14. Hidup berjalan seperti biasa

15 1 0
                                    


Menjelang jam 2 dini hari, laki-laki itu belum juga terlelap tidur, ia justru memilih untuk menghabiskan rokoknya di balkon kamarnya. Ia tatap langit diatas sana dengan perasaan gusar. Entah dibagian mana yang membuatnya terjaga, yang pasti ia mulai teringat dengan kedua orang tuanya. Terutama percakapan terakhir bersama bapak di minggu pagi.

Kanza menarik napasnya dalam-dalam, selama 4 tahun lebih momen-momen kebersamaannya dengan bapaj seperti sudah melekat dalam dirinya, tersimpan rapih disudut hatinya. Lalu asap nikotin yang dia sedot berhasil mengepul dengan sempurna keudara. Membiarkannya bergelut dengan oksigen.

Semakin larut rasanya semakin menyesakan. Masih terdengar jelas bagaimana suara bapak berkata dengan nada menenangkan.

"Kanza, kamu tau alasan bapa ingin bertahan sampai sekarang?"

Kanza tidak menanggapi hal itu, sadar bahwa setelah ini bapak akan meneruskan ceritany. Lantas ia menggeleng.

"Itu karena masih banyak makanan yang belum bapak coba, masih banyak tempat yang belum bapak tunjukin ke kamu, masih banyak orang yang belum bapak temui, masih banyak kesempatan baik yang harus dihabiskan bersama orang-orang spesial, dan bapa masih pengen liat kalian tumbuh menjadi orang-orang hebat. Bapa masih pengen liat kamu bisa ngelampaui abang kamu dengan pilihan kamu sendiri."

"Aku nggak ada apa-apanya dibanding sama bang Kevin. Jadi bapa gak perlu berharap banyak."

"Kanza, setiap anak yang dilahirkan kedunia, pasti punya kekurangan dan kelebihannya masing-masing. Bang Kevin bisa jadi pilot dan lulus kuliah lebih cepat, apa dia bisa bikin lirik lagu kaya kamu?"

Dulu, Kanza hanya bisa menunduk, segala hal yng berada didalam pikirannya tiba-tiba saja menjadi acak. Ia tidak tahu kelebihan dirinya selain bisa membuat lirik lagu apalagi.

"Kamu tau kenapa bang Kevin ngelakuin semua itu lebih cepat dari perkiraan?"

"Itu karena dia udah siap jika suatu hari nanti bapa sama mama gak ada. Bang Kevin udah siap buat gantiin posisi bapa yang bakalan ngejaga kamu bang Kevin udah siap buat gantiin mama yang bakalan ngurus kamu."

"Kanza udah gede pa, Kanza bukan anak kecil lagi."

"Dimata kami kamu itu masih kecil, kamu masih jadi anak yang suka ngerengek kalo gak mau sekolah karena hujan."

"Pa!"

Hanya dengan begitu bapak tergelak hebat, dan Kanza hanya bisa mendengus kesal.

Itu adalah percakapan terakhir yang kami lakukan saat mama pergi ke pasar bersama Kevin. Jika saja itu adalah hari terakhirnya duduk di teras belakang bersama bapa, mungkin ia akan membiarkan bapa bercerita panjang lebar. Bahkan ia akan dengan senang hati mendengarkan bagaimana silsilah keluarga besarnya, cerita tentang percintaan mama dan bapa sewatu kuliah dulu, dan bagaimana keadaan kakek dulu saat berperang dengan tentara Jepang, ia juga akan mendengar bagaimana Bandung bisa menjadi lautan api. Tidak peduli jika setelah itu bokongnya terasa panas dan pegal, asalkan ia bisa melihat dan mendengar suara bapa jauh lebih lama.

Setelahnya Kanza tersenyum gamang, segala hal yang terjadi dihidupnya ternyata memiliki masanya sendiri. Ada kalanya ia menetap dan ada kalanya ia pergi. Seiring berjalannya waktu dan bertambahnya usia rasa rindu dan sakit terus menemani tanpa henti. Seolah-olah ia telah dikutuk oleh tuhan untuk menjalani hidup dengan rasa pahit yang begitu getir.

Pada menit berikutnya, saat jam menunjukan pukul tiga lebih. Ia beranjak dari sana, merebahkan tubuh lelahnya pada kasur yang terasa begitu dingin.

***

HISTORY OF KANZA | Jung SungchanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang