Selikur

5.5K 276 1
                                    

Selepas kejadian pasca istirahat pertama tadi, kini sampai kelas sudah masuk dan pelajaran sudah berlangsung Aira terus memikirkan tentang kejadian di koridor kelas tadi yang menjadi potongan alur dari novel yang menjadi tempatnya ber-transmigrasi sekarang.

'Keknya di sini sama di novel agak ada perbedaan dah, di novel kan Rania dibawa pergi sama Rendra abis tuh cowo bantuin Rania, tapi tadi kok gak ada kejadian kek gitu? Kok Rendra cuma bantuin Rania terus langsung pergi?' batin Aira terus bertanya-tanya mengenai kejadian waktu di koridor tadi.

Seingat Aira, Rendra membawa pergi Rania meninggalkan para temannya dan murid-murid yang awalnya membully gadis itu, tapi tadi waktu istirahat yang Aira lihat hanyalah Rendra yang membantu mengusir para murid dan meninggalkan Rania begitu saja setelah Rania berterima kasih. Tentu saja Aira mempertanyakan kejadian yang tak sama persis dengan di novelnya yang sudah pernah dia baca itu.

'Ini cuma perasaan gue aja apa gimana dah, napa bisa beda ya, apa karena emang gini apa gegara gue nyasar ke sini makanya alurnya jadi beda?' lanjut Aira masih dalam hati.

Dengan menopang dagunya dengan tangan kanan di atas meja, Aira mengabaikan guru yang tengah menjelaskan panjang lebar di depan kelas, dia justru malah menatap lurus ke depan dengan pandangan kosong. Pikiran Aira pun masih ke mana-mana terutama memikirkan tentang alur cerita yang tak sesuai dengan alur di novelnya yang telah dia baca.

"Psst! Heh! Ai! Aira!" Suara itu berasal dari bangku samping kiri Aira yang merupakan tempat duduk Cika.

Cika memanggil Aira dengan suara berbisik dan sedikit mencondongkan tubuhnya agar lebih dekat dengan sahabatnya itu, terlihat dari raut wajah Cika sepertinya dia cemas melihat kearah depan dan Aira secara bergantian.

"Anjir! Budek!" sentak Cika masih berbisik menatap Aira yang sama sekali tak bergeming dengan tatapan kesal lalu beralih menatap guru yang tengah mengajar berjalan pelan menghampiri bangku yang ditempati Aira.

"Ai!" panggil Cika sekali lagi dengan kesabaran yang sudah menipis. Namun sayangnya panggilan keduanya tak direspon sama sekali oleh Aira yang terlihat masih melamun dengan tatapan kosong.

Berbeda dengan Aira, Cika sendiri sudah pasrah kala Bu Wika-guru bahasa Indonesia di AHS itu telah berdiri tepat di samping meja Aira.

'Etdah! Alamat di jemur kek ikan asin sih ini' batin Cika meratapi nasib Aira selanjutnya yang sudah bisa ditebak diluar kepala.

"Airaya Floranika Wijaya!"

Brak!

Panggilan keras dilanjut dengan gebrakan meja berhasil membuat Aira tersadar dari lamunannya, gadis itu sampai tersentak kaget sembari memegang dada.

"Anj–eh astaghfirullah." Aira meringis, hampir saja dia keceplosan berkata kasar jikalau tak melihat siapakah yang ada di hadapannya sekarang.

"Ada apa ya Bu manggil saya?" tanya Aira dengan polosnya, Cika yang mendengarnya sampai dibuat gemas, dan saking gemasnya ingin mencekik leher sahabatnya itu.

Bu Wika menatap Aira tajam dengan wajah galak khasnya. "Kamu! Sekarang keluar dari kelas dan berdiri di hadapan bendera sambil hormat sampai jam pelajaran saya selesai!"

Aira melotot tak terima, bersiap protes dengan mulut yang sudah terbuka, tapi belum juga mengucapkan satu kata, sudah lebih dulu di potong oleh Bu Wika. "Tap–"

"SEKARANG AIRAYA!"

Lagi-lagi untuk yang kedua kalinya Aira tersentak kaget, seisi kelas dapat menyaksikan kekagetannya itu terutama Cika yang sudah menahan tawa sejak tadi melihat setiap ekspresi yang dikeluarkan Aira. Cika kasihan tapi juga puas.

"Baik Bu," balas Aira pelan. Dengan sedikit kesal dia langsung melenggang pergi keluar dari kelas setelah menyadari Cika yang melihatnya sambil menahan tawa, Aira juga malu dengan tatapan seisi kelas yang tertuju padanya.

'Bangke! Sial banget gue!' umpat Aira yang terus berlanjut dalam hati sampai mengabsen seluruh penghuni kebun binatang.

"Ngeselin banget si Cika! Katanya besti tapi diem aja gak bantuin malah ketawain!" gerutu Aira terus-menerus sampai dia berhenti tepat di tengah lapangan berdiri di hadapan bendera.

Aira ingin melarikan diri dari hukumannya itu, tapi dia ingat di novel dituliskan Nita jika AHS memiliki banyak CCTV terutama di dekat lapangan, jadi Aira pikir dia tak akan semudah yang ada di pikirannya untuk kabur karena sekolah yang dia tempati sekarang berbeda jauh dari sekolah nya dulu. Jelas saja, sekolah di sini buatan Nita sedangkan sekolahnya dulu buatan pemerintah.

Beberapa saat kemudian, sudah dua puluh menit lamanya Aira berdiri di depan bendera sembari hormat sesekali menjatuhkan tangannya sebentar, karena Aira tak sekuat itu untuk terus mengangkat tangannya.

"Huffhh!" Aira menghela nafas kasar sembari menyeka peluh yang terus menetes dari dahinya, sampai ke leher, wajahnya sudah begitu merah akibat terpapar langsung dengan sinar matahari dan jangan lupakan tenggorokan gadis itu sudah sangatlah haus.

"Kalo gue pingsan di sini ada yang liat terus bantuin gak ya? Pengen pingsan tapi takutnya gak ada yang angkat!" gumam Aira sangat pelan dengan sisa tenaganya yang sudah terkuras.

Gadis itu memejamkan matanya berusaha untuk tetap kuat karena kurang sepuluh menit lagi jam pelajaran Bu Wika selesai.

"Eh!"

Reflek Aira membuka matanya lagi kala merasa ada sesuatu yang dingin menempel di pipinya. Dia menoleh lalu melihat botol minuman dingin yang tadinya menempel di pipinya tengah di pegang oleh seseorang, dan seseorang itu adalah salah satu teman Rendra.

Aira lupa namanya, tapi setelah melihat ke arah name tag laki-laki itu dia manggut-manggut paham. "Nah, lebih cakepan temennya dari pada Rendra," gumam gadis itu tanpa sadar, padahal niatnya akan mengatakan dalam hati.

Salah satu teman Rendra yang sekarang ada di samping Aira adalah Gian yang orangnya kata Cika dingin dan cuek.

"Secara gak langsung lo bilang gue cakep?"

Aira menaikkan salah satu alisnya. 'Lah, kok gak dingin+cuek? Napa dia pede gila meskipun gue emang muji dia sih, tapi kan gak gitu juga kali' batinnya.

"Pede gila lo," balas Aira santai sebelum mengalihkan atensinya ke arah sebotol air mineral yang masih digenggaman Gian.

Sedangkan respon Gian hanya mengedikkan bahunya acuh, terkesan tak perduli dengan balasan Aira.

"Ambil!"

Belum sempat Aira bertanya, Gian sudah lebih dulu mengulurkan sebotol air mineralnya pada Aira dan reflek gadis itu menerimanya dengan senang hati dikarenakan dia sudah sangat haus.

"Buat gue kan?"

"Hm."

Dan belum sempat juga Aira berterima kasih pada laki-laki itu, Gian langsung melenggang pergi meninggalkan Aira sendirian kembali.

"BTW MAKASIH MINUMNYA!" teriak Aira.

"Eh tapi rada aneh gak sih tuh orang? Bukannya kita gak kenal ya? Ngapain dia pake ngasih minum ke gue segala?" Detik berikutnya Aira baru berpikir dan heran sendiri.



AyataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang