Hai?
Di awal aku pengen berterima kasih dulu buat kalian yang setia baca cerita ini. Aku yakin di antara kalian pasti udah ada yang lupa sama alurnya. Tapi sekali lagi terima kasih cause berkat kalian i feel like better. Akhir-akhir ini jadwal aku sedikit padet, makanya nggak sempet buka work ini. Sampai-sampai kemarin hampir lupa kalo aku bikin cerita ini.
Padahal di aku sendiri sebetulnya cerita ini udah tuntas. Tapi terkadang aku revisi ulang karena ada hal yang gak nyambung dari awal. Makanya butuh waktu lama buat up cerita ini. Di pertengahan pas aku baca, ternyata kedatangan Kiana cukup annoying, akhirnya aku sedikit rombak lagi. Dan kemungkinan besar akan ada perombakan lagi.
Kenapa banyak perombakan? Ya itu, dulu cerita ini aku buat untuk diriku sendiri pas lagi ngerasain kehilangan. Tapi, aku gak nyangka akan ada beberapa orang yang sudi baca cerita ini. Maka dari itu aku pengen cerita ini bisa kalian nikmati.
Terima kasih, aku harap kalian masih suka ya!
****
Kanza tidak tahu betul dimana ia menemukan kalimat ini, tapi katanya,
"Jika kamu tidak berbagi rasa sakit seseorang, kamu tidak pernah bisa memahami mereka, tapi memahami mereka bukan berarti kamu setuju dengan mereka."Ketika menjelang adzan maghrib, hujan turun dengan lebat. Didalam kamarnya yang redup ia tidak melakukan apapun selain menatap rinainya hujan yang membasahi kaca. Kertas putih yang tidak sengaja ia temukan di laci kerja milik Kevin masih ia genggam dengan erat. Tadinya, ia berencana untuk menyimpan kotak kado yang ia beli bersama Shafira beberapa hari yang lalu. Karena ia sadar bahwa selama hidup di bawah atap yang sama. Kanza nyaris tidak pernah memberikan hadiah dalam bentuk apapun untuk Kevin. Alasannya simple, sama seperti yang ia katakan dulu sewaktu Shafira bertanya. Kevin adalah seorang kakak yang tidak pernah menyesal jika uangnya habis untuk membeli hal yang dia suka. Barang-barang yang dia beli hampir semuanya ada. Jadi ia sendiri pun bingung, apa yang harus ia berikan pada lelaki itu disaat dirinya memiliki hal yang ia butuhkan. Namun, karena ia masih merasa penasaran dengan isi kamaranya. Ia justru mulai menjamah pada hal-hal yang ada di sana. Sampai-sampai satu lembaran kertas putih yang bertumpukan dengan dokumen milik Kevin menarik atensinya.
Beberapa menit kemudian, ia mendengar deru mesin mobil. Sudah dipastikan itu milik Kevin. Siang sebelumnya Kevin mengajak dirinya untuk makan malam bersama, dan Kanza mengiyakan tawaran itu. Mengingat keduanya sudah lama tidak makan di meja yang sama. Dan hari ini juga adalah hari ulang tahun abangnya. Tapi petang ini, semangatnya tiba-tiba saja hilang. Ada yang porak poranda di dalam hatinya sampai-sampai ia bingung harus berbuat apa selain termangu. Mendengar Kevin memanggil namanya dari ruang tengah, ia berderap. Kertas putih yang masih menjadi tanda tanya sengaja ia gulung lalu dimasukan kedalam saku celana belakang.
"Gue bakalan masak enak hari ini lo ban..." namun ucapannya terhenti saat adiknya itu berdiri tepat didepannya. Menatapnya dengan sorot mata penuh penghakiman. Akhirnya Kevin memilih untuk menatap kembali si bungsu. Membiarkan kresek belanjaannya menggantung di dalam genggaman.
"Apa selama lo belajar sampai jadi segede ini pernah diajarin dosen atau guru lo buat berbohong?" adalah kalimat pertama yang dilontarkan si bungsu, lengkap dengan deru napasnya yang semakin tidak beraturan. "Apa bapak pernah ngajarin lo buat jadi orang yang gak punya rasa bersalah?" pekiknya. Seolah kesabaran anak itu sudah ia habiskan sejak tadi siang.
"Duduk, kita bicara baik-baik." sergah si sulung.
Untuk waktu yang lama, ruangan yang mereka tempati dilingkup keheningan yang panjang. Kanza berusaha menetralkan napasnya yang terus-terusan memburu. Sedangkan Kevin memilih untuk mencerna kejadian barusan.
KAMU SEDANG MEMBACA
HISTORY OF KANZA | Jung Sungchan
FanfictionSemua orang mungkin menginginkan hidup bahagia bersama keluarga yang utuh. Makan diatas meja yang sama, menonton tv diminggu sore bersama ibu dan bapak. Sama seperti Kanza ia juga meninginkan hal itu.