BAB 19

39 6 0
                                    

■□■□■□■□■

Perjalanan yang panjang, dengan menaiki mobil bukan pilihan yang tepat. Naruto tahu, dia harusnya menggunakan perjalanan yang lebih efisien daripada mobil yang dikendarai secara pribadi, mengingat tempat itu bahkan tak menarik. 

Sepanjang Naruto mencari informasi di sekitar tempat tinggal Hinata, sudah banyak kaum muda memilih tinggal di kota-kota terdekat, atau merantau di Tokyo. Sebagian rumah mulai kosong dan dibiarkan begitu saja sampai pemerintah mengambil alih. Rumah Hyuuga mungkin bakal bernasib sama.

Pemerintah Jepang tak segan-segan menjual rumah yang ditinggalkan pemiliknya. Warga setempat atau orang-orang kota, tak menginginkan tinggal di pelosok kota kecil, apalagi bila rumah tersebut punya segudang riwayat tak menyenangkan. Kecuali para warga asing yang tinggal di sana, mereka rela untuk membeli rumah, meskipun rumor tersebut tidak terlalu baik didengar. Pemerintah telah putus asa untuk meningkatkan angka kelahiran, mereka berupaya untuk tetap memiliki penduduk di tempat-tempat—pada kota kecil yang sudah tidak ada penghuninya, maka sudah sepantasnya, sekarang kota pelosok dipenuhi warga asing yang tinggal dan menjadi tak menarik.

Sebelum sampai di Tokyo, mereka mampir ke pantai, dan beristirahat di sekitar situ. Penginapan sangat penuh. Motel yang ternyata lebih ramai, dan pantai itu sangat indah ketika pagi menjelang. Hinata menggeliat di kursi belakang, di dalam selimut hangatnya, gadis itu mencari di mana Naruto berada. Ternyata, pria itu sedang duduk untuk melihat matahari berada di puncaknya. Cara pria itu memandang mentari, menyejukkan hati Hinata, membuatnya memikirkan, apakah keputusannya benar untuk tinggal bersama pria itu?

Tiba-tiba saja Hinata mempertanyakan hal paling berani itu. Dia bukan meragukan pangerannya, tetapi dia meragukan dirinya sendiri; apakah pantas membayangkan dan tidak tahu diri sampai seperti ini? Dia menjadi lebih kalut dari kemarin-kemarin. Semakin dekat ke Tokyo, semakin dia mempertanyakan apakah dia layak berada di sisi pria itu. Semua yang terjadi dan apa yang diterimanya, sangat menakutkan, sehingga menanamkan ketamakan yang tak pernah disukainya. Kalau pria itu punya tambatan hati nantinya dan dia akhirnya ditinggalkan. Selayaknya orang bodoh yang menjual tubuhnya, dia harus sadar untuk melangkah pergi sejauh-jauhnya.

"Hinata," pria itu berlari mendekati ketika Hinata terlihat melongok keluar dari jendela pintu belakang. "Apa kamu lapar? Ingin sarapan?" dia masih terdiam untuk mengamati sang dokter yang bermuka cemas. "Ada apa?"

"Aku sedang memikirkan apakah ini keputusan yang tepat untuk pergi ke Tokyo. Semoga, aku tidak merepotkanmu selama tinggal bersamamu di sana. Aku pasti akan melakukan apa saja untukmu sebagai rasa terima kasihku. Sepanjang hidupku, aku tidak akan pernah melupakan semua kebaikan itu."

Naruto menangkap pipi Hinata yang dingin. Mau sampai kapan menyembunyikannya, bahwa dia tidak ingin ditinggal lagi. Seluruh perasaan yang membingungkan menyatu dan membuatnya sepanjang waktu bermimpi buruk. Baru kali ini, dia tertidur pulas, saat gadis itu memeluknya hangat memberikan ketenangan. Naruto terbangun dengan pikiran jernih dari biasanya, seolah dia baru saja dimurnikan dengan sempurna oleh mantra penyihir.

Tanpa sadar, Naruto mendorong dirinya sendiri untuk memberikan kecupan selamat pagi. "Naruto," bisik Hinata, tampaknya terkejut. 

"Aku tidak tahu apakah berhak mengatakan ini. Maukah kamu menjadi kekasihku? Aku tidak mau kamu meragukanku lagi. Aku ingin kamu tahu, bahwa semua yang aku lakukan bukan tanpa sebab atau tiada artinya bagiku. Aku tidak akan kehilanganmu lagi dan menyesal sepanjang hidupku."

Setiap kali Hinata menembus mata biru sang dokter, dia hanya melihat kekelaman yang sulit baginya untuk dipastikan apa yang terjadi pada pria itu. Mungkin saja mirip sebuah penyesalan. Hinata terlalu sulit tiap kali memandanginya. Semua yang dikatakan pria itu tak dapat diragukannya. Dan selalu terlena, dia malah tersenyum lantas tenang dalam sekejap. Apa barangkali karena profesi pria itu yang menyebabkan orang ada di dekatnya begitu tampak aman di dekatnya, sehingga tidak peduli di kemudian hari, bila akhirnya dia dikhianati secara kejam.

"Ya, aku juga ingin menjadi kekasihmu," bisik Hinata, setelah keningnya menempel pada kening pria itu.

Kemudian mereka melanjutkan perjalanan menuju Tokyo, tapi beberapa kali mampir untuk membeli baju dan kebutuhan Hinata. Walaupun gadis itu menolak setiap kebaikan dr. Uzumaki, dia tidak dapat berbuat banyak, pada akhirnya menurutinya, menerima semua kebaikan itu tak ada habisnya. Lagi pula, dia memikirkan seluruh pakaian yang ditinggalkan di rumahnya begitu saja setelah insiden tidak menyenangkan tersebut. Dia tak memiliki apa-apa, apalagi pekerjaan dengan segera untuk menyambung kehidupannya di kota besar.

"Setelah sampai di Tokyo, bisakah kamu mencarikan aku pekerjaan? Apakah itu terlalu berlebihan?"

"Kamu hanya perlu tinggal dengan tenang di rumahku," mungkinkah mirip seperti sepasang suami-istri, yang nantinya seorang pria hanya perlu memberikan dana yang cukup demi kelangsungan hidup mereka. Sedangkan, bagi seorang wanita yang menjadi istrinya, hanya perlu mengurus urusan rumah. "Apa kamu tidak suka? Kalau memang kamu merasa tenang dengan bekerja, jangan khawatir, rumahku berada di sekitar ruko dan pasar modern. Kamu bisa bekerja di sana, bila kamu memang menginginkannya. Aku tak pernah membatasimu. Akan aku perkenalkan beberapa orang di sekitar tempat itu."

"Itu sudah cukup membuatku tenang. Terima kasih."

Naruto tidak mungkin melarang Hinata pergi ke mana pun. Lebih senang kalau gadis itu bisa keluar masuk ke rumahnya tanpa ada peraturan ketat yang saling menyulitkan masing-masing. Hinata harus memahami setiap kehidupan di sekitarnya, tak hanya kekejaman yang diperoleh gadis itu; berhak tahu bahwa ada banyak orang baik yang dapat meredakan kecemasannya.

Namun tanpa sadar, kecemasan Naruto yang lebih meningkat—lagi-lagi apa yang selalu dirasakannya tiap kali dia terbangun dari tidurnya, tiap kali gadis itu tersenyum bukan di depannya.

"Naruto," setelah tenggelam pada rasa cemas yang menyulitkannya, Naruto kembali tersenyum dan menghampiri Hinata di meja kasir. "Aku hanya perlu ini saja untuk sementara."

"Kamu yakin? Kamu masih bisa membeli banyak baju bagus selama tinggal di sana."

"Ya ampun," tiba-tiba kasir perempuan di depan mereka berseru. "Suami Anda benar-benar sangat perhatian. Jarang sekali ada pria yang rela uangnya dihabiskan hanya untuk membeli banyak pakaian. Apakah Anda sudah punya lingerie baru yang bagus? Saya bisa merekomendasikannya untuk Anda," kasir perempuan itu memandu Hinata yang tidak bisa berkutik, pergi menuju ke bagian baju tidur wanita.

"Ini terlalu vulgar," kata Hinata yang melihat patung manekin di depannya. Dia tidak mungkin mengenakan kain brokat transparan untuk tubuhnya yang kurus dan penuh luka. Memalukan sekali. "Saya akan membeli yang lain. Saya belum terbiasa," dia berlari ke bagian baju tidur yang lebih sopan, dengan bahan satin yang sangat lembut.

"Baiklah, sepertinya Anda pengantin baru."

"Bukan!" Hinata menggelengkan kepala dengan muka memerah. Dia panik dan tergagap. "Saya pesan yang biasa-biasa saja."

"Saya akan membungkusnya untuk Anda." Kasir perempuan itu tersenyum, karena dia suka dengan respons Hinata yang malu-malu. Pasangan muda yang baru menikah adalah yang paling menggemaskan menurutnya.

Di meja kasir, Naruto mendapatkan panggilan, lalu keluar dari toko itu. Rumah sakit menghubunginya. Itu sebabnya dia tidak boleh meninggalkan tugasnya begitu saja. Sepanjang waktu, ponselnya dialihkan ke mode pesawat, sehingga banyak orang yang mulai mencarinya dan tampaknya lebih khawatir.

"Aku akan ke rumah sakit begitu urusanku selesai," katanya kepada Yamato, yang mengomel di tengah panggilan itu. "Oke, sampai jumpa nanti."

Naruto kembali ke dalam, dia menyerahkan segera kartu hitamnya kepada kasir perempuan tadi. Begitu selesai membayar, dia membawa Hinata pergi ke rumah yang sudah tidak ditempati olehnya dengan benar. Dia punya banyak alasan sehingga kadang menyebut rumah yang dibelinya itu dipenuhi oleh banyak kutukan. 

■□■□■□■□■

BERSAMBUNG

In a Lonely and Sleepless Nights. 8 © 15 Oktober 2016

Ditulis ulang: 13 Agustus 2023

In a Lonely and Sleepless NightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang