Malam ini ia merebahkan tubuhnya yang sedikit lelah pada kasur yang terasa begitu dingin. Suara gemericik dari atas kamarnya mampu membuat suasana terasa begitu syahdu. Namun, bagi Kanza hal seperti ini hanya akan membuat dirinya kembali terjun pada kenangan-kenangan ketika bersama bapak dulu. Jadi alih alih melanjutkan lamunannya ia bangkit lalu memutar lagu rock cukup keras.
"Za?"
"Yaallah!" ia terperanjat saat seseorang tengah berdiri dihadapannya. "Lo! Katanya ada urusan kantor diluar kota tiga hari. Kenapa sekarang tiba-tiba udah nongol aja dihadapan gue?" sambungnya.
"Lo nya aja yang gak pernah buka chat dari gue so ngartis, tampang ga seberapa juga. Mana ini lagi berisik banget si, jam segini muter musik beginian harusnya yang diputer tu murotal al-qur'an biar hati lo ga digundul setan."
"Beda cerita lagi itumah. Lagian ngapain si lo masuk kamar gue, ganggu aja."
Setelah itu Kevin melempar paperbag berwarna putih kehadapan adiknya. Meskipun Kanza sedikit kesal ia tetap membuka paper bag itu. Namun didetik berikutnya ia benar-benar tidak bisa berkata apapun ketika melihat sepatu yang ia idam-idamkan selama ini, sekarang berada dalam genggamannya.
Sebenarnya Kanza memang bukan pecinta sepatu seperti halnya Kevin. Ia hanya akan membeli sepatu yang menurutnya pas untuk ia pakai sehari-hari. Hampir semua model sepatunya sama, sneackers tidak ada yang formal satu pun. Jadi ketika ia mendapatkan sepatu yang terlihat formal Kanza begitu senang bukan main. Namun senyumnya yang merekah itu perlahan memudar seiring berjalannya waktu. Kemarin ia hanya bisa melihat sepatu itu terpajang cantik di salah satu toko brand ternama di mall. Ia tidak membeli karena mengingat harganya yang tidak masuk akal bagi seorang pelajar seperti dirinya. Kanza tidak masalah jika memang sepatu itu tidak jadi ia beli karena dirinya tetap bisa memakai sepatu yang ia beli sebelumnya. Tetapi Kevin dengan tampang tidak berdosanya, ia langsung membeli sepatu itu dengan iming-iming sogokan.
"Bang, kayanya sekarang lo gak perlu lagi deh nyogok gue cuma gegara ditinggal kerja." ia tatap sepatu putih itu dalam kegamangan.
"Kenapa? Bukannya lo gak pernah tau diri."
Kanza hanya mampu menarik napasnya berat. Bagi sebagian orang, memiliki kakak yang royal mungkin adalah karunia terbaik yang diberikan tuhan dalam hidupnya. Tapi bagi Kanza itu seperti sebuah serangan telak, dimana dirinya harus dituntut untuk memberikan yang terbaik dalam hal apapun untuk Kevin. Setiap kali Kevin melakukan kerja diluar ia selalu bertanya apa yang diinginkan dirinya. Kanza tidak pernah minta apapun selain dirinya yang harus pulang dalam keadaan selamat. Namun, seperti sekarang Kevin akan tetap membelikan, minimal satu barang untuk menyogoknya.
"Bang lo buta apa gimana?" histerisnya dengan mata terbelalak.
"Emang lo mau punya abang buta?" hardiknya.
"Masalahnya harganya mahal, ini tuh 2x lipat nya gaji lo."
"Udah lah jarang-jarang gue beliin lo barang mahal. Lagian lo adik gue jadi hak gue mau ngasi lo sepatu, rumah, tanah sekalian biar lo bisa bisnis," cerocosnya panjang lebar. "Gue mau istirahat dulu, oh iya tadi pas pulang gue beli martabak langganan kita. Kalo lo laper angetin aja dulu di microwave."
Kanza hanya mengangguk setelah kakaknya itu melengos keluar kamar. Lalu ia kembali menatap langit-langit kamarnya dengan pandangan kosong. Sepatu Jordan yang diberikan Kevin masih dalam kotak, itu adalah salah satu sepatu limited edition hasil kolaborasi antara Nike Air Jordan dengan Dior. Padahal setahunya sepatu itu cukup langka karena hanya memproduksi beberapa saja. Tapi alih alih memikirkannya lebih gamblang ia memilih untuk tidur. Entah kenapa malam ini ia tidak berminat sedikitpun untuk mencobanya seperti yang kerap ia lakukan saat mendapatkan barang baru.
KAMU SEDANG MEMBACA
HISTORY OF KANZA | Jung Sungchan
ФанфикSemua orang mungkin menginginkan hidup bahagia bersama keluarga yang utuh. Makan diatas meja yang sama, menonton tv diminggu sore bersama ibu dan bapak. Sama seperti Kanza ia juga meninginkan hal itu.