II, The Second Promise

42 14 1
                                    


Brookline, Boston. Tahun 1942.

Setiap hari aku dan Ibu mendengarkan radio, membiarkan berita-berita peperangan melewati lubang-lubang telinga kami tanpa ditelan. Semenjak Ayah berangkat ke Maroko, kami sudah dijanjikan kematiannya.

Napas kebahagiaanku dibekap paksa oleh seorang penculik, sementara penculik lain menyeret Ayah dari kehidupanku. Penculik-penculik ini bernama Amerika Serikat.

Lalu Ibu bertemu dengan tentara itu. Tentara rendahan yang datang ke rumah kami. Ia bukan petugas patroli yang memastikan keamanan rumah, tapi dia adalah pisau yang perlahan membedah berlapis-lapis keharmonisan rumah kami, memperlebar koyakan benang jahit yang ditarik-tarik oleh anak kecil tantrum bernama Perang. Tentara itu tidak menghunjam. Ia datang seperti jarum yang seolah akan merajut kembali, tetapi ia membawa benang yang berbeda. Ia merajut benang kasih dengan Ibu. Mencabut benang Ayah dan menggantinya dengan benang sendiri. Menarik apa yang tersisa dariku jauh-jauh, dengan buaian kasih sayang panas. Ibu terbakar rasa senang bermalam-malam. Masa kecilku terbakar hangus di depan mata.

Dengan segera, Ibu tidak lagi merasa tersayat oleh setiap kabar buruk yang datang dari Maroko. Seolah Ayah memang sudah mati. Tak ada harapan baginya untuk pulang.

Kemudian Ayah kembali.

Bukan kepalang gembiranya kami, tetapi di mataku, kabar kepulangan Ayah hanyalah suntikan euforia semata bagi Ibu. Selepasnya beliau cemas. Bagaimana menutupi benang-benang baru yang sudah terjahit itu? Mengoyaknya? Bodoh sekali kalau mengoyak lagi kulit yang sudah dijahit dua kali! Itu kulit, bukan perasaan. Ibu trauma dengan kerapuhan.

Di sinilah aku memutuskan untuk mengambil alih andil.

Di kisah-kisah perselingkuhan, anak selalu menjadi korban. Aku tak mau menjadi korban. Di usiaku yang kedua belas, aku sudah cukup dewasa untuk sadar bahwa diriku tidak bisa ditelantarkan. Aku harus melawan.

Sehingga, sebagaimana normalnya beritan peperangan dari siaran yang kudengar setiap hari—aku merasa bahwa aku berhak untuk melakukan sesuatu. Jika Amerika suka ikut campur terhadap peperangan negara lain demi kedamaian, maka aku juga berhak ikut campur untuk mengembalikan keharmonisan rumah sebelum Ayah datang.

Jadi aku melakukannya.

Namun tangis jeritan Ibu mengkhianatiku. Aku terperangah. Ibu, apa kau tidak mau kita kembali seperti sedia kala?

Semua terjadi begitu cepat setelahnya. Ibu sibuk bertelepon, menebar uang suap, memanggil pengacara yang paling tepercaya, dan segalanya. Semua agar nama Hayward tak tercoreng, aku tak ditahan, dan segalanya tertutupi sempurna dari Ayah—apalagi publik.

Kepanikan Ibu lebih cenderung pada amarah dan kekecewaan. Ini membuatku bertanya-tanya apakah Ibu tidak ingin kembali ke masa bahagia kami. Jadi, kukira upayaku sia-sia. Ditambah dengan ketakutan Ibu, maka jelaslah bahwa sebaiknya kami tak pernah berurusan dengan aparat.

Di usia dua belas tahun, aku berjanji untuk tidak pernah terlibat dengan aparat keamanan, apalagi mengungkit kesalahanku yang bagaikan noda borok di paha penderita diabetes.

Itu janji keduaku.

The MuseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang