It wasn't supposed to happen ... was it?

38 14 0
                                    


Rumah bata merah di antara jajaran rumah-rumah tingkat tiga di Brookline kini tampak lebih cerah. Aku menyadari itu saat memarkirkan mobilku di sisi trotoar, tepat di belakang Chevrolet asing—yang mungkin milik Theo. Saat aku turun dari mobil, aku tak bisa mengabaikan lampu-lampu hangat yang menyorot terang dari jendela-jendela bersih di fasad rumah, seolah-olah siang mampir di malam yang dingin ini. Kebun-kebun sayur yang sempat semrawut sudah bersih dari ilalang dan ditanami bibit-bibit. Lincoln Continental 1940 berwarna biru tua kini mentereng di garasi terbuka.

Pintu depan terbuka sedikit. Ayah sedang memungut surat-surat dari kotak pesan saat melihatku. Dahinya mengernyit kendati wajahnya merona segar.

"Ced," panggil Ayah saat aku menaiki tangga teras. "Apa itu benar? Mantanmu hilang?"

Aku mengangkat bahu. "Pokoknya aku tidak ikut-ikutan. Aku cuma membantu detektif itu. Toh aku tidak bersalah, dan siapa tahu dia bisa membuat Fillman tertangkap atau apalah."

Dahi Ayah makin berkerut-kerut dan bibirnya terkatup tipis. "Yang penting jangan sampai terlibat masalah. Kau juga jangan berkelahi lagi, mengerti? Tapi kalau niatmu untuk membantu detektif itu, maka baguslah."

"Tenang saja." Aku meremas pundak Ayah. "Dia baik, kan?"

Sejujurnya, aku bertanya seperti itu untuk meyakinkan diriku sendiri. Namun, saat Ayah tak menunjukkan tanda-tanda menepis, aku menyunggingkan senyum lebar. Kurangkul pundak Ayah untuk membawanya masuk.

"Theo. Terima kasih sudah datang," aku menyapa saat dia sedang melihat-lihat bufet televisi di ruang duduk kami.

Theo, yang sedang menggenggam cangkir teh, seketika menaruhnya dan mengulurkan tangan. "Cedric," sapanya ramah. Tingkahnya seperti seorang alumni kampus yang sudah membantuku banyak di masa orientasi. Saat jarak kami cukup jauh dari Ayah, ia berbisik. "Aku tidak yakin bisa mengatakan banyak hal kepadamu. Beliau terlihat hampir tidak tahu apa-apa sama sekali soal Janet."

Aku tanpa sadar mengeratkan genggaman tangan pada Theo. "Jangan," kataku, dan saat pria itu mengangkat alis samar, aku menghela napas. "Maksudku, beliau gampang kepikiran. Ayo, kita bicarakan ini di dapur saja. Kau tidak keberatan kalau aku makan malam sekalian kan?"

"Nyamankan dirimu." Theo tampaknya bakal senang juga kalau aku bertingkah semena-mena alih-alih santun. "Tadi ayahmu juga menawarkan anggur tapi aku tidak bisa minum untuk saat ini."

Sembari kupersilakan Theo untuk mencicipi kue kiriman bibi tetangga, aku duduk di kursi sampingnya sambil menyantap bekal yang dibawakan Ronald tadi.

"Jadi?" tanyaku setelah makan dua suapan.

"Jadi," ulang Theo sambil memotong ujung kue dengan garpu. "Kita akan membicarakannya dengan kasual? Baiklah. Jadi kau memang mendapat telepon dari kediaman Montgomery pada tanggal sebelas, 12 hari lalu."

Aku nyaris tersedak. Theo buru-buru menyodorkan cangkir teh penuh. "Trims," kataku, kemudian minum hingga isi mulutku bersih. Selama sesaat meja makan menghening, hanya terdengar suara tawa rekaman di The Milton Berle Show dan gesekan sandal Ayah.

"Makanlah dulu."

Aku mengabaikannya. Sambil menyantap satu suap lagi, aku bertanya. "Apakah ada rekaman?"

"Tidak ada, kecuali kau memang sudah menyalakan mesin perekam sejak awal," jawab Theo, dan saat aku menatapnya kecewa, dia mengangkat bahu. "Ini memang sedang perang dingin tapi kami tak bisa menyadap banyak sekali obrolan telepon. Lagi pula keluargamu masuk ke dalam daftar bersih."

Aku menghela napas.

"Apa kau masih ingat percakapannya?" Theo meraba bagian perut, seolah mencari buku catatan yang biasa tersimpan di saku dalam mantel. Sadar bahwa ia sudah menanggalkan mantel, pria itu beranjak. "Sebentar. Kau habiskan dulu makan malammu."

The MuseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang