"Stop!" aku menariknya. Vincent menyusulku, dan kendati ekspresinya dipenuhi dengan keengganan, ia mau membantu untuk menarik Ronald menjauh. Sementara orang-orang bertahan, tak ada satu pun yang mau ikut campur. Pria Afrika itu terus mengumpat sambil meludah darah.
"Kembalilah ke negaramu!" Ronald meraung. "Kau takkan mendapatkan pekerjaan di sini!"
"Sudah, sudah." Aku berkutat menahan bobot tubuhnya yang masih mencoba untuk meninju si pria Afrika. Sementara lawannya berdiri dengan tertatih, matanya menggelora dalam amarah hebat dan tangannya terkepal kuat. Bagusnya, ia memilih untuk beranjak pergi ketika satu per satu pengunjung pub meninggalkan lokasi dengan terburu-buru.
Namun nasib Ronald belum berakhir. Tak lama kemudian keluar seorang pria tambun dengan wajah merah padam. "Kau dipecat!" serunya. "Keparat kau, Hernandez. Kau sama saja—kembalilah ke negaramu sana!"
Ronald terkesiap. Ia menyentak diri dari tangan-tangan kami yang masih menahannya. "Tidak!" serunya. "Orang tadi yang memulai duluan!"
"Tapi lihat apa yang telah kau perbuat!" si pemilik pub tak berkompromi lagi. Ia mengacungkan kepalan tinju di depan wajah Ronald, dan sebelum sang pemuda benar-benar membalasnya, pria tua itu tergopoh-gopoh masuk.
Ronald menarik napas dalam-dalam dan meludah. Ia lantas berputar menghadap kami. "Apa yang cecunguk macam kalian lakukan di sini?"
Aku tahu Vincent menatapku dengan pertanyaan yang sama. Mungkin ia sedari tadi penasaran mengapa aku mengajaknya ke Lower Roxbury alih-alih pub sembarangan di sekitaran Fenway. Fenway dijejali pub para mahasiswa, dan Lower Roxbury agak, yah, serampangan. Kalau Vincent mengira selera kami hampir sama, maka kuakui North End itu memang epik.
"Mendiskusikan pameran," jawabku sekenanya. "Ayo. Ikut aku."
"Kau bercanda?" Ronald menggeram. "Kau mau aku penyokkan mobilmu sekalian?"
Aku menunjuk alisku sebagai isyarat. "Kalau tidak segera, kau mungkin butuh jahitan yang lebih banyak."
Ronald membeliakkan mata. Ia menoleh pada kaca pub di sampingnya dan menyadari bahwa sebagian pipi kirinya sudah bebercak darah. Pada saat itulah, aku yakin, ia baru merasakan sengatan perih di sekujur badan dan wajah. Luka di alisnya kembali terbuka dan menganga lebar. Matanya mulai lebam.
Aku heran kenapa Ronald hanya mematung di sana alih-alih bereaksi. Dan karena setetes darah baru saja mengalir melewati pelipisnya lagi, aku langsung menariknya.
"Roth, maaf, tapi apa kami boleh ke rumahmu?"
Vincent mengatupkan bibir rapat-rapat. "Silakan."
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Aku tidak mengira kemampuanku sebagai calon dokter justru digunakan di saat seperti ini.
Kami tiba di rumah Vincent beberapa saat lalu. Tidak seperti diriku, Ronald tidak heran melihat kekacauan di lantai dasar. Atau ia memang sedang tidak ingin melihat-lihat. Tatapan matanya kosong dan ia membisu selama perjalanan tadi.