■□■□■□■□■
Dengan langkah yang tidak sebaik saat dirinya masih muda, Sarutobi bergegas begitu dia mendengar tuan mudanya pulang kembali ke rumah. Padahal Naruto sudah bilang, kalau ada banyak pekerjaan yang harus diselesaikan hari ini juga. Belum lagi janji temu pasien dan praktik di rumah sakit. Semuanya padat merayap. Tapi mengapa Naruto pulang? Tanpa gadis bernama Hinata Hyuuga bersamanya seperti pagi tadi.
"Apa yang membuatmu kembali? Apa kamu ingin berkunjung lebih lama hanya untuk bertemu ayah dan ibumu?" langkah Naruto berhenti, dia dapat merasakan sesak di dadanya. Tidak dapat mengungkapkan apa yang sebenarnya terjadi, mengenai semua kesulitan-kesulitan itu kepada orang lain apalagi kepada keluarganya. Naruto sama sekali tidak tahu, siapa yang dapat dipercaya olehnya. "Ada apa? Kamu sakit?"
"Aku akan pergi ke kamar. Sekarang, aku hanya butuh istirahat."
Sarutobi menggerakkan tangannya, menginterupsi para pelayan untuk mengikuti Naruto di belakangnya. Sarutobi menyadari kekurangannya, dia tidak mungkin dapat mengimbangi langkah lebar anak yang sudah dewasa itu. Napasnya bahkan masih perlu diatur karena dikagetkan dengan kedatangan Naruto kembali.
Saat semuanya tampak membaik, Sarutobi pun mengikuti Naruto ke kamar. Meskipun Naruto tidak ingin diganggu, Sarutobi masih tidak nyaman harus meninggalkan Naruto sendirian di kamarnya. Apalagi dengan emosi yang sedang tidak stabil itu.
"Kenapa kalian berhenti?" Sarutobi membelah sekumpulan pelayan, yang mengikuti Naruto tadi. Dia mencari tahu mengapa semua orang tidak kembali berjalan mengikuti tuannya. Sarutobi lantas bertanya ketika mengetahui Naruto-lah yang tiba-tiba tidak melanjutkan jalannya. "Naruto, kenapa? Apa kamu ingin masuk?" semua orang tahu ruangan itu sangat dingin dan suram. Namun tidak ada yang berani mengungkit sedikit pun sesuatu di dalam sana.
Masih berada di depan pintu kamar orangtuanya, Naruto dapat mendengar gelak tawa keduanya, begitu terbayang-bayang, membuatnya menyadari tidak dibutuhkannya dia di antara mereka.
Sudah sejak lama Naruto menganggap bahwa kebahagiaan mereka yang abadi itu tidak harusnya ada dia. Tidak salah bila Naruto merasa tersisihkan di dalam keluarganya sendiri. Naruto tidak mampu menjelaskan seluruh rasa sakit yang membingungkan itu. Dia hanya berdiri dan merasa kesal karena tak disambut dengan benar sampai detik ini.
Setiap kali dia ingin mencoba mengakhiri hidupnya, seseorang selalu berkata bukan itu yang diinginkan oleh orangtuanya. Dia harus tetap sehat, hidup bahagia, dan bertemu dengan orang yang mencintainya. Kehidupan masih terus berlanjut bagi orang yang tidak dijerat oleh keabadian sepertinya.
"Naruto."
"Apa aku perlu masuk? Menyapa mereka lagi?"
"Tidak. Kamu tidak harus masuk ke sana kalau kondisimu kurang baik."
Saat ini saja kondisinya sudah tidak baik—sejak lama, sejak dia mendengar kabar kurang menyenangkan itu, saat dia ditinggalkan begitu saja. Naruto sering kali menyiksa dirinya sendiri mulai sejak saat itu. Pada akhirnya, membuat dirinya memiliki banyak bekas luka di sekujur tubuhnya. Semua itu karena ambisi untuk menuju ke kematian yang diharapkannya. Semua rasa sedih yang meledak itu mencabut sedikit demi sedikit akalnya.
Tiba-tiba saja Naruto menggerakkan tangannya. Dia memerintahkan semua pelayan pergi dari sana, sedangkan Sarutobi mengangguk menyetujuinya.
Awalnya dia tampak sangat kalut, tetapi sekarang Naruto tersenyum. Kehidupan tidak pernah berubah. Semua mengaguminya sebab seakan tak punya masalah. Pasien-pasiennya tidak akan sekalipun berpikir pria sekelas Naruto atau sebaik Naruto memiliki kelainan untuk melukai diri sendiri, pada tingkat yang tidak pernah pernah mereka bayangkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
In a Lonely and Sleepless Night
Fiksi Penggemar✿ Baca cepat di Karyakarsa ✿ Update 2 minggu sekali di Wattpad ✿ Pre-Order versi cetak Rp. 130.000,- Tragedi yang disebut sebagai Oktober Berdarah menyebabkan banyak orang kehilangan keluarganya. Sebuah bus pariwisata dibajak oleh sekelompok perampo...