BAB 14

120 24 2
                                    

■□■□■□■□■

Suara kumbang malam lebih menarik perhatiannya daripada orang-orang yang berlalu dengan canda tawa mereka terdengar sampai ke telinganya. Hinata merasa sedang menunggu kematiannya di rumah yang penuh banyak kenangan pahit dan manis. Jika ibu tirinya pulang, dia tahu, riwayatnya tamat saat itu juga. 

Hinata menundukkan kepalanya untuk menangis. Dia bahkan tak lagi memikirkan apakah dia sebaiknya berdoa—agaknya merasa menyesal setelah menghubungi dr. Uzumaki. Pria itu tidak akan datang. Pria itu punya banyak kesibukan. Pria mapan dan seorang taipan muda dari keluarganya yang kaya raya. Orang yang pernah dia harapkan menjadi pangerannya. Ternyata, dia tidak tahu diri dan tempatnya. 

Hinata menyapu air matanya menggunakan punggung tangannya. Dia masih terdiam di sana sambil terus bergelut pada hati yang sulit diungkapkannya. Saat semua harapan seolah ada di genggaman tangannya, harapan itu tanpa sadar runtuh dalam sekejap. Hinata menyadari kalau dia terlalu bodoh datang ke tempat ini setelah apa yang dilaluinya. Harusnya dia tidak khawatir dengan semua barang-barang penting atau rumah ini. Akan lebih baik dia pergi ke kota bersama ayahnya. Jauh dari tempat-tempat jahanam yang membuatnya tercekik sampai nyaris mati.

Masih di posisi yang sama, Hinata melirik jam dinding yang terus berdetik berisik. Ini sudah pukul setengah dua belas, ibu tirinya akan pulang sebentar lagi. Wanita itu sering kali pulang pada jam-jam seperti ini, ketika suasana sepi, dan berpikir seorang rentenir tidak akan mendatanginya dan memintanya untuk membayar uang yang dihabiskannya pada meja judi.

Semuanya sudah hancur, tidak ada lagi yang tersisa, tidak ada lagi yang pantas diperjuangkan, aku lelah. Seluruh keputusasaan yang tak terbayangkan itu akhirnya merayap, membuat Hinata menyadari perjuangan selama ini tiada artinya. Dia memejamkan matanya untuk tertidur pulas dan menyambut tidur panjangnya yang abadi. Dia tidak akan mendendam kepada siapa pun bila takdirnya memang seperti ini, lantas apakah dia sebaiknya menyalahkan Tuhan?

Setelah tidur panjang yang terasa singkat, akhirnya Hinata membuka mati. Dia tidak mati. Dia masih hidup—berada di tempat ini seperti yang diingatnya terakhir kali. Namun ketika Hinata mengamati jam dinding, sudah pukul dua malam. Dia tidak merasakan kehidupan apa pun di sana selain suara gaduh yang menyita perhatiannya. Mungkin saja pencuri? Hinata malah berharap bahwa dia dapat ditolong, berharap dia dapat terbebas dari tempat ini karena kebaikan orang-orang yang masuk ke rumahnya tanpa izin. Secercah harapan semua yang dipikirkan orang seperti dirinya di ambang kematian, yang banyak sekali isi pikiran semerawut tak terkira.

Tempat tinggalnya adalah tempat yang terbaik dari segala kota durjana yang barangkali menyesatkannya. Kota besar yang sepertinya lebih berbahaya dari ibu tirinya. Benar sekali. Tempat ini jauh lebih baik. Dia harus menyelesaikan semua yang tersisa agar hidup damai tanpa ada rintangan penuh ketidakadilan itu. Perasaannya kian naik dan turun tanpa sebab. Kadang memuji tempat ini, kadang mengutuk tempat ini, maupun kadang menyeleksi tempat ini lebih baik dari kota besar seperti Tokyo, yang orang bahkan mudah memakinya. 

Hinata merangkak ketika suara pukulan mengusiknya. "Siapa—" sekuat tenaga dia mencari tahu, kalau memang seorang pencuri berdarah dingin, dia mungkin akan senang dibunuh sampai benar-benar mati. "Tolong jawab!" dia berseru, malah terdengar mirip tikus yang mencicit. Suaranya sudah tidak ada, tetapi dia berupaya untuk keluar dengan tenaga yang tersisa. "Apakah rubah merah liar?" di belakang rumahnya masih ada hutan lindung yang dipenuhi oleh rubah liar, yang sering kali mengacak ladang para petani di sini. Tidak heran bila rubah itu datang kemari.

Namun saat Hinata menggeser pintu ruang tamu itu. Dia berpapasan dengan badan tinggi seorang pria yang mengenakan setelan hitam, terakhir kali diingatnya pria dengan dandanan itu adalah para rentenir yang mengharapkan ibu tirinya untuk membayar utangnya yang terus menumpuk karena perjudian. Hinata tidak bisa mengelak ketika matanya bertemu dengan pria itu. Mata hitam yang gelap dan menakutkan, hampir tidak terlihat sebab bayangan topi yang dikenakan pria itu menghalanginya. Namun Hinata dapat menilai dari tatapan mata saja, pria itu mengerikan, pria itu sangat menakutkan, dia harus berlari mencari pertolongan, tapi bukankah tadi dia berharap dibunuh saja?

Hinata merangkak ke belakang, berusaha menutup pintu itu, tapi masalahnya dia tidak cukup banyak tenaga. Dan ketika pria itu menarik rambutnya, membawanya sampai ke koridor, Hinata tidak dapat berkutik. 

"Aku mohon! Jangan! Jangan seperti ini! Ibuku tidak di rumah! Ibuku pergi dan dia belum pulang!" rasa sakit terus menjalar sampai ke lehernya. Dia terpental dan tak berdaya. Pria itu ada di atasnya saat ini, lalu membuka kakinya lebar-lebar. "Aku mohon!" Hinata berpikir bahwa mungkin saja pria itu bakal memerkosanya. Namun mata mereka malah bertemu, dan Hinata dapat mengamati mata gelap itu. Begitu rasa penasarannya membuatnya ingin menurunkan masker, pria itu menahan tangannya di atas kepalanya. "Ibuku tidak di sini. Jika kamu ingin membunuhku, bunuh saja aku. Aku mohon. Bunuh saja agar aku tidak merasa sakit."

Ujung pistol mendarat pada kening Hinata. Sekujur tubuhnya langsung menegang. Dia sudah kira bakal dibunuh dalam waktu dekat, dan itu jauh lebih baik daripada dia mati karena keputusasaannya. Masalahnya, pria di atasnya tak kunjung menekan pistol itu. Apa yang ditunggu? Itu semakin membuat Hinata merasa ragu untuk mati.

"Sialan!" pria itu menghindar ketika ibu tiri Hinata merayap dengan bersimbah darah, memukulkan lampu meja ke hadapan sang perampok. Pria dengan tubuh prima itu tentu saja tidak dapat dilawan hanya dengan dua wanita yang sedang terluka. "Berani kamu menyerangku! Aku sudah bilang akan membayarnya!"

Pria itu membawa Hinata pergi, dan mengikat tubuh gadis itu pada pilar kayu di rumah tersebu, dan tak lama kemudian segera menghampiri ibu tirinya kembali, hingga tanpa ampun memukulkan pistol yang ada di genggamannya itu ke kepala wanita gila yang terus marah-marah. 

"Ibu!" Hinata berteriak histeris. Dia tidak menyangka ada yang berani melukai ibunya. Tidak menyangka dia melihat wanita itu tersiksa di depannya. Harusnya dia merasa senang, tetapi seluruh gejolak batin di luar dari bayangannya itu menyadarkan Hinata agar dia lebih memedulikan keselamatan ibu tirinya. Bukankah itu aneh? "Tolong! Tolong!" dia berteriak sekuat tenaga. Namun semua yang dilakukannya tak membawakan hasil yang diharapkan. Tampaknya Hinata semakin lelah oleh seluruh pemandangan mengerikan; ibunya disiksa di depan kedua matanya.

Sampai akhirnya sang ibu terpental sekali lagi. Tubuhnya terbentur oleh pilar kayu lainnya di rumah itu. Tubuh yang sudah tidak berdaya itu pun merosot, belum lagi menemukan pria bersetelan gelap itu datang mendekatinya selagi membawa sebuah alas duduk—bantalan yang biasanya ada di ruang tamunya, entah digunakan untuk apa kali ini. Sampai akhirnya diletakkan serta ditekan ke muka ibunya kuat-kuat, di waktu yang bersamaan pun, pistol yang senantiasa dibawa pria itu sejak tadi, mendarat pada bantalan itu.

"Apa yang kamu lakukan!" Hinata berteriak. "Tolong! Hentikan!"

Suara berdesing dari penyadapan pistol itu terdengar. Aroma bubu mesiu menyadarkan Hinata, bahwa baru saja ibunya ditembak di depan kedua matanya. Tangan ibu tirinya terkulai, seiring darah menggenang di sekitar tubuh wanita itu yang masih tertutup bantal. 

Seumur hidupnya, Hinata pikir dia hanya dapat menyaksikan kekejaman yang dilayangkan kepadanya. Namun sekarang dia malah melihat pembunuhan ada di depan matanya. Rasa mual semakin naik, tetapi hanya ada isak tangis yang menghiasi wajahnya. Orang tidak selalu selamat bila selongsong peluru menancap ke kepala mereka. Hinata yakin, ibunya sudah tewas oleh pembunuh berdarah dingin yang memasuki rumah mereka kali ini. Seorang rentenir yang biasanya marah-marah dan mengacak rumah mereka karena tak kunjung membayar utang.

Aku harusnya senang, Hinata bergumam dalam hatinya. Dia mencari seluruh kebahagiaan saat mengetahui wanita itu sudah mati, hanya saja tidak ada di mana pun di dalam pikiran maupun hatinya. Dia malah menangis lantas gemetar di tempatnya; diikat pada pilar kayu rumahnya yang kokoh. Sebentar lagi, mungkin dia yang bakal menyusul wanita itu.

Setelah membunuh ibu tirinya. Pria itu mendatanginya. Hinata ternyata jauh lebih siap. Dia mendongak untuk melihat pria itu yang mungkin saja sebentar lagi akan membunuhnya. Lama menunggu, pria itu hanya menatapnya, lalu pergi meninggalkan rumah itu dengan tenang. Sedangkan tidak lama, dia mendengar suara beberapa orang memenuhi rumahnya. 

■□■□■□■□■

BERSAMBUNG

In a Lonely and Sleepless Nights. 6 © 14 Oktober 2016

Dibuat ulang: 08 Agustus 2023

In a Lonely and Sleepless NightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang