1. Gerimis

778 35 0
                                    

Suara gemericik hujan sedikit meramaikan sore hari yang sunyi di sebuah lapangan luas dengan puluhan gundukan rumput berukuran selaras. Sesekali diselingi suara burung gagak yang hinggap di batang pohon beringin. Di salah satu gundukan yang masih berwarna coklat, ada sebelas pemuda yang tengah melingkar.

"Kalian pulang aja duluan, udah mau gelap," ujar salah satu pemuda berambut sebahu. "Jisoo pasti udah nungguin dari tadi, kasian dia sendirian di rumah," lanjutnya.

"Bareng aja, Kak." Pemuda yang paling tinggi menimpali.

"Kayanya Mas Cheol masih mau di sini, biar Kakak aja yang nungguin, kalian pulang duluan, ya?"

"Yaudah, kita pulang duluan, Kak Han jangan terlalu lama di sini, Mas Cheolnya dibujuk aja buat pulang." Kini pemuda berkacamata yang angkat suara dan dibalas anggukan oleh pemuda yang dipanggil Kak Han.

Setelahnya, kesembilan pemuda itu berjalan perlahan meninggalan dua orang lainnya. Jeonghan, nama lengkap pemuda berambut sebahu itu terus memperhatikan mereka hingga hilang dari pandangan. Ia lalu berjongkok lalu memegang pelan bahu seseorang yang sedari tadi menatap kosong gundukan tanah di depannya.

"Seungcheol, ayo pulang. Udah mau gelap, kalo mau besok Kita bisa ke sini lagi," ujarnya lembut.

"Han...." Lirih Seungcheol tanpa mengalihkan pandangannya.

"Iya gimana, Cheol?" Jawab Jeonghan.

"Bapak beneran ninggalin Kita, ya?" Bibir Seungcheol bergetar samar.

"Aku berharap ini cuma mimpi tapi sayangnya iya, Bapak udah nggak ada. Kamu harus ikhlas, ya? Ada Aku, ada adik-adik yang lain juga. Kita hadapin semuanya sama-sama." Jeonghan mengelus lembut punggung Seungcheol.

Seketika tangis Seungcheol pecah. Tangis yang sejak tadi pagi Ia tahan tak bisa terbendung lagi ketika tak ada siapapun yang melihatnya selain Jeonghan. Wajahnya Ia sembunyikan di balik telapak tangan. Tidak pernah Ia bayangkan sebelumnya harus kehilangan satu-satunya keluarga sedarah yang Ia punya secara tiba-tiba hari ini. Pagi itu, Ia sedang bercanda dengan teman-teman sekelasnya sampai ketika wali kelasnya memanggil. Lalu yang terjadi setelahnya tak bisa Ia gambarkan karena adegannya terasa begitu cepat.

Jeonghan yang melihat Seungcheol menangis tersedu sampai bahunya bergetar ikut meneteskan air mata. Ia pun sedari tadi mencoba sekuat tenaga menahan air matanya, namun Ia tak sekuat Seungcheol. Ketika Ia ikut memakaikan jas kesayangan Bapak, air matanya tumpah ruah saat itu juga.

Perlahan Jeonghan merangkul tubuh Seungcheol yang bergetar hebat yang dibalas pelukan oleh Seungcheol.
"Cheol, maaf Kamu harus ngalamin hal yang sama kaya kami... maaf karena Kamu harus bernasib sama kaya kami.... Maaf...." Jeonghan berkata lirih disela tangisnya.

Mendengar hal itu Seungcheol perlahan melonggarkan pelukannya lalu menatap Jeonghan. "Kalian gak salah apapun, jangan minta maaf," ujar Seungcheol meremat sedikit kedua bahu Jeonghan.

"Tapi...." Belum selesai Jeonghan berucap, Seungcheol langsung menarik tubuh Jeonghan untuk berdiri.

"Ayo pulang, yang lain pasti udah nunggu kita. Aku gak apa-apa, jangan nangis lagi." Seungcheol mengusap kasar pipinya yang basah lalu menghembuskan napas kencang.

"Kalau Kamu masih mau nangis gak apa-apa Aku tungguin." Jeonghan menatap Seungcheol khawatir.

"Udah, kok. Aku udah puas nangis, maaf gara-gara Aku nangis, Kamu jadi nangis lagi." Bibirnya sedikit melengkung ke bawah.

"Jangan minta maaf. Emang seharusnya Kamu nangis aja, gak perlu berusaha keras buat keliatan kuat di hadapan kita. Kamu anak Bapak satu-satunya, gitu juga Bapak, beliau satu-satunya keluarga Kamu yang tersisa. Gak ada salahnya Kamu nangis." Suara Jeonghan sedikit bergetar. Semua hal yang terjadi hari ini sangat berat bagi Jeonghan, dan bagi Seungcheol akan lebih berat lagi rasanya. Kesedihan Seungcheol sudah pasti setingkat lebih tinggi dari miliknya.

"Iya, makasih udah mau nemenin Aku nangis barusan. Tapi serius, Aku udah selesai nangisnya, udah sedikit lega juga, jadi ayo pulang." Seungcheol mengulum sedikit senyum.

"Yaudah, ayo." Jeonghan menjawab sembari berbalik dan mulai berjalan ke arah gerbang masuk dan diikuti oleh Seungcheol di belakangnya.

Hari ini Seungcheol sangat kacau, tapi Ia tidak ingin memperlihatkan hal itu kepada siapapun. Ia harus menjadi kuat, harus tegar, harus kembali berdiri tegak. Karena kini di balik punggungnya ada sebelas orang yang harus Ia lindungi, Ia jaga dan Ia perjuangkan kebahagiaannya. Mulai hari ini, diusianya yang belum genap menginjak usia sembilan belas tahun, Ia harus mengemban tanggung jawab sebagai kepala keluarga di rumahnya.

Rumah Cemara [Seventeen]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang