlihat sedih. S-Saya hanya ingin anda memastikan apakah dirinya baik – baik saja atau tidak. Jika sesuatu yang buruk terjadi, saya akan terkena masalah besar... Belum lagi larangan merokok dalam lingkungan sekolah.}
"...Hm. Aku akan melihatnya."
{Terima kasih, Dika. Kochi keluar.}
*Tuut*
"...Sepertinya memang benar. Waktunya untuk menemani orang itu."
Meregangkan tubuh setelah berdiri dari kursiku, aku mengambil kotak rokok-ku sebelum berjalan menuju pintu kamar... Kurasa waktunya juga telah tiba untukku melepaskan sedikit penat ini.
...
![](https://img.wattpad.com/cover/333070593-288-k436710.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Nagara Nusantara
Romance"Kemuliaan bagi pembela kemanusiaan." Andika "Dika" Raylan, seorang remaja berlatar belakang misterius yang bersekolah pada sebuah SMA elit untuk merasakan kehidupan normal seraya menggali informasi dan melaksanakan perintah terakhir dari majikannya...