BAB 10

105 37 2
                                    

CATATAN:

Guys, sudah memasuki bulan Agustus, aku mau mengingatkan bagi kalian yang mau ikut Pre-Order Fanbook Perfect Crime dan 02.00AM, terakhir September 2023 ya. Kalian bisa melakukan DP sebesar 50% dari harga bukunya. Pelunasan tidak harus setelah buku jadi, sejak dulu pelunasan bisa dilakukan kalau kalian punya uang untuk melunasi. Tapi dimohon bila masih belum bisa melunasi, kabari setidaknya satu bulan sekali ya. 

HARGA: 

Perfect Crime: Rp. 220.000
02.00AM: Rp. 250.000

■□■□■□■□■

Naruto tertidur sebentar saat mengerjakan laporan yang tersisa. Dia masih berada di bangsal itu untuk menunggu Hinata Hyuuga, yang dilihatnya begitu bangun malah meringkuk dan menangis. Naruto bertanya-tanya di dalam benaknya, apakah gadis itu mimpi buruk atau menangis karena sedang merasakan sakit? Naruto bahkan tak berani mendekati, sampai akhirnya dia benar-benar meyakinkan dirinya untuk memastikan keadaan gadis itu. Dia tahu, betapa sakitnya luka bakar, rasa panas yang tidak tertahankan oleh kulit melepuh.

"Mana yang sakit? Apakah itu di bagian punggungmu?"

"Dokter, kenapa kamu masih ada di sini?" Hinata mengusap air matanya. Sejak tadi dia tengkurap, belum lagi kamar itu sangat besar, dia jadi tidak tahu kalau dr. Uzumaki masih ada di ruangan bersamanya. Hinata tampaknya malu ketahuan sudah menangis sendiri malam-malam, seperti yang dilakukannya setiap kali dia berpikir, dia hidup sendiri di dunia ini. "Maaf, kamu pasti terganggu."

Naruto menarik kursi di samping gadis itu. Tangannya dengan lembut merapikan rambut Hinata yang berantakan di depan wajahnya setelah dia duduk. "Besok, aku akan membantumu mencuci rambutmu, pasti tidak nyaman rasanya."

"Tidak perlu. Aku sudah terbiasa."

"Terbiasa tidak mencuci rambutmu? Apa kamu tahu betapa bahayanya kebiasaan itu? Tidak hanya bisa menimbulkan rasa tidak nyaman di dahimu, itu bakal lebih banyak bakteri dan membuat kulit kepalamu iritasi!" gadis itu tidak pernah berpikir sejauh itu. Sewajarnya bagi orang-orang depresi tidak pernah peduli dengan penampilan. Mereka sibuk dengan isi pikiran.

Dimulai dari sulit merawat diri, hal sederhana seperti menyikat gigi, mencuci wajah, atau mencuci rambut. Mereka semua tidak peduli dengan itu. Naruto lebih paham, dan sekarang dia mencoba menyadarkan Hinata bagaimana caranya untuk bangkit seperti yang gadis itu inginkan.

"Bagi ayahmu, kamu adalah orang yang berharga jangan sia-siakan apa yang paling berharga baginya. Bukankah kamu ingin berubah? Cara membalas dendam yang baik hanya itu satu-satunya. Tunjukkan bahwa kamu tidak bisa ditindas oleh wanita itu sampai kapan pun lagi."

Hinata berhenti merasa sedih. Dia tidak boleh selemah yang sudah-sudah. Dia berusaha untuk bangkit dan berubah menjadi lebih baik. Bukankah tujuannya untuk bertemu dengan dr. Uzumaki memang itu? Dia harusnya tak boleh melupakan tujuan utamanya untuk dapat mengubah keadaannya. Kehidupan yang seharusnya menjadi pelajaran berharga agar dia tidak mudah sedih dan diremehkan.

"Apa kamu ingin makan sesuatu? Kamu belum makan dan hanya minum susu, itu tidak baik untuk lambungmu," Hinata tidak sekalipun merasa lapar, bagaimana dia harus menjawabnya, kalau dia sendiri tidak ingin apa-apa kecuali pulang untuk memastikan kondisi keluarganya. "Kamu belum menjawab apa yang membuatmu sedih. Apa ada yang sakit?"

"Ini soal ayahku. Aku meninggalkannya bersama tetanggaku—satu-satunya tetangga yang tampaknya peduli pada kami," Hinata harusnya jujur kepada dr. Uzumaki apa yang dipikirkan sejak tadi sampai akhirnya menangis tersedu-sedu sendiri. Dari raut wajah pria itu, mustahil sang dokter tak menyadari kegelisahannya dan mungkin mau menolongnya. Apakah dia terlalu banyak berharap? Atau dia menjadi gadis tidak tahu diri? Belum cukup merengek meminta tempat perlindungan, dia meminta lagi. "Maafkan aku, yang terlalu banyak menyusahkanmu."

"Jika sejak awal aku merasa permintaanmu itu sulit, maka aku tidak akan pernah melakukannya."

"Dokter, bila ada sesuatu yang dokter inginkan dariku, katakan saja. Aku pandai memasak, mencuci pakaian, dan mengurus rumah. Aku akan melakukan apa saja untukmu."

"Tidak perlu. Sudah ada orang yang membersihkan dan merawatku."

"Suatu saat, aku mungkin akan membayarmu."

"Kamu harus tahu, aku tidak butuh uang, karena aku sudah kaya," Naruto tiba-tiba saja mengedarkan pandangannya pada ruangan itu. "Aku sudah cukup kaya meski tidak bekerja. Rumah sakit ini adalah milik keluargaku. Hanya dengan bernapas aku dapat meraup keuntungan jutaan dolar. Satu-satunya yang aku inginkan adalah kamu bisa keluar dari sini, dan kembali sehat. Kamu harus berubah jadi lebih baik mulai sekarang."

"Dokter benar."

"Sebaiknya kamu bersabar sebentar lagi. Aku akan mencarikan rumah perlindungan untukmu, dan sebaiknya kamu menjual rumah itu sebelum terlambat."

"Tapi, di rumah itu ada banyak kenangan."

"Tentu saja, kenangan buruk pun ada di sana," Hinata tertegun setelah mendengarnya. Sang dokter berkata benar, mimpi buruk berkumpul di tempat itu. Apa yang bisa dia dapatkan dari tempat mengerikan itu, mengingat kebahagiaan yang sudah dibangun oleh keluarganya kini runtuh. Semenjak insiden mengerikan Oktober Berdarah, tidak ada kenangan yang baik dari tempat tersebut. Dia harusnya dapat merelakan bangunan itu dijual. "Apa mulai sekarang aku bisa memanggil nama kecilmu? Aku merasa kita perlu mengakrabkan diri. Kamu juga boleh memanggil nama kecilku."

"Maksudnya, aku boleh memanggil Naruto?"

"Tentu, lagi pula usia kita tidak terpaut jauh," Hinata tidak pernah sebahagia sekarang. Ada orang yang mengulurkan tangannya, mendengarkan kisahnya, membantunya sampai sejauh ini. Semua orang selalu takut terlibat lebih jauh dengannya, tapi dr. Uzumaki tidak. "Kenapa kamu malah menangis?"

"Aku merasa senang. Padahal aku tidak yakin dan takut untuk pergi ke Tokyo. Tetangga baikku meyakinkanku agar tidak pergi, sebab hal buruk mungkin saja bakal terjadi di sini. Aku mempertaruhkan keberuntungan terakhirku untuk datang kepadamu. Ternyata, Tuhan mengabulkan setiap permohonanku. Tidak ada kata terlambat untuk menyambut kebahagiaan itu, 'kan? Dan, aku rasa berterima kasih saja tidak cukup."

Naruto mengamati Hinata, di dalam kepalanya tidak sekalipun terbesit niat jahat. Dia memiliki banyak hal di hidupnya, dan sudah pasti soal uang dia tidak pernah kekurangan. Lantas, apakah dia meminta gadis itu sebuah kasih sayang? Yang benar saja! Harus meminta kasih sayang pada orang yang bahkan terluka atau trauma memiliki sebuah hubungan. Tapi gadis lugu itu memesona di matanya, dia kuat, dan tidak mudah dijatuhkan. Dia memiliki kepercayaan diri yang besar. Walaupun tampak muram, di matanya, Hinata adalah gadis yang pemberani dan kuat.

"Apa kamu ingin menjemput ayahmu?"

Hinata mengangguk. "Aku akan pulang untuk memastikan keadaan ayah. Beliau lebih senang berada di panti lansia. Awalnya aku mencoba melarangnya, tapi aku yakin, tempat itu yang terbaik untuk ayah pada saat ini. Aku akan mencari kerja di Tokyo, jauh dari kota di mana ibu tiriku berada. Aku harus hidup lebih baik."

"Setelah urusan dengan ayahmu beres, aku akan carikan tempat perlindungan yang sesuai denganmu," tidak disangka-sangka senyuman Hinata yang lebar dengan tulang pipinya yang memerah mampu membuat Naruto terdiam. Seolah ada musim semi dengan bunga bermekaran di hatinya. Dia tampaknya menjadi malaikat di mata gadis itu. Padahal, Naruto merasa, dia belum banyak melakukan apa-apa. "Aku punya saran," masih mengamati Hinata, Naruto tampak ragu mengungkapkannya. "Sebaiknya, kamu tinggal bersamaku saja."  

■□■□■□■□■

BERSAMBUNG

In a Lonely and Sleepless Nights. 4 © 13 Oktober 2016

Dibuat ulang: 05 Agustus 2023

In a Lonely and Sleepless NightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang