BAB 1

312 44 0
                                    

■□■□■□■□■

"Apa kamu tidak punya mata?"

"Dasar. Kamu mau mati ya? Bisa-bisanya menyeberang begitu saja!"

Di kota besar, orang-orang suka mengumpat, entah demi kebaikan bersama atau melampiaskan hari terburuk mereka pada orang lain saat berpapasan. Tidak hanya bagaimana mereka memaki, di kota besar terdengar lebih banyak klakson berbunyi dan sangat berisik. Orang tak sungkan untuk mencemooh dengan hanya menggunakan tatapan. Kedua mata mereka mencibir, meski wajah tampak tidak peduli.

Gadis yang dimaki-maki tadi, masih di pinggir penyeberangan sambil memeluk tas cokelatnya. Dia tidak berani melangkah, sementara mengakui kesalahan impulsif untuk datang ke kota besar, berharap mencari pertolongan. Perjalanan menggunakan kereta berkali-kali membuatnya sudah kehabisan tenaga. 

Sekali lagi, gadis itu mencoba melihat rambu-rambu dan orang di sekitarnya. Kalau orang-orang itu mulai menyeberang, dia harus mengikutinya. Semuanya ada aturan, tetapi aturan itu telah lama dilupakannya. Seakan-akan dunia mengisolasi dirinya. Seringnya melamun membuatnya kehilangan kesadaran dan tanpa sadar berjalan sendiri. Itulah sebabnya dia perlu ke kota besar untuk memperbaiki mentalnya yang buruk, karena di desa kecil seperti tempat tinggalnya, orang hampir tak peduli dengan hal itu.

Setelah mengamati serius, gadis itu mengamati rambu-rambu lagi, beberapa detik telah mundur jauh, sebentar lagi adalah waktu menyeberang yang ditunggu, jalanan simpang siur masih tak bisa diterima. Dia ketakutan, tetapi bisa apa. Dia sudah mempersiapkan semuanya sejak awal. Dan sekarang, harus dihadapinya.

Suara wanita menasihati menyeruak. Gadis itu bersama yang lainnya menyeberang dengan tergesa-gesa. Orang kota memiliki langkah cepat, mereka diburu oleh waktu dan serba bisa, masih tidak bisa dihadapi oleh gadis itu yang ketinggalan zaman, dari penampilan saja dia terlihat mirip gadis retro yang mencoba mengikuti tren mode di Harajuku, orang kota tak akan mengomentari penampilannya, berbeda dari orang-orang desa yang mengedepankan pakaian gadis dan tren seperti selebritas.

Bersama-sama melangkah dengan penyeberang lainnya, dia berusaha untuk tidak tersandung karena kebiasaannya memang begitu. Orang tak akan menolongnya, dan mungkin bakal menertawakannya. Sudah berapa banyak yang melakukan itu kepadanya. Dia tidak mau orang kota pun melakukan hal yang sama kepadanya. Rasa sakit pasti tidak akan jadi masalah sebab sudah terbiasa, tetapi rasa malu, jauh lebih luar biasa menyulitkan. Dia tak mau menjadi gadis idiot yang selalu diremehkan, yang katanya tidak bisa apa pun kecuali menyusahkan saja.

Perjuangan cukup panjang itu pun membawakan hasil. Si gadis seperti diapresiasi karena sudah berhasil menyeberang bersama yang lain. Tidak ada lagi kecelakaan yang dibuatnya, terutama tersandung oleh kakinya sendiri. Sesampainya pun, dia menarik napas dalam-dalam, itu sebabnya dia merasa lega. Rambu sudah berganti, waktunya dia mengabaikan semua kebodohannya itu tetap berada di tempatnya. Dia melanjutkan untuk menuju ke tempat tujuan sesungguhnya.

"Syukurlah, tidak tersandung, kamu hebat," sudah sepantasnya dia memuji diri sendiri daripada menunggu orang lain memujinya. Dia melanjutkan berjalan selagi merapikan penampilannya, yang mengenakan rok panjang selutut, kaus kaki di atas mata kaki, sepatu pantofel usangnya, dan blus polos yang dilapisi kardigan. Dia mirip seperti anak perempuan daripada wanita yang beranjak dewasa.

Langkahnya lurus menuju ke peta yang sudah digambarnya setelah melihat internet sebentar atas bantuan tetangganya yang baik. Tidak lupa, ketika sang tetangga bilang kota besar ada banyak pencuri, gadis itu tidak pernah melepaskan pelukan pada tasnya. Kalau dia kehilangan uangnya di sini, dia akan menjadi gelandangan. Beberapa waktu lalu, dia sudah membuat janji temu, yang sulit dibuat. Dia menghubungi berkali-kali sampai mendapatkannya, lalu pergi ke sini.

Pagi sekali dia bangun, hari bahkan masih gelap untuknya, tapi bagi orang desa sepertinya, pagi buta waktunya pergi ke perkebunan dan ladang. Orang bekerja di saat orang kota masih tidur atau baru pulang dari pub dengan kondisi mereka setengah mabuk.

"Tidak salah lagi, ini tempatnya."

Tetangganya yang baik itu, setelah diberikan uang olehnya, membantunya agar menemukan tempat yang dituju, yaitu Uzumaki House, rumah bagi orang-orang yang butuh pertolongan sama sepertinya. Kondisi mental yang rapuh dan kekerasan yang dialaminya itu membuatnya menderita. Menurutnya, kalau bukan dirinya sendiri yang dapat menolongnya, memang siapa lagi?

Belum yakin untuk masuk ke dalam, gadis itu berhenti sambil mengamati papan dan logo yang tergambar pada dinding kaca memantulkan jalanan. Kakinya berubah gemetar, tapi tak mungkin pergi dari sana mengurungkan niatnya setelah perjuangan seharian ini untuk sampai ke kota. Hinaan dan makian orang-orang, itu harusnya bagian paling sulit untuk dilewatinya. Setlah semua yang terjadi itu, gila rasanya pergi begitu saja. Dia harusnya ingat, beberapa hari lalu, dirinya sudah membulatkan tekad untuk hal semacam ini. Berbulan-bulan menabung hanya demi mendapatkan perawatan untuk dirinya sendiri. Kalau terlalu lama, dia mungkin akan pingsan karena kepanasan. Jepang saat ini mengalami masa-masa sulit oleh musim panas yang membunuh hampir penduduknya. Dia harusnya ingat itu.

Seperti yang orang itu katakan, dia menghitung tiga kali sambil menarik napas dan perlahan mengembuskannya. Gadis itu pun akhirnya masuk, dihadiahi oleh kesejukan dari pendingin ruangan yang membuatnya nyaman. Pintu kaca itu terbuka secara otomatis. Dia sedikit terkejut karena belum terbiasa.

Seorang penerima tamu yang ramah tiba-tiba mendatanginya. "Ada yang bisa dibantu?" lebih menakutkan orang yang ramah daripada orang marah-marah, pikir gadis itu yang langsung menunduk. Rambut panjangnya terjatuh ke pundak dan wajahnya. "Silakan, pelan-pelan saja. Anda bisa menulis di buku tamu. Kalau boleh tahu, apakah sudah membuat janji temu? Kalau sudah membuat janji temu, saya akan memandu Anda untuk sampai ke ruang tunggu khusus."

"Iya, aku sudah membuat janji temu," dia berseru lirih, nyaris tak terdengar, tetapi si penerima tamu masih tersenyum dengan sabar, sebab ini bukan kali pertama dia menerima orang seperti gadis yang baru masuk itu. "Bagaimana?" dia bertanya dengan suara gemetar dan setengah gagap.

"Baik, saya boleh meminta kartu identitas Anda? Saya akan membantu verifikasi pada sistem kami, maka setelahnya Anda bisa bertemu dengan dr. Uzumaki, beliau masih mengurus beberapa pasien di dalam."

Gadis itu mencarinya di dalam tas dengan tergesa-gesa, dan setelah mendapatkannya, dia pun menyerahkannya pada penerima tamu tadi, yang kemudian membantunya untuk verifikasi data diri karena dia sudah melakukan janji temu, maka tak perlu menulis di buku tamu.

"Benar dengan Hinata Hyuuga?"

"Benar."

"Baik. Semuanya sudah selesai. Mari, saya pandu ke ruang tunggu," si penerima tamu itu memandu Hinata untuk sampai ke ruang tunggu. Membuatkan segelas teh dingin untuknya. Cuaca di luar benar-benar membuat seseorang kepanasan sampai kulit mereka terlihat memerah.

"Terima kasih."

"Sama-sama, Nn. Hyuuga."

Hinata duduk di dekat jendela kaca, senang menemukan hiburan kecil dengan melihat orang lain dapat berbicara bersama teman atau keluarga dengan bebas. Dia sudah lama tidak melakukannya, sebab semua orang membencinya yang tergagap-gagap, hampir membuat orang tak paham dengan apa yang dibicarakannya. Orang lain tidak mau mendengarkannya, mereka kadang sibuk menatap ke yang lainnya atau malah mengabaikannya. Orang bilang, sebaiknya dia tidak berbicara, itu jauh lebih bisa diterima.

■□■□■□■□■

BERSAMBUNG

In a Lonely and Sleepless Nights. Ch 1 © 10 Oktober 2016

Ditulis ulang: 29 Juli 2023

In a Lonely and Sleepless NightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang