If I were a stage actor, I'd never step down from the stage

38 14 0
                                    


Aku muntah lagi, kali ini di wastafel kamar penginapan. Tenggorokanku panas sampai-sampai aku menggerung. Dengan tertartih kuraih cerek persediaan dan meneguk air dari belalainya yang dingin.

Pintu kamar penginapan didorong terbuka dan Ronald masuk. Ia membawa kantong kertas kecil dan menumpahkan bungkus obat-obatan di ranjang, termasuk satu bungkus roti tawar dan kraker asin.

Aku mengangkat pandangan menatap Ronald dari pantulan cermin.

"Kau sangat kacau, Ced." Dia menggeleng pelan. "Kau sungguhan tidak mau ke klinik?"

"Tidak." Aku menggeram.

Ronald melemparkan tatapan tajam, tetapi aku masih menangkap kecemasan pekat di kedua matanya yang kelam. Seperti Ayah saja. "Ada apa denganmu? Aku tak tahu alamatmu jadi aku cuma bisa cek ke kelab, dan ternyata kau sama sekali tidak ke sana."

Saat mengedarkan pandangan, ia baru menyadari tumpukan kanvas penuh oretan di pojok ruangan. Ia tertegun sesaat.

"Vince juga mencarimu."

Vince? Vincent? Sejak kapan mereka saling panggil nama depan?

Aku mengabaikannya, dan tanganku gemetaran saat menopang tubuhku yang berusaha duduk di tepi ranjang. Kubuka bungkusan roti tawar dan mencuil sedikit.

"Kau calon dokter," gumam Ronald pelan. "Kau mestinya tahu orang yang punya masalah ketergantungan alkohol bagaimana."

Aku calon dokter, seharusnya ... semestinya ... apa? Apakah calon dokter semestinya tidak boleh sakit? Harus punya kesabaran setebal kulit badak? Harus memaklumi ceracauan Vincent soal menyetubuhi pacarku? Harus apa? APA?

Dengan mulut penuh kunyahan roti, aku menggerutu. "Kalau kau sudah menetap cukup lama di rumahnya, seharusnya kau tahu kalau dia cuma bisa ngomong setelah minum."

Ronald menghela napas. Ia menyejajarkan pandangan kami dan berkata, "Patung pesananmu sudah mulai berbentuk."

Aku mengernyit. Aku bahkan lupa ada patung Ibu yang mesti dikerjakan ketika sudah berhadapan dengan kanvas-kanvas terbuang. "Oh." Aku berpikir sejenak. "Apa dia tidak berniat minta maaf?"

Cukup lama sampai Ronald mengangkat bahu dengan ragu.

Aku mengangguk. "Sangat jujur." Baguslah. Dan, tidak juga, sebenarnya. Aku mengibaskan tangan kepada Ronald. "Kau bisa masuk kelas kalau mau. Bu Cress tidak terlalu cerewet soal mahasiswa telat kok."

"Tidak. Aku akan mengantarmu ke rumah sakit setelah ini."

Aku ingin bertanya mengapa dia begitu mengotot untuk membantuku, tapi aku diam saja. Benakku kembali memutar reaksi Janet beberapa saat lalu di restoran.

Ini bukan kali pertama aku bertengkar dengan Janet, tetapi kenapa kali ini efeknya sangat berbeda? Aku tidak bisa menemukan sorot cahaya dari ruang gulita yang sedang kuraba-raba sekarang.

Kemudian, saat aku mencoba memikirkan skenario putus, muncul pendar lemah di sudut kepalaku.

Hari itu Ronald menyesaki kamar penginapan yang sempit. Kasur kukuasai dengan tubuh berbalut perban, sementara ia bersandar pada dinding di sisi kanvas. Jarinya menyapu permukaan kanvas-kanvas yang sudah kuoret-hapus ratusan kali itu.

Sambil makan bubur yang ia belikan tadi, aku membuka percakapan lagi. "Aku hampir menyerah. Aku tidak bisa menggambar."

"Bukan itu masalahnya. Apa kau tidak ingat wajah ibumu?"

Aku menelan bulat-bulat suapan bubur terakhir. "Sedang tidak ingat." Sebaliknya, wajah Ibu terngiang pekat di ingatan. Namun tiap kali aku mencoba menggambar lekuk bahu yang tegas dengan blus hijau, yang kuingat adalah jari-jari sosis si tentara yang merengkuhnya di sana. Saat aku menggambar kedua matanya, yang kuingat adalah binar saat menatap si tentara, bukan kesenduan saat melepas Ayah untuk perang.

The MuseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang