A row of surprises, like a choo-choo train

60 15 0
                                    


Dari kuliah Pak Wahlberg kemarin, aku tahu kalau alabaster ada dua jenis. Setelah mendiskusikannya dengan Vincent, aku setuju untuk menggunakan alabaster jenis kalsit. Lebih keras daripada jenis gipsum, yang konon bisa tergores hanya dengan kuku. Aku memercayai Vincent, tetapi aku agak meragukan Ronald.

Sebenarnya aku tak peduli. Yang penting jadi. Kalau patungnya kelak dibeli orang pun, sudah pasti akan ditempatkan di dalam ruangan. Namun aku sempat skeptis, khawatir kalau nanti yang beli justru Ayah sendiri. Itu sama saja pembodohan.

Hampir tengah malam saat kami mampir di salah satu restoran di tepi luar Boston. Kami baru saja dari kota Worcester, jaraknya 44 mil dari barat Boston. Semua demi mencari toko penyuplai batu-batuan untuk kebutuhan seni, dan satu-satunya toko terbaik (yang bisa kupercaya) adalah saran Vincent tentang toko milik tetangganya dulu di Italia.

Kejutan baru malam ini. Aku tidak menduga bakal menghamburkan uang untuk bongkahan batu. Saat menyadari bahwa aku baru saja mengeluarkan sekitar 175 dolar dalam sehari (dan tiga dolar untuk makan malam kami bertiga, serta beberapa lagi untuk bensin), aku menelan ludah. Gaji Ayah tidak lagi seribuan dolar per bulan. Ayah sudah resmi pensiun, dan aku baru saja mengeluarkan sepersembilan gaji aktifnya dalam satu jam.*

Singkatnya, kondisi finansial kami ternyata tidak sebaik lima tahun yang lalu lagi.

Jariku meremang saat membayar tiga dolar ke kasir. Kuselipkan dompet ke saku belakang dan menghampiri meja kami lagi. Sepiring burger keju dan kentang goreng hangat tidak lagi membuatku bersemangat. Kayaknya akhir-akhir ini pola makanku tidak sehat.

Vincent, yang masih jijik dengan betapa berminyaknya makanan Amerika, hanya memesan salad dengan banyak telur rebus. Ia baru saja menyuap potongan selada semulut penuh, dengan mata masih terpaku pada kertas di sisi piring. Di sampingnya, Ronald ikut melongok, jarinya yang setengah berminyak menunjuk kertas. Vincent menepisnya.

"Singkirkan tangan berminyakmu." Itu pertama kalinya aku melihat Vincent melakukan kekerasan kecil, dan itu ditujukan kepada Ronald. Si tukang onar. Dan Ronald sama sekali tidak protes. Gila.

"Kau tidak salah hitung soal lebar bahu?"

"Bahu wanita itu kecil dan cenderung bundar. Apa kau tidak pernah melihat bahu wanita telanjang?"

Ronald menatap Vincent dengan jengkel. Akhirnya. "Aku tidak terlalu memerhatikan, dan aku belum pernah memahat wanita. Seberapa sering kau meniduri mereka kalau kau tahu sedetail itu?"

Vincent hanya menyeringai. Itu bukan pertanyaan untuk dijawab baginya, dan itu berarti waktunya untuk mengalihkan perhatian padaku. "Apa yang kaupikirkan?"

"Kalian tidak makan?" tanyaku, ketika garpuku hanya menggeser-geser kentang dengan lesu.

"Kau yang tampaknya butuh makan, Hayward." Vincent murni khawatir. Ia menyodorkan tisu dan mengisyaratkan pada ujung bibirku. Ah, ada saus? "Makanlah. Kau mengeluh perutmu sakit tadi siang, kan?"

"Yo, kau memang tampak akan mati." Ronald membenarkan. "Calon dokter masa tidak bisa mengurus dirinya sendiri?"

Aku sudah tak punya tenaga untuk itu. Hatiku disergap ketidaknyamanan saat membayangkan bahwa uang Ayah cepat habis, apalagi kalau aku masuk Harvard setelah ini, sementara aku belum bekerja. Pengeluaranku bakal banyak. Keperluan pameran. Hadiah dan uang saku Janet. Aduh, apa aku harus bekerja sampingan?

Aku menatap Vincent. "Apa hadiah yang bagus buat cewek tapi tidak mencekik?"

"Bagaimana kalau kau berlutut di depannya satu jam penuh? Kau calon dokter bedah, kan? Kau pasti telaten dengan jarimu."

The MuseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang