Tidak terasa 4 hari dari sekarang sekolahnya benar-benar akan memberlangsungkan ujian nasional. Sebuah penilaian hasil belajar oleh pemerintah pusat, yang bertujuan untuk menilai pencapaian kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran tertentu. Dan itu menjadi salah satu tolak ukur pencapaian Standar Nasional Pendidikan. Makanya, anak-anak kelas tiga mulai disibukan dengan pelajaran yang akan diujiankan nanti. Ada yang sibuk keluar masuk perpustakaan dengan buku-buku paket yang memenuhi tangannya. Ada pula murid yang berisi keras memohon kepada guru mapel agar nilainya bisa diperbaiki. Ada yang berleha-hela dikantin seperti tidak memiliki beban. Dan salah satunya adalah duo maut yang sering membuat guru BK-nya frustasi. Siapalagi jika bukan Reyden dan Kanza. Mereka bahkan tidak memiliki minat sedikit pun untuk membuka satu halaman buku saja."Sibuk bener tu orang-orang gue perhatiin." celetuk Reyden saat dirinya tengah memakan kuaci yang ia beli di ibu kantin.
"Karena mereka pinter." jawab Kanza acuh tak acuh.
"Gue juga sebenarnya pinter, cuma gak ambis aja kaya mereka. Kalo dikasih pilihan antara jadi pinter sama jadi ambis gue mending jadi pinter aja."
"Kenapa?" ia menoleh, pada sisi wajah putih milik Reyden.
"Jadi ambis itu kadang bikin kita cape. Gue pernah tuh pas SMP kaya mereka. Belajar mati-matian pagi siang sore malem supaya nilai gue bagus. Tapi ujung ujungnya gue setres karena gak bisa menuhi ekspektasi gue."
"Harusnya si lo liat prosesnya bukan hasilnya. Itu juga lo yang ngomong pas gue gak bisa ngerjain ulangan matematika. Kalo lo masih inget di kertas yang gue kerjain ada angka 20 diatasnya, waktu itu gue gak peduli. Karena gue sadar kemampuannya emang bisa nyampe sana."
Mengingat kejadian itu lagi, Reyden berhasil tergelak. "Bodoh banget si lo. Mau aja gue boongin."
"Kepepet, waktunya tinggal 2 menit." jawabnya lesu, jika itu sudah menyangkut matematika Kanza beneran menyerah. Ia bahkan lebih baik disuruh menghitung berapa banyak butir beras dalam berat 1 kg, suwer!
"Sekarang, ngapa lo gak belajar?"
"Males gue, kalo nilainya anjok bodoamat si toh gue juga sadar."
Jika boleh jujur, Kanza sebetulnya percaya bahwa anak itu memiliki otak cerdas. Cuma ya karena bangor Reyden mulai melupakan kelebihannya itu, dan memilih jalan sesuai yang dia inginkan. Dan berada diperingkat 15 satu tingkat darinya, itu tidak membuat Reyden malu. Justru ia semakin gencar membuat onar di kelas maupun di area sekolah. Sebuah kebiasaan yang memang tidak seharusnya ditiru oleh anak-anak sekolah. Kalo Reyden mah biarin selagi gak jadi cewek.
"Lo liat deh satu cewek yang lagi baca buku di taman, apa gak rontok rambutnya tiap hari duduk disana sambil baca buku." Dengan tangannya yang terangkat menuju gadis bersurai legam, ekor mata Kanza mengikuti arah tangan laki-laki itu.
"Tiap orang pan beda-beda. Emang niatnya pen pinter kali." jawabnya enteng.
"Masalahnya dia baca komik anjir! emang komik bisa bikin pinter?"
Refleks Kanza menoleh dengan raut wajah bingung. "Yang lo maksud yang itu?"
"Lah?" satu temannya jauh lebih bingung. "Terus lo liat ke arah mana?"
"Gak kemana-mana."
Dengan pandangan menyelidik, ia mulai menyisir ke area taman. Disana hanya ada beberapa gadis yang tengah terduduk. Tapi ekor matanya berhasil menangkap satu gadis yang duduk dibawah pohon palem tidak jauh dari gadis yang ditunjukan olehnya tadi. Lalu ia beralih pada Kanza yang langsung memalingkan wajahnya. "Normal lo, Za?" ledeknya.
Kanza berdecih, ia menatap wajah Reyden sekilas lalu kembali pada aktivitasnya yang entah sedang berbuat apa. Dan didetik berikutnya Reyden tergelak bukan main. Baru kali ini ia melihat momen yang jarang sekali ia dapatkan dari Kanza.
KAMU SEDANG MEMBACA
HISTORY OF KANZA | Jung Sungchan
FanfictionSemua orang mungkin menginginkan hidup bahagia bersama keluarga yang utuh. Makan diatas meja yang sama, menonton tv diminggu sore bersama ibu dan bapak. Sama seperti Kanza ia juga meninginkan hal itu.