28. Miss

232 24 4
                                    

"Oh...?" Tangan Irene yang digunakan untuk mengetuk pintu terjatuh begitu saja di kedua sisi tubuhnya kala papan di hadapannya terbuka lebar, menampilkan seorang perempuan paruh baya dengan wajah serta ekspresi ramahnya.

Irene kira ketika Joy mengundangnya untuk datang ke rumahnya di percakapan telfon mereka yang terjarak beratus-ratus kilometer jauhnya, tidak melibatkan orang tua dan juga adik-adik Joy. Bagaimana bisa Irene tidak terkejut ketika sosok yang membukakan pintu Joy adalah ibu Joy sendiri.

"E–eommoni..." Sesegera mungkin Irene membungkukkan badannya hingga 90 derajat dengan kedua tangan lemas yang ditegangkan di kedua sisi tubuh. 

Ini tidak seperti Ia menyembunyikan rahasia besar dengan Joy dari orang tua si jangkung. Irene sudah sepenuhnya sadar bahwa Joy telah mengaku kepada kedua orang tua serta adik-adiknya. Hanya saja hubungannya dengan Joy bukanlah sebuah hubungan pada umumnya seperti laki-laki dengan perempuan. Irene masih tidak bisa menghapus pemikiran bahwa mungkin ada hal-hal yang terlalu baru untuk diterima, jadilah Ia tak sadar bila beberapa menit telah berlalu dengan posisi membungkuknya yang tak kunjung berubah.

"Joohyun-ah," 

"Ya, eommoni?" Irene sekedar mengangkat kepalanya, bukan tubuhnya; melihat Ibu Joy yang menatapnya dengan tatapan menyambut namun juga tampak sedikit terharu.

"Tidak apa-apa, Joohyun. Aku memang membutuhkan waktu untuk menyesuaikan diri," Ibu Joy sengaja memberi jeda ketika Ia berusaha menegakkan kembali tubuh Irene dengan kedua tangannya sebelum melanjutkan, "Tapi aku tidak membencimu atau berpikir hubungan kalian hina. Kau tidak perlu bersikap seperti ini. Jadilah dirimu sendiri saja." 

"Eomma, apakah kau melihat bubur bayi sachet yang kubeli beberapa waktu lalu?"

Irene hampir saja menangis dengan perlakuan bagai malaikat dari ibu Joy di depannya jika Ia tidak mendengar teriakan si jangkung sendiri bersama suara yang sedikit serak. 

Irene yang sempat menatap ke area belakang tubuh ibu Joy lantas kembali memfokuskan pandangannya pada wanita paruh baya di depannya ditemani senyuman berterima kasih.

"Masuklah. Dia menyebut namamu dalam mimpinya ketika demam kemarin." Senyuman Irene menjadi semakin lebar saja dengan fakta yang disebutkan ibu Joy. 

Lantas dibantu oleh usapan pelan sekaligus dorongan kecil dari tangan ibu Joy di punggungnya, Irene memberanikan diri untuk berjalan melewati wanita paruh baya tersebut untuk menuju bagian belakang apartemen luas yang sudah menjadi rumah Joy selama beberapa bulan terakhir.

Sementara ibu Joy menghilang entah kemana di dalam area rumah, Irene sekedar berdiri menyandar di tembok pemisah ruang tengah dengan dapur, memperhatikan Joy yang masih sibuk dengan urusan bubur bayinya tanpa menyadari keberadaan Irene. Sesekali Irene terkekeh menyaksikan Joy berjongkok untuk mencari bubur sachetnya di rak bawah counter. Namun ekspresi Irene berubah ditemani gelengan kepala kala matanya menangkap sebuah sachet warna pink pucat yang terpampang dibalik kaca rak atas kompor. 

Tanpa ingin menunggu lama, Irene langsung mendekat, bahkan berjinjit untuk mengambil bubur yang dimaksud sebelum meletakkannya diatas counter dapur. Irene secara reflek meletakkan tangannya di sudut counter kala Ia memanggil nama kekasihnya; berusaha melindungi kepala si jangkung agar tidak terantuk. 

"Aku akan membuatkannya untukmu, jadi kembalilah saja ke kamar, hmm?"

"Joohyun-eonni!! Sejak kapan kau disini?!" Seiring Joy menegakkan tubuh jangkungnya bersama pekikan keras, menatap Irene dengan mata membelalak terkejut, di saat yang sama Irene pun menarik kembali tangannya untuk mengambil mangkuk kemudian menyalakan termos elektrik di sudut counter."

"Sudah sedari tadi. Hanya saja kau terlalu sibuk memikirkan bubur bayimu sampai tidak melihatku." 

Sesaat keadaan menjadi hening. Irene melanjutkan kegiatannya dengan membuka sachet kemudian menuangkan bubuk bubur bayi ke dalam mangkuk yang sudah dipersiapkan. Sementara itu Joy masih setia menunggu hingga Irene sungguh sudah dalam keadaan bebas.

"Bagaimana keadaanmu?"

Hanya mata yang mereka gunakan untuk berkomunikasi. Selagi Irene berputar sembari menunggu jawaban dan menghadap Joy yang berdiri tegak, si jangkung sekedar menatap Irene dengan binar kegembiraan serta senyuman tulus melegakan. 

"Membaik."

Kemudian hening kembali menyelimuti. Kedua sejoli tersebut sekedar menatap mata satu sama lain dengan level kebahagiaan yang sama disertai oleh aura merindu yang begitu dalam. 

Diantara keduanya, Joy memang yang lebih terkenal memiliki kesabaran nan tipis. Jadilah tidak mengherankan ketika Joy tahu-tahu bangkit dari posisi menyandarnya, bergerak cepat kedepan untuk menangkup wajah Irene dengan satu tangannya kemudian menyatukan bibir mereka. 

Sangat berbeda dengan Irene yang telah merasakan panik beberapa saat lalu ketika bertemu ibu Joy. Si mungil segera meletakkan kedua tangan di pundak lebar Joy sebelum mendorongnya pelan dengan paksa namun masih penuh kehati-hatian. 

"Yah! Ada ibumu!" Teriak Irene dalam bisikannya.

"Lalu?"

"Aih... kau ini! Kembalilah ke kamarmu dan beristirahat. Aku akan membawakan buburmu nanti. Dan ketika itu..." Mencapai ke kalimat terakhir, Irene dengan sengaja menghindari berkontak mata dengan Joy yang sudah mengerti sepenuhnya lanjutan dari kalimat tersebut. 

Maka daripada menolak, Joy sekedar mengangguk patuh. Namun tetap saja, Ia tidak bisa menahan dirinya untuk tidak mencium pipi mulus Irene sebelum berlari menuju kamarnya.

Sementara itu Irene hanya melihat kelakuan Joy dengan tidak percaya tapi masih bersama ekspresi senangnya.

"Dasar anak itu."

What's BehindTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang