Aku benar-benar tak nafsu makan hari itu, padahal Ronald sudah masak enak. Kubilang Ayah pasti suka, jadi Ronald tak perlu khawatir. Aku hanya cemas akan banyak hal, dan salah satunya karena Ayah tak kunjung pulang.
Kemudian, saat kedua kawanku sedang menonton The Ed Sullivan Show di televisi, telepon rumah berdering. Aku mengembuskan napas lega saat mendengar suara Ayah.
"Ced, Ayah pulang nanti, ya? Teman-temanmu masih ada, kan?"
"Ya, tapi ada apa?" aku menelan ludah. Semoga firasatku tak terwujud. Tolong, tolong.
"Jangan khawatir," kata Ayah bersemangat. "Aku bertemu Millstone dan dia mengajakku makan malam di rumahnya. Kali ini sungguhan!"
Tak terbayangkan betapa leganya hatiku saat mampu tersenyum lagi. Meski, aku agak jengkel juga saat menyadari bahwa Ayah memang sempat berbohong menyoal makan malam dengan Pak Robertson setiap hari dan pergi ke oldies pub. "Yeah, baiklah. Dokter Millstone itu yang dahulu punya dachshund paling agresif sedunia, kan?"
Ayah tertawa, membuatku bertekad untuk mengajaknya keliling kota tiap minggu kelak. "Ya, ya, anjing itu! Mills, kau masih punya anjingmu yang suka gigit itu? Ya, yang itu ... masih ada? Oh, tidak, tidak. Ced bertanya. Ya, anakku. Yang pernah dikejar dachshund-mu itu." Aku mendengar Ayah bercakap-cakap di telepon, lantas kembali padaku. "Kalau begitu taruh kunci serep dapur di impitan jendela seperti biasa, Ced. Siapa tahu aku pulang malam ini."
"Santai saja," kataku, kemudian menutup telepon. Saat aku menoleh, Vincent dan Ronald ternyata sudah mengawasiku dengan waswas.
"Ayahmu?"
"Bagaimana?"
Aku meringis. "Dia sedang reuni dengan kawan lama. Dia baik-baik saja."
Menyadari bahwa kami refleks mengembuskan napas lega bersama, kami pun cekikikan seperti anak kecil.
"Pulanglah kalian dan beristirahatlah," usirku. "Aku sudah baik-baik saja."
"Tidak baik," omel Ronald. "Bagaimana bisa kau minum obat kalau belum makan?"
"Duh, Mama, aku tadi sudah makan kentang tumbukmu."
"Hanya lima sendok!"
"Itu cukup. Nanti aku makan lagi," tukasku, dan bisa saja ini bukan dusta. Siapa tahu aku terjaga di tengah malam dan kelaparan.
Setelah memastikan bahwa aku masih bisa beraktivitas dengan baik, Vincent dan Ronald baru mau pulang. Aku mengantar mereka sampai teras dan menguap berulang kali. Usai taksi pengangkut mereka hilang dari pandangan, aku pun meregangkan tubuh.
Bodoh amat dengan segala kekacauan di luar, yang penting Ayah tidak apa-apa sekarang.
Pintu kututup saat terdengar dering telepon. Ayah lagi? Rumah kami sudah jarang menerima telepon kecuali dari tetangga. Dering pemecah kesunyian itu membuatku cemas. Sial. Aku mudah sekali kepikiran akhir-akhir ini. Semoga kabar baik Ayah tidak berubah menjadi ledakan lain lagi.
"Halo?"
"Ced?" hatiku mencelos mendengar suara Janet. "Ced? Ini Ced, bukan? Telepon rumah Hayward?"
Aku menggertakkan gigi. Nyaris kubanting gagang teleponku menutup, tetapi aku tetap bertahan.
"Halo, Ced? Tolong, jawab aku." Suara Janet agak memburu. "Maukah kau memaafkanku?"
"Apa yang kau mau?"
"Oh, Ced." Aku mengenal rengekan itu. Kedua matanya pasti berkaca-kaca sekarang. "Aku sama sekali tidak bermaksud—"
"Tidak bermaksud." Aku menyela, dan sedikit terkejut dengan ketenangan diriku. Mungkin ini efek obat? "Namun kau tidak melakukannya dengan Fillman sekali saja, kukira?"
![](https://img.wattpad.com/cover/342908816-288-k573790.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
The Muse
Narrativa Storica"𝐀𝐤𝐮 𝐭𝐚𝐡𝐮 𝐩𝐚𝐭𝐮𝐧𝐠 𝐚𝐝𝐚𝐥𝐚𝐡 𝐬𝐞𝐧𝐢 𝐦𝐞𝐧𝐠𝐚𝐛𝐚𝐝𝐢𝐤𝐚𝐧 𝐤𝐞𝐧𝐚𝐧𝐠𝐚𝐧, 𝐭𝐞𝐭𝐚𝐩𝐢 𝐡𝐚𝐫𝐮𝐬𝐤𝐚𝐡 𝐚𝐤𝐮 𝐦𝐞𝐦𝐚𝐡𝐚𝐭 𝐈𝐛𝐮 𝐝𝐚𝐧 𝐦𝐞𝐧𝐠𝐚𝐛𝐚𝐝𝐢𝐤𝐚𝐧 𝐤𝐞𝐣𝐚𝐡𝐚𝐭𝐚𝐧𝐧𝐲𝐚 𝐩𝐚𝐝𝐚 𝐤𝐚𝐦𝐢?" ⁕⁕⁕ WATTYS 2023 SH...