6. Arti sebuah mimpi

34 3 0
                                    


Kanza suka dengan suasana malam. Apalagi ketika langit terlihat begitu bersih. Karena ia bisa dengan mudah menatap bintang yang menghiasi hampir seluruh langit kota Bandung. Sudah pukul 10 malam, angin berhembus lembut menerpa rambutnya yang mulai memanjang. Ia bahkan hampir lupa kapan terakhir kali dirinya pergi ke tukang cukur rambut.

Malam memang menenangkan tapi sebenarnya Kanza benci ketika berada di situasi dimana otaknya akan secara otomatis menyerap kenangan-kenangan bersama mama dan bapak dulu. Lalu dengan begitu tidak ada yang bisa ia lakukan kecuali merasakan betapa sepinya hidup yang ia jalani sekarang.

Kanza masih punya abang, Reyden, dan orang-orang yang baru ia kenal beberapa pekan terakhir. Tapi jauh didalam dirinya ia merasa ada bagian yang telah lama kosong. Layaknya rumah yang sudah ditinggal lama oleh pemiliknya.

Kehilangan figur berharga dihidupnya ternyata cukup membuat ia kelabakan sendiri. Dan sepertinya, meskipun waktu terus berjalan tanpa bisa dicegah ia masih berada di tempat itu. Tempat dimana dirinya berdiri diatas rasa keputus asaan karena harus merelakan orang yang ia sayangi pergi untuk selama-lamanya.

Ia pikir, merelakan itu gampang namun sampai detik ini ia masih kesusahan. Ia pikir ia akan baik-baik saja seiring berjalannya waktu. Ia pikir dengan dirinya bertahan dirinya akan bisa menuntaskan segalanya dengan perasaan ikhlas. Ternyata semua itu hanyalah hayalan belaka yang tidak bisa ia lakukan secuil pun. Kanza masih saja menjadi manusia tidak berguna yang tidak tahu untuk apa dirinya hidup.

Dalam kegamangan, ia menatap satu cahaya paling terang dianatara yang lainnya. Dengan begitu ia tersenyum sumir.

"Ma! Kenapa bintang yang deket bulan lebih terang?"

"Itu namanya planet Saturnus, kalo kata orang-orang, mereka menyebutnya dengan nama Bintang Kejora. Kamu tau diantara semua planet yang ada di angkasa cuma dia yang dijuluki planet tercantik."

"Kok bisa?"

"Karena planet itu punya lingkaran yang mirip cincin. Besarnya bahkan jauh lebih besar dari bumi. Nah bumi itu adalah planet yang sekarang kita tempati."

Waktu itu Kanza masih berusia 6 tahun. Jadi tidak ada yang bisa ia lakukan kecuali ber oh saja.

"Kanza tahu, kita itu nggak ada apa-apanya kalo dibandingkan dengan alam semesta. Kita itu ibarat kerikil diantara batu-batu besar, perbandingannya jauh sekali. Tapi meskipun kita kecil, kita harus punya setidaknya mimpi untuk membuktikan bahwa kita memiliki tekad yang besar bahkan bisa lebih besar dari planet Saturnus."

"Maksudnya gimana mama! Kanza bener-bener gak paham! jelasinnya pake kata-kata yang Kanza ngerti dong."

"Nanti kalo udah dewasa Kanza pasti paham maksud dari perkataan mama."

"Kanza mau jadi astronot ah."

"Buat apa jadi astronot?"

"Mau buktiin omongan mama kalo planet Saturnus itu planet paling indah."

"Harus! Mama dukung apapun yang jadi impian kamu."

Ketika kecil, kita pasti terbiasa memiliki impian besar, bukan? Sama seperti Kanza. Sejak mama mengenalkan benda-benda yang berada di langit, ia mulai menekuni impian terbesarnya itu. Bahkan dulu ia sempat mengoleksi barang-barang berbau Astronomi. Dinding kamarnya bahkan dipenuhi dengan gambar roket dan gambar dirinya yang tengah mengibarkan bendera Indonesia dibulan. Begitu juga dengan meja belajarnya yang mulai dipenuhi dengan bola-bola planet. Tapi semua itu tidak berangsur lama, kepergian mama sepertinya menyimpan bekas luka paling dalam. Sampai-sampai ia mulai mengubur impiannya untuk menjadi seorang Astronot.

HISTORY OF KANZA | Jung SungchanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang