Chapter ini adalah hidden story part of chapter "XL. Potentially Yes"
Pagi ini, Mei dan Ge memang berangkat sekolah bersama namun sampai di sekolah Mei harus dispensasi karena dia akan langsung berangkat ke venue lomba bersama sang pelatih dan peserta lomba lain.
Dalam perjalanannya tadi, Mei memikirkan sesuatu yang belakangan sangat mengganggu kepalanya. Satu hal yang harus dipastikan sesegera mungkin. Padahal dia sudah berusaha berkonsentrasi dan menyingkirkan hal mengganggu itu.
"Ge," panggil gadis itu agak keras sebab ia tahu angin yang menyerbu wajahnya bisa mengganggu pendengaran.
"Iya?" Beruntung Ge bisa mendengarnya.
"Kok lo tahan sih?"
"Hah? Maksudnya?"
"Gue kira lo bakal ngambek gitu."
Ge semakin tidak mengerti arah pembicaraan gadis di belakangnya itu. "Mei, lo ngomongin apaan sih?"
"Emangnya lo gak galau gitu mikirnya? Gue aja galau."
"Mei, ini lo bukan sih? Sejak kapan lo jadi gak jelas gini?"
Mei malah ikut gemas dan bergerak memukul pundak Ge. "Ish! Kok lo jadi gak peka gini sih?"
"Gak peka? Apaan?" Ge bergumam sendiri saking bingungnya.
"Kalo lo masih bingung, berarti lo gak serius," ungkap Mei seolah tak bisa dibantah.
"Astaga, Mei! Kalo lo ngomongnya jelas, gue gak akan bingung. Jangan kaya gitu ah."
Benar, sejak kapan dirinya jadi seperti ini? Mei menyadari kini dia mulai bicara penuh kode dan tidak jelas. Dia tidak pernah bicara seperti ini pada siapapun sebelumnya. Tak heran jika Ge ikut bingung karena selama ini Mei selalu dikenal tegas dan to the point.
"Lo gak capek digantung?" Mei mulai memelankan suaranya.
Dari sini, Ge bisa menangkap maksud pembicaraan Mei. Dia menyunggingkan senyum kecil. "Ya capek, tapi harus tahan banting kan? Masa digantung doang misuh-misuh?"
"Tapi kok keliatannya lo santai banget?"
"Keliatannya doang, aslinya mah ketar-ketir."
Mei terkekeh kecil. Serius, Mei tidak melihat sisi khawatir atau galau dari Ge selama ini atau Ge saja yang pandai menyembunyikan itu semua di balik sikapnya yang serius.
"Tapi sebentar... Ini keliatannya malah lo yang overthinking, benar apa benar?"
"Sok tau."
"Halah... Gak usah sok gengsi gitu sama gue. Cewek mah kebiasaannya gitu."
"Kalo masih ledekin gue, gak usah pacaran deh."
Ge tiba-tiba melipir ke pinggir dan menghentikan motornya. "Lo bilang apa?"
"Kalo lo masih ledekin gue, kita gak usah pacaran."
Laki-laki ini memiliki ide bagus untuk membuat Mei semakin kesal. "Tapi ledekin lo itu hobi gue, gimana dong?"
"Berarti udah jelas."
"Sejak kapan seorang Mei ngambek cuma karena diledekin?"
"Sejak dulu, lo aja yang gak ngeh."
"Nggak ah, atau karena diledekinnya sama gue?"
"Kok pede?"
"Lo suka ya sama gue?"
"Ih sok tau."
"Kaya gak pernah curhat sama ayahnya di kuburan aja. Ntar gue kasih lo penghargaan cewek tergengsi mau? Tinggal ngaku aja susah. Minimal langsung jawab iya atau nggak, gak usah adu argumen. Ini bukan tempatnya deb—"
Mei dengan wajah datarnya membungkam mulut Ge yang dari tadi terus bercerocos menggunakan tangannya. "Bawel."
"Oo otou nggok?" (Iya atau nggak?)
"Kalo lo masih banyak omong, gue bakal jawab nggak."
Ge menepuk punggung tangan Mei yang menutupi mulutnya seraya mengangguk. Dia kemudian membuat gerakan mengunci mulut dan diam menunggu jawaban Mei.
"Yah, karena lo udah denger pembicaraan gue sama ayah waktu di makam, mau denial gimana lagi? Of course it's a yes."
Ge memalingkan wajahnya sambil membuat gestur senang dengan tangannya. Belum sempat Mei bersiap, Ge tiba-tiba mengegas motornya hingga membuat Mei hampir terjungkal ke belakang jika saja dia tak mencengkram pundak laki-laki itu. Dia sontak memukulnya. "Gue hampir jatuh, dodol!"
Sementara Ge malah tertawa dengan tengil. "Maaf, sayang, kelepasan."
"Gak usah sayang sayang! Gak ada romantis-romantisnya sama sekali," cibir gadis itu sebal.
"Ntar kalo gue bertingkah romantis, lo nya geli lagi."
"Idihh sok tau! Belum juga pernah kaya gitu."
"Heh jangan salah. Kalo sama lo, romantisnya itu bukan pake bunga atau kata-kata manis. Gue tau banget."
"Terus, menurut lo apa?"
"Berdebat sama lo itu buat gue udah paling romantis."
Mei tersenyum dalam diamnya di belakang Ge. Boleh diakui. Hal lain yang membuat Mei menerima Ge adalah bagaimana laki-laki itu sanggup menyamakan tingkah dan pikirannya yang keras kepala juga bagaimana dia memperlakukan gadis mandiri sepertinya.
Di saat Mei sanggup melakukan banyak hal seorang diri, Ge datang dan membantunya, seolah berkata, "gue tau lo bisa sendiri, tapi gue ada di sini buat bantu lo."
KAMU SEDANG MEMBACA
G in Luv (END)
Novela JuvenilTinggal bersama di satu atap dengan orang yang bahkan bukan teman dekatnya tidak pernah terlintas di pikiran Mei atau Ge. Duo murid paling disegani ini tiba-tiba saja terjerat dalam keadaan tersebut. ••••• Sepakat menjadikannya simbiosis mutualisme...