BAB 5

116 31 5
                                    

PENGUMUMAN UNTUK PENGGILA PROMO KAYAK AKU~

Selama Hari Kemerdekaan dari tanggal 01 Agustus - 17 Agustus 2023. SEMUA karyaku di KARYAKARSA seharga Rp. 7.800,- dan bisa dinikmati SEUMUR HIDUP! Jangan sampai ketinggalan~ *harga di atas kecuali PDF

■□■□■□■□■

Sulit bagi dr. Uzumaki untuk tenang setelah mendengarkan kisah mengerikan sepanjang harinya. Bagi seorang psikiater itu bukanlah hal mudah. Orang berpikir profesi tersebut tidak membuatnya terluka seperti pasien-pasiennya, atau malah tertekan. Namun justru sebaliknya, profesi itu butuh mental baja dan kesiapan untuk menderita bersama orang yang menaruh harapan padanya untuk terus didengar dan dipedulikan. Dia manusia. Dia dapat merasakan semua emosi kebencian dan ketidakbahagiaan orang lain. Atau mungkin saja keserakahan orang lain.

Sejak kepulangan pasien terakhirnya tadi, dr. Uzumaki masih berada di dalam ruangannya. Dia melamun lebih lama dari biasanya. Kacamatanya bahkan masih bertengger di pangkal hidungnya, tidak keburu dilepasnya, dan mungkinkah hal sepele semacam itu tidak perlu dipedulikannya lagi? Meskipun wajahnya sudah tampak lelah karena tak berhenti mengkhawatirkan orang lain?

Padahal sang pasien sudah lama pulang. Tapi dr. Uzumaki masih tak berhenti memandangi sofa khusus pasien di depannya. Gadis lugu itu sempat tertidur disebabkan oleh perjalanan yang panjang untuk menuju kemari. Semua orang rela untuk datang kepadanya, mengadu bagai orang yang dapat mengabulkan setiap permohonan atau mengenyahkan penderitaan seolah sang dokter adalah Tuhan.

"Dokter?" si penerima tamu sekaligus perawat di kliniknya berseru untuk memanggil. Dia sudah berdiam di ruangan itu semenjak beberapa menit pasien terakhir pulang. Si dokter memang suka melamun, ada banyak alasan, terlihat pria tersebut peduli pada pasiennya dan tengah mencari solusi dalam pemecahan masalah. "Dr. Yamato menunggu Anda di rumah sakit. Beliau bilang, kalau saya perlu mengingatkan Anda barangkali Anda lupa dengan jadwal praktik selanjutnya," si dokter hanya melirik sebentar. Lalu dia berdiri. "Saya akan siapkan barang-barang Anda."

"Terima kasih."

Sebelum pergi meninggalkan ruangan itu, dia memandangi lampu gantung di atas kepalanya. Si pasien tadi sangat menyukai lampu gantung itu, terlihat serius memandang tanpa berkedip. Semua orang memang memuji lampu gantung di ruangannya. Orang bilang penghiburan bagi mereka. Itu sebabnya bayi sangat menyukai sesuatu yang bergelantung di atas kepala, begitu pun dengan mereka yang kesepian dan penuh penderitaan setiap harinya.

Naruto Uzumaki lagi-lagi terdiam menunduk, mengamati sofa pasien. Dia memikirkan Oktober Berdarah yang terus membekas bagi semua orang, tidak terkecuali dirinya yang memikirkan beban mental semua orang yang terlibat dalam insiden itu.

Pelaku hanya dieksekusi dan meninggal di tempat. Semuanya sudah selesai. Hukuman yang tak pernah adil bagi para keluarga yang ditinggalkan korban. Sampai saat ini, jika menyangkut insiden tersebut, Naruto sering kali kesal, tetapi baru pertama kali ini dia berhadapan dengan keluarga korban secara langsung—meskipun kejadian itu sudah berlangsung dua puluh tahun silam, ada ketidaknyamanan yang terasa di dadanya. Selanjutnya, dia harus lebih peduli dan perhatian kepada gadis itu.

"Tidak peduli berapa kali aku terbuka dan berusaha untuk bangkit, rasanya sulit dan mencekik. Tidak mudah kehilangan ibu dan adik kembarku sekaligus dalam insiden berdarah. Semua masalahku mulai sejak saat itu tidak penting lagi," kata sang pasien kepadanya.

Jepang bukan negara berperang. Sudah berlalu masa perang yang dialami Jepang. Banyak orang kehilangan sesuatu yang berharga, bukan hanya harta benda, tetapi harga diri yang terluka, sampai-sampai tak ada sesuatu di masa lalu kelam negara itu tertulis dalam buku sejarah, itu artinya pemerintah Jepang tak ingin ada pertumpahan darah yang sia-sia semacam itu lagi atau mengulik rasa sedih para korban perang. Hanya sedikit orang mungkin memahami bagaimana Jepang berperang di masa lalu, menyangkut perampasan atau keegoisan, yang mana pun tak dibenarkan, maka Jepang segera berbenah diri. Negara ini mulai menata masa depan yang lebih baik untuk anak-anak mereka.

Namun pertanyaannya, mengapa pada saat itu teroris seperti mereka menyelinap? 

Keegoisan macam apa yang dimiliki oleh mereka pada waktu itu? 

Apakah itu soal uang? 

Apakah hanya kesenangan membunuh saja? 

Mereka melibatkan orang tak bersalah. Menyabotase bus pariwisata—bus khusus untuk berkeliling Tokyo, menuju ke tempat-tempat penting. Di dalam bus itu, ada pasangan yang bernostalgia, berbulan madu dari negara lain, atau berlibur bersama anak-anak mereka. Motif yang tampak jelas untuk mencari kesenangan itu berakhir tragis, tak pernah sekalipun diperkirakan. Kehidupan damai mulai dipertanyakan.

Apa yang lebih tidak masuk akal?

Sang teroris tidak berniat melakukan transaksi menguntungkan. Negosiasi tidak berlaku bagi orang-orang seperti mereka yang hanya ingin bunuh diri dengan mengajak orang lain. 

Pelaku diketahui mengalami depresi berkepanjangan setelah dikirim dalam perang negara, orang tak benar-benar mengenal mental si pelaku dengan sangat baik sehingga ada banyak korban  yang muncul akibat insiden tersebut. Di masa depan, mungkin saja bakal muncul bibit baru untuk pembalasan. Meskipun sudah dapat penyuluhan, masalahnya dari mereka tak ingin berdamai dengan keadaan. 

Dalam insiden itu, kekejaman berlangsung sampai beberapa jam. Kursi paling depan dipaksa untuk menggenggam granat di tangan. Korban pertama jatuh di barisan depan dengan luka tembakan di sekujur tubuh, sedangkan granat tersebut dialihkan ke kursi belakang. Kesenangan bagi para pelaku terus berlangsung. Satu demi satu korban meninggal dalam permainan konyol mereka. Secara garis besar, motif itu didorong mental yang buruk—tiga orang gila yang berkumpul untuk memenggal kepala orang lain dengan mudah tanpa memikirkan penderitaan selanjutnya.

Paling parah, pemberitaan yang tanpa henti semakin menggoreng emosi para keluarga korban. Cuplikan dari tayangan pembajakan, wajah pelaku yang tidak bisa diacak-acak oleh dendam mereka, tak dapat melakukan apa-apa. Orang semakin beremosi dan penuh kekalutan setiap harinya. Jika Hinata Hyuuga mengalami depresi parah seperti itu, tidak heran banyak orang dari keluarga korban pun mengalami hal yang sama.

Berbeda dari banyak kasus yang berakhir mengakhiri hidupnya, Hinata satu-satunya pasien yang ingin berubah untuk bangkit dan memiliki kemauan memperbaiki semuanya. Dia telah merelakan kematian ibu dan adik kembarnya. Gadis itu meyakini, ibu dan adiknya tak ingin dia bersedih terus-terusan.

■□■□■□■□■

BERSAMBUNG

In a Lonely and Sleepless Nights. 3 © 12 Oktober 2016

Dibuat ulang: 01 Agustus 2023

In a Lonely and Sleepless NightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang