BAB 4

135 36 2
                                    

PENGUMUMAN UNTUK PENGGILA PROMO KAYAK AKU~

Selama Hari Kemerdekaan dari tanggal 01 Agustus - 17 Agustus 2023. SEMUA karyaku di KARYAKARSA seharga Rp. 7.800,- dan bisa dinikmati SEUMUR HIDUP! Jangan sampai ketinggalan~ *harga di atas kecuali PDF

CATATAN TAMBAHAN:

Ada yang tanya, apakah cerita ini udah masuk di KK? Maka bakal aku jawab, belum! Soalnya lagi HUT RI, aku kayaknya nggak jadi update cepat sampai Bab 1-5, tetapi aku ubah jadi Bab 1-10 bisa kalian baca cepat di Wattpad. Tapi seterusnya, update cepat hanya berlaku di KK. Yuks, semangat tinggalkan vote, biar update-nya nggak ngaret ya~

■□■□■□■□■

Tidak banyak orang yang mampu menceritakan rasa sedih dan apa yang mereka lewati selama ini kepada orang lain. Kebanyakan dari mereka mungkin membicarakan bahwa apa yang terjadi harus dihadapi, mau bagaimana lagi bila memang akhirnya terjadi. Orang tak peduli dengan rasa sedih kita, sebab yang mereka pedulikan tidak lebih dari rasa penasaran. Lantas, apa yang sebaiknya dilakukan?

Hinata tidak punya apa-apa pada genggaman kecilnya itu. Selain rasa sedih, kadang kala dia mempertanyakan apa artinya dia hidup, tapi tak ingin cepat mati. Lelah berkepanjangan, tidak hanya dari penyiksaan yang dialaminya. Sekumpulan mimpu buruk seperti pisau yang terus menancap sangat menyakitkan di kepalanya.

Tayangan di televisi, di mana ucapan-ucapan menyejukkan dr. Uzumaki membuat Hinata bangkit. Keyakinan sebagai seseorang yang ingin berbenah diri diraihnya sampai akhirnya dia menabung untuk pergi ke sini. Memberanikan diri keluar dari rumahnya, yang tidak pernah dilakukannya. Dia sangat udik, ketinggalan zaman, dan orang bilang hanya mengandalkan wajah cantiknya yang sebenarnya tidak seberapa bila datang ke kota besar. Tidak peduli apa yang dikatakan oleh orang-orang tidak bertanggungjawab itu, yang hanya bisa berkata kotor terhadap anak perempuan yang sudah melewati banyak penyiksaan tiada habisnya. Belum lagi trauma di mana seorang ibu yang dibunuh dalam tragedi berdarah.

"Kalau di desa tempat tinggalku, ayahku, termasuk orang yang sukses dan kaya raya. Suatu hari, ibu memenangkan sebuah tiket liburan. Saat itu, harusnya ibu mengajak ayah untuk pergi bersama. Namun, ada perubahan rencana, ibu tidak mengajak ayah, dan ayah setuju bila ibu mengajak Hanabi, adikku. Mereka pergi berdua meninggalkan aku dan ayah di rumah. Orang bilang, begitu beruntung bisa berlibur secara gratis. Tapi bagi kami, baru kami sadari, itu seperti merelakan ibu dan adikku pergi untuk selama-lamanya."

Sambil membaringkan tubuhnya di sofa besar atas saran dr. Uzumaki sambil melihat lampu gantung kristal yang disukainya itu, Hinata menceritakannya dengan lancar tanpa gagap seperti biasanya, yang orang lain kadang-kadang lebih sebal mendengarnya, sedangkan dr. Uzumaki masih mendengarkan cerita sambil mencentang di atas kertas, kadang dia terlihat menulis sesuatu dengan cepat.

Hinata kemudian melanjutkan ceritanya. Tidak hanya gadis itu yang tegang, tapi dr. uzamaki mendadakan merasakan sakit di hatinya ketika mendengar tragedi seperti Oktober Berdarah—sebuah tragedi yang menewaskan banyak orang yang sedang berwisata. Orang tidak akan lupa dengan tragedi besar itu. Media di seluruh dunia memberitakannya seolah itu acara menarik dan yang paling penting ditunggu-tunggu. Orang bahkan rela untuk tidak tidur menunggu acara berita selesai mengulas. Video daring mengerikan beredar di mana-mana. Seluruh dari mereka penasaran tak sungkan pada yang ditinggalkan. Tidak ada yang selamat. Semua tewas mengenaskan bermandikan darah.

Masih mengamati dan mendengarkan cerita sang pasien. Dr. Uzumaki terus menulis dan mencentang. Suara Hinata makin kelam, dengan seluruh cerita-cerita yang berawal dari kecelakaan itu. Tidak mudah sejak saat itu, kecelakaan mengerikan itu tak hanya membekas di benaknya, tapi perubahan ayahnya, dan kehidupannya yang menjadi tak layak.

Dr. Uzumaki masih tidak membuka semua saran-sarannya. Untuk sesi pertama dia lebih senang mendengarkan dan memberikan hasil untuk sang pasien. Dia menuliskan resep. Hinata tipe pasien pengidap bipolar. Gadis itu butuh obat penenang lebih banyak, dia bahkan sudah sering mengalami halusinasi, susah tidur, rambut rontok, dan beberapa episode yang tidak menentu datang.

"Ayahku menikah dengan kenalannya dan membawanya pulang ke rumah. Ibu tiri selalu digambarkan sangat kejam. Aku tak mungkin melukai hati ayah untuk mengungkapkan seluruh kekhawatiran itu. Soalnya, aku punya teman yang punya ibu tiri, dan ibu tirinya sangat baik kepada semua orang. Jadi aku tidak mau menganggap semua ibu tiri kejam lagi. Namun, beberapa tetangga tidak menyukai sifat ibu tiriku yang berbeda dari nyonya rumah Hyuuga sebelumnya. Orang tanpa sadar membanding-bandingkan. Aku sempat memarahi mereka, dan menyangkal kalau ibu tiriku tidak seperti yang mereka beritakan. Ibu tiriku tak pernah memukul atau memakiku. Tapi ternyata aku salah. Akhirnya aku tahu, kalau ibu tiriku benar-benar seperti ibu tiri Cinderella."

Kedua mata Hinata yang kosong pun basah oleh air mata. Dia tidak dapat membendung semua kesedihannya itu. Dia akhirnya dimusuhi oleh banyak orang karena dia membela ibu tirinya saat itu. Dia terlalu naif pada saat itu, tidak memperkirakan bahwa tindakannya pun akan melukai diri sendiri di masa depan. Orang menjadi tidak mau membantunya. Dia sudah membentingi diri dari orang-orang yang mencoba melindunginya. Hinata merasa, mereka berhak membencinya yang tidak tahu diri.

Dr. Uzumaki mengambilkan tisu untuk Hinata. "Silakan, pakai ini untuk menghapus air matamu."

"Terima kasih," Hinata menghapus air matanya, dan setelah itu melanjutkan ceritanya. "Lima tahun lalu, ayahku terkena strok. Tidak ada pemasukan semenjak saat itu. Rumah besar kami tidak ada artinya sampai-sampai kami kesulitan soal biaya untuk mengurusnya. Di belakang rumah sudah hampir terbengkalai. Rumah yang dulunya indah dan penuh banyak kenangan justru seperti rumah hantu. Ibu tiriku tak peduli ayahku sakit dan hanya bisa terbaring di atas kasurnya. Saat SMA, aku bekerja di pasar tradisional bersama tetanggaku, karena aku butuh uang untuk pengobatan ayah. Aku pikir dengan bekerja keras, aku bisa menolong pengobatan ayah, tetapi ibu tiriku membawa uang-uangku. Hanya sedikit orang yang peduli dan menolong kami. Selebihnya, mereka bilang itu karena kami tak tahu terima kasih."

"Duduklah, kamu harus minum tehmu lagi. Bisa dilanjutkan ketika kamu sudah lebih baik."

Hinata minum teh dingin itu, menghabiskannya sekaligus. Dia tampaknya lebih segar, bukan hanya karena teh, tetapi karena dia berhasil menceritakan semua masalahnya.

■□■□■□■□■

BERSAMBUNG

In a Lonely and Sleepless Nights. 2.2 © 11 Oktober 2016

Dibuat ulang: 31 Juli 2023

In a Lonely and Sleepless NightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang