My girl was standing proud

48 12 0
                                    


"Nak? Nak, bangunlah!"

Aku terkesiap. Kepalaku berdentam-dentam dan napasku berantakan. "Ayah?"

"Apa yang terjadi padamu?" Ayah setengah merangkul untuk membantuku duduk. Kedua tangannya yang dingin menangkup wajahku. "Ya ampun, demi Tuhan, kau sangat panas! Kenapa kau ada di sini?" Ayah menoleh ke arah pekarangan. "Mills, Mills! Beri aku bantuan!"

Aku tak bisa memahami apa yang terjadi, selain merasakan ada sosok tambahan yang mampir. Tahu-tahu tubuhku dibopong, dan aku menggigil hebat dengan sapuan angin di bawah langit yang sangat petang. Jam berapa ini? Kenapa aku digotong? Apa yang Ayah lakukan, ketika semestinya yang sakit itu Ayah?

"Yah." Aku bingung saat tubuhku dimasukkan ke mobil asing. "Yah?" tanyaku lagi saat Ayah duduk di sampingku, mengangkat kepalaku dengan penuh kehati-hatian dan mengistirahatkannya di pangkuannya.

"Yah?"

"Oh, Ced. Apa yang terjadi padamu?" Aku tidak tahu apakah Ayah menyesal atau menangis. Namun mendengarnya kalut begitu, aku merasa seperti sedang melupakan sesuatu.

Apa itu?


Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Aku dirawat di rumah sakit karena tifus.

Agak konyol karena aku calon dokter dan semestinya bisa menjaga diri dengan lebih baik, tetapi tak peduli seberapa sering Ayah mengomel seperti orang tua normal, aku tidak merasa menyesal.

Justru tifus ini menyelamatkanku. Ronald bilang dekan tidak terburu untuk memberi surat panggilan. Vincent bilang Pak Wahlberg sudah berhenti menyindir—menyebutku sebagai anak yang gagal meneruskan mimpi orang tua yang meninggal, secara anonim, tentu saja—semenjak surat izin dari rumah sakit turun, apalagi Vincent yang menyerahkannya langsung kepada Pak Wahlberg. Puncak komedi adalah ketika karangan bunga dari Pak Wahlberg datang. Ia mengantarnya sendiri. Ia tak mengajakku berbicara sama sekali karena sibuk memuji-mujiku kepada Ayah. Saat itu tengah terjadi, Vincent—yang gantian menjengukku sementara Ronald melanjutkan pahatan patung—memutar bola mata jengkel.

Ngomong-ngomong Pak Wahlberg mengunjungiku di hari terakhir aku diopname. Masih ada anjuran untuk istirahat di rumah selama tiga atau empat hari, membuat Oktober berlalu secepat kilat. Aku mencemaskan lukisan Ibu yang belum kusentuh sama sekali (aku sudah menitipkannya di rumah Vincent saat aku pamit pulang), dan sudah menyerah dengan tugas-tugas yang menumpuk. Namun Vincent berbaik hati memberi salinan tugas agar aku tidak kesulitan mengerjakannya.

Ketika sudah tak ada lagi yang perlu kukhawatirkan selain panggilan dekan, aku baru ingat soal Janet. Hari itu adalah hari terakhir aku rawat jalan di rumah, tubuhku sudah lumayan bugar, dan gantian Ronald yang menjengukku. Ayah sangat menyukai kedatangan kawan-kawanku karena alasan berbeda: Vincent karena seorang kurator museum, dan Ronald karena sangat pandai memasak. Hari itu Ronald membawakan kentang tumbuk (lagi, tapi lebih mending daripada bubur), sup tomat kental yang sarat bumbu, wortel dan brokoli rebus, serta daging giling. Ayah memuji kemampuannya sekelas koki restoran langganannya dulu, meski segalanya terasa kurang mentega.

Usai makan malam, aku menepi ke teras bersama Ronald, menghadap kebun bekas peperangan yang sudah rapi dan ditanami ulang bibit-bibit sayur.

"Kau tahu, sebelum aku diangkut ke rumah sakit, aku mimpi buruk parah. Aku mimpi Janet meneleponku untuk meminta maaf, dan ingin mengembalikan duitku, tapi Fillman menghentikannya."

Ronald mengembuskan asap rokok ke udara bebas. "Parah," komentarnya. "Padahal gosip soalmu sudah reda."

"Baguslah," gumamku. "Apa keparat itu sudah muncul di kampus?"

Ronald menggeleng. "Cuma Montgomery, tapi dia berubah banyak. Gosipnya berhenti gara-gara itu, dan berbalik menyerangnya. Orang-orang curiga dialah penyebab kau menghancurkan kelab. Bagaimana pun kerusakannya ada di ruangannya sendiri."

Memang aneh kalau aku yang dituduh satu-satunya bersalah. Satu-satunya gosip yang pernah riuh soal aku hanyalah menyoal Josh menargetku. Kalau dilogika ulang, bagaimana bisa target empuk semacamku berbuat anarkis tanpa sebab?

Aku mengatupkan bibir gelisah. Kabar terbaru Janet membuatku sempat curiga jika mimpi buruk itu bukan sepenuhnya mimpi.

"Jangan khawatir." Ronald menepuk-nepuk punggungku. "Besok akhirnya waktumu kuliah lagi. Ingat, tak usah pedulikan gosip orang-orang. Mereka takkan mengenangmu dalam hidup, dan mereka bakal kau lupakan dalam beberapa tahun. Oke? Yang penting kau konsentrasi untuk kuliahmu dan mengejar tugas yang tertinggal saja."

Kuakui aku agak lega saat mata kuliah memahat Pak Wahlberg dipindah pada Senin pagi, bukan Selasa lagi. Aku punya kesempatan untuk menyelesaikan tugas esai Bu Cress untuk hari Selasa, dan cukup berkonsentrasi belajar mengikir alabaster menjadi bentuk abstrak. Saat aku tiba di kampus diantar Ayah, aku sudah pasrah bahwa bentuk patungku bakal masuk aliran kubisme.

Pablo Picasso, maaf sudah meremehkanmu.

Karena aku diantar Ayah, aku datang lebih telat daripada biasanya. Bel dentang pertama sudah berbunyi. Aku setengah berlari melintasi alun-alun, menarik perhatian Pak Wahlberg yang baru saja akan menaiki tangga Cassius Hall. Ia sengaja berhenti untuk menantiku.

"Hayward." Ia mencemooh. "Sudah sembuh?"

"Ya, Pak," sapaku setengah tersengal. "Masih harus berhati-hati, tapi yah, saya tak ingin melewatkan kelas Bapak lagi."

Vincent pernah bilang aku harus jadi penjilat dulu kalau mau nilaiku aman di sisa kelas Wahlberg. Aku awalnya ogah, dan Ronald ikutan membantah, tapi Vincent serius. Aku tidak tega menyelisihinya.

"Ced!" langkahku dan Pak Wahlberg terhenti saat mendengar suara Vincent. Kami heran mendapatinya berlari dari arah gerbang juga. Rambutnya agak kusut.

"Apa-apaan kalian ini? Kalian tak pernah telat sebelumnya." Pak Wahlberg mendesis. "Terutama kau," tambahnya sambil menudingku. "Kau tak pernah bolos sampai kau berteman dekat dengan Hernandez itu. Kau membolos bergantian dengannya."

Seharusnya itu omelan yang membuatku bungkam, tetapi saat terdengar suara Ronald memanggil kami dari arah alun-alun juga, tawaku dan Vincent spontan meledak. Pak Wahlberg terperangah.

Aku yakin dia mau mengomel, tetapi segalanya terhenti saat kami menyadari bahwa jumlah mahasiswa yang berseliweran di Cassius Hall semakin banyak. Padahal museum biasanya sepi, dan hanya riuh saat mahasiswa seni teater sedang latihan drama di auditorium atas. Wajah mereka pucat dan tak sedikit dari mereka yang meminta Pak Wahlberg agar bergegas.

Kami bertiga menyusul, menerobos kerumunan yang membeludak di depan studio patung. Kami bengong. Mahasiswa-mahasiswa yang berkumpul datang dari berbagai jurusan di kampus ini—sepertinya mereka semua mahasiswa kelas pagi yang tertarik untuk belok ke Cassius Hall saat melewati alun-alun.

"Ada apa ini?" tegur Pak Wahlberg.

Seluruh wajah spontan menoleh. Aku tidak paham apa yang terjadi, tetapi itu efektif untuk menyibak kerumunan seolah menggelar karpet merah pada kami.

"Ada apa, sih?" bisik Ronald.

Studio tidak kalah menyesakkan, tetapi setidaknya ada satu petak yang cukup lapang di dalam. Petak yang seolah sakral dan tak boleh terjamah, atau sebaliknya, amat terkutuk hingga tak ada yang berani menginjaknya.

Sebab pada petak itu berdiri patung Janet Montgomery.

The MuseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang