Salah satu kamar dari lima kamar yang ada di rumah itu sudah nampak sunyi. Lampu utama sudah dimatikan dan satu-satunya sumber cahaya adalah dari lilin aromaterapi yang disimpan di atas meja kecil depan cermin berukuran setengah badan orang dewasa. Kamar itu hanya berukuran 3x3 meter dengan isian yang standar, satu ranjang dua tingkat, satu lemari, satu meja belajar kecil dengan rak buku empat susun dan terakhir meja kecil dengan cermin tadi.
"Han, udah tidur?" Salah satu orang yang menempati kasur bawah memecah keheningan.
"Belum, kenapa? Kamu butuh sesuatu, Soo?" Jawab orang lain yang terbaring di kasur bagian atas. Wajahnya terlihat sedang sibuk memikirkan sesuatu tapi entah apa.
Ada hening sejenak sebelum akhirnya Jisoo kembali bersuara, "Han, maaf ya tadi hasil kontrolnya gak bagus. Kamu bentar lagi pergi, tapi Aku malah bikin beban baru buat pikiran Kamu." Mata Jisoo sibuk menatap tangannya yang memilin-milin ujung selimutnya.
Mendengar ucapan itu, Jeonghan mendudukkan dirinya. "Kok kamu bilang gitu? Aku gak pernah mikir kalo Kamu itu beban, Soo." Ia berkata dengan nada sedih. Sedari dulu kembarannya itu memang membutuhkan perhatian khusus sehingga Ia harus memberikan atensi lebih padanya. Meskipun begitu, tidak pernah sedikitpun Ia menjadikan hal itu sebagai beban. Ia memiliki pemikiran bahwa sudah menjadi kewajibannya yang diposisikan sebagai kakak untuk menjaga Jisoo.
"Aku turun, ya? Kita tidur bareng, nanti Aku peluk." Jeonghan melanjutkan."Jangan turun! Aku gak mau liat muka kamu... nanti aku nangis...." Suara Jisoo semakin melemas. Matanya sudah mulai berkaca-kaca, tangisnya benar-benar akan pecah jika Jeonghan menampakkan wajahnya saat itu juga.
Merespon ucapan Jisoo, Jeonghan langsung menjulurkan badannya melewati ranjang, Ia mencoba melihat Jisoo dari atas sana. "Kok malah nangis?" Ucapnya sedikit memekik.
"Ih, kubilang jangan liat Aku!" Jisoo ikut memekikkan suaranya sambil membalikkan badannya ke samping dan menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut.
"Jisoo jangan nangis dong! Kamu gak pernah jadi beban buat Aku, kok. Hasil kontrol tadi emang bikin Aku sedikit khawatir, tapi kata Dokternya kan itu cuma gejala kecil. Udah dikasih obat juga, Aku yakin kok Kamu gak akan kenapa-napa. Asal Kamu janji buat nggak kecapekan, makan yang bener sama rajin minum obat aja Aku bakalan gak khawatir lagi." Jeonghan tidak berpindah posisi, Ia tetap menatap lembut kembarannya meskipun yang terlihat hanya gumpalan selimut.
"Iya Aku janji bakal jaga diri baik-baik, kok. Aku gak bakal bikin Kamu khawatir di sana, nanti hasil kontrol selanjutnya bakal Aku kasih tahu ke Kamu dan Aku pastiin hasilnya bagus." Jisoo kini menurunkan selimutnya hingga wajahnya terlihat.
"Aku pengen terus nganter Kamu kontrol, apa Aku gak jadi pergi aja, ya?" Jeonghan berucap dengan sangat enteng.
"Kamu gila ya?!" Seru Jisoo. Ia langsung menyibak selimutnya lalu menjulurkan kepala untuk melihat Jeonghan di atas sana. Matanya membulat sempurna tanda emosinya sedang memuncak.
"Nah gitu dong... udah gak mau nangis lagi, kan kalo liat Aku?" Ujar Jeonghan diakhiri kekehan khas miliknya.
"Kamu tuh ya, Han...." Jisoo langsung mengembalikan kepalanya ke atas bantal. Kekehan itu menjadi penanda kalau barusan Ia berhasil dikerjai oleh kembarannya itu.
"Tapi Soo... beneran ya, Kamu janji gak akan kenapa-napa selama Aku pergi?" Kini nada bicara Jeonghan berubah kembali serius. Sejujurnya yang paling berat bagi Jeonghan untuk pergi adalah karena harus meninggalkan kembarannya.
"Iya, Han, Aku janji. Udah berkali-kali Kita bahas ini, Aku beneran gapapa. Aku malah bakal sedih kalo Kamu gak jadi pergi gara-gara Aku." Jisoo pun kembali mengubah nada bicaranya menjadi lembut namun penuh dengan penekanan. Ia tahu bahwa kembarannya itu selalu meragukan keputusannya untuk melanjutkan sekolah ke Luar Negri karena khawatir pada dirinya, maka akan tidak bosan Ia pun meyakinkan Jeonghan untuk terus melangkah menggapai cita-citanya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rumah Cemara [Seventeen]
Hayran KurguBangunan bercat putih kusam yang mereka tuju ketika ingin pulang.