BAB 6

119 34 0
                                    

PENGUMUMAN UNTUK PENGGILA PROMO KAYAK AKU~

Selama Hari Kemerdekaan dari tanggal 01 Agustus - 17 Agustus 2023. SEMUA karyaku di KARYAKARSA seharga Rp. 7.800,- dan bisa dinikmati SEUMUR HIDUP! Jangan sampai ketinggalan~ *harga di atas kecuali PDF

■□■□■□■□■

Sebelum ditahan lebih lama di rumah sakit, Naruto sudah mengambil ancang-ancang untuk pergi dari ruangannya. Dia pergi ke parkiran dengan langkah tergesa-gesa seolah menghindari seseorang yang mengikutinya. Namun, dia baru teringat kalau petugas sudah memindahkan mobilnya di depan lobi rumah sakit. Naruto harus kembali naik ke atas setelah dia baru saja sampai di basemen.

Berhasil memasuki mobilnya dengan lega, seseorang tiba-tiba menggebrak kap mesin mobilnya. Naruto tampak terkejut, tetapi dia berusaha tidak menampakkannya. "Anda mau pergi ke mana?" dr. Yamato ada di depanny. Salah satu tangannya membawa kantong kopi, lalu ditunjukkan kepada Naruto yang hendak pergi dari sana—sebelumnya, dia tampak lega, sekarang tidak. "Anda sudah terlambat datang, sekarang mau pergi begitu selesai praktik?"

Tanpa bersuara, Naruto keluar dari mobilnya. Dia melirik petugas di depan lobi yang biasanya membantu dia untuk memarkirkan mobil ke baseman. Kemudian, Naruto ikut lagi ke dalam bersama dr. Yamato. Dia tampaknya lelah, tapi tak mampu menolaknya. Apalagi dr. Yamato sudah susah payah mengantre untuk membelikan kopi. Kafetaria ketika malam lebih ramai, karena orang berbondong-bondong membutuhkan kopi. Sebagian karena wali pasien ingin tetap berjaga dan menjernihkan pikiran, atau para dokter magang dan residen dalam sif malam di rumah sakit.

"Aku berusaha sopan, tapi kayaknya kamu tidak butuh kesopanan yang berusaha aku tunjukkan kepadamu," Naruto melirik cangkir kopi yang dibawa oleh temannya itu. Saat dr. Yamato tahu apa yang dibutuhkan oleh Naruto, dia memberikan salah satunya. "Nih, aku memang membelikannya untukmu."

"Trims."

"Kenapa kamu tidak pernah pulang ke rumahmu? Selama ini kamu ke mana setelah praktik? Kembali ke klinik? Jangan-jangan kamu tidur di klinik hampir semingguan ini ya?" Naruto menikmati kopinya, tidak peduli banyak pertanyaan yang dilayangkan kepadanya. Ini bukan kali pertama dr. Yamato mengomelinya. Bila semua orang sungkan karena dia memiliki posisi di rumah sakit ini, dr. Yamato tak segan-segan membentaknya jika ada yang salah darinya—satu-satunya yang berani di sini sekarang adalah pria itu. "Aku berkata jujur pada kepala pelayan dari keluargamu, selama dua bulan memang kamu tinggal bersamaku, tapi sudah seminggu aku tak bersamamu. Mereka lebih khawatir setelah itu."

"Mereka sudah datang ke tempat praktikku."

"Beliau menggerutu saat dilarang masuk oleh petugas di sana, dan malah berpindah menggerutu padaku."

"Tentu saja, aku sedang ada pasien. Aku tidak harus melanggar SOP pelayanan hanya karena mereka datang, 'kan?" dr. Yamato hampir menyerah. "Lalu aku harus apa lagi? Aku sibuk banget akhir-akhir ini. Makan saja aku sulit. Ada banyak pasien, bukan hanya yang datang ke tempat praktik, tapi dari lembaga dan beberapa pusat amal. Aku tidak mungkin menolak mereka semua."

"Tidak bisakah kamu pulang sebentar ke rumah?"

"Aku sudah pulang."

"Bukan di rumah pribadimu yang selalu kosong itu. Tapi rumah keluargamu," masih di lobi dan menikmati kopi, Naruto mengamati bagian arah menuju ke IGD. Sirene ambulans terdengar nyaring, ada pasien baru yang kritis. Namun segera teralihkan ketika dr. Yamato menjentikkan jarinya di depan wajah Naruto yang terlihat baginya sedang melamun. "Kamu mendengarkan aku, 'kan?"

"Ya? Lalu?"

"Kamu masih tanya?"

"Yamato, ketika kamu pulang ke rumah orangtuamu, apa yang kamu harapkan di sana?" dr. Yamato tak membalas setelah itu. "Tidak ada artinya aku pulang ke rumah. Tidak ada kebahagiaan di sana. Apa yang aku cari? Rasa sedih? Wajah muram? Pertengkaran yang hanya mencekik leherku? Mendengar mereka saling menyalahkan?" tidak dapat dibantah, Yamato menjadi jauh lebih bersalah, dia memang harusnya tak ikut campur. "Aku pria dewasa yang tidak usah disuruh pulang. Kalau aku ingin pulang, aku akan pulang, tidak perlu dipaksa. Sangat konyol aku harus dipaksa pulang oleh temanku ke rumah saat kamu bahkan tahu bagaimana kondisinya. Inilah caraku untuk menolong diriku sendiri. Apalagi mereka, ada apa sampai harus mendatangkan Pak Sarutobi ke sini lagi hanya demi aku pulang ke rumah. Sangat kekanak-kanakan."

"Itu karena Pak Sarutobi menyayangimu sejak kecil."

"Dia lebih pantas menyayangi cucunya sekarang. Aku bahkan tidak mendengarkan perintahnya ketika masih remaja. Apa yang dia harapkan untuk datang ke sini?" Naruto tahu ke mana rencana keluarganya itu. Dia mungkin saja tidak akan marah bila yang mereka harapkan sekadar rencana, bukan pemaksaan dan merayu secara persuasif, yang terdengar semakin menjijikkan dalam sudut pandang Naruto yang tak ingin terikat—mereka pasti sudah tahu kalau baru-baru ini bajingan tengik ini menyumbangkan spermanya ke bank sperma. Itu artinya, wanita sembarangan akan melahirkan anak dari Uzumaki, sedangkan si pemilik hanya akan membujang sampai napas terakhir.

Yamato menyeruput kopinya dengan hati-hati karena masih panas—setidaknya kepalanya saja yang panas lantaran terlalu banyak membujuk orang di depannya, dia tidak mau lidahnya pun terluka. "Aku sudah menyerah."

"Tidak ada jaminan. Kamu akan seperti ini lagi begitu mereka memaksamu untuk membujukku agar aku pulang."

"Jangan salahkan aku. Kamu tahu aku tidak sebebal dirimu, aku tak mungkin tega melihat orang tua seperti Pak Sarutobi meminta sesuatu dariku dengan wajah memelasnya. Lagi pula kami kan saling kenal. Aku tidak sedingin dirimu yang mudah mengabaikannya," Yamato juga senang berbincang-bincang dengan Pak Sarutobi. Apalagi ketika pria tua itu menceritakan tentang Naruto kecil dan nama unik tersebut yang diambil dari Naruto no Uzushio—sebuah pusaran air pasang surut di selat Naruto, sebagai tempat awal di mana ayah dan ibu Naruto bertemu hingga akhirnya menikah. 

Bagi orangtua Naruto, jika mereka memanggil nama putranya, mereka selalu teringat momen-momen manis yang mengikat mereka berdua. Itulah sebabnya, anak mereka diberi nama penuh kenangan tersebut.

Tidak sadar kalau mereka berdua diperhatikan sejak baru duduk di bagian lobi, seseorang berseru kepada mereka, membuat keduanya sama-sama menoleh. "Hai!"

"Iruka. Sejak kapan kamu sudah ada di sana?" tanya Yamato dengan kaget.

"Aku mencarimu karena aku ingin kopiku. Mana kopiku sekarang?" Yamato melirik gelas Naruto, sedangkan Naruto langsung mengambil gelas itu, lalu meminum kopinya sampai habis. "Dasar. Kenapa diberikan kepada dia sih? Itu kan pesananku dari tadi!"

"Jangan salahkan aku, dia bilang kopi itu memang dibelikannya untukku."

"Aih, itu pakai kartuku untuk membayar!" Iruka mengomel tanpa henti, sedangkan Yamato hanya menunduk merasa bersalah. 

■□■□■□■□■

BERSAMBUNG

In a Lonely and Sleepless Nights. 3.2 © 12 Oktober 2016

Dibuat ulang: 01 Agustus 2023

In a Lonely and Sleepless NightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang