His, no, our madness

135 28 2
                                    


Setelah menghilangkan kekecewaan Janet dengan menjanjikan mantel baru, aku menyetir pulang. Waktu menunjukkan pukul tujuh malam. Arena perumahan kami sudah senyap, kecuali rumahku.

Aku mengernyit. Tunggu, rumahku?

Aku memarkir mobil tepat di sebelah Cadillac berwarna hijau pucat. Kalau kuperhatikan lebih dekat, mobil ini sedikit familiar, tetapi aku tidak ingat pernah melihatnya di mana.

Aku memasuki rumah yang lampu-lampunya menyala terang. Terdengar suara televisi serta canda tawa samar dari dalam. Lagi-lagi aku merasakan hal familiar dari tawa pria yang bersahutan dengan Ayah.

Kecurigaanku terbukti. Saat aku memasuki ruang duduk, aku mendapati Ayah dan Pak Wahlberg tengah menonton The Milton Berle Show—acara komedi yang sedang naik daun. Mereka sesekali tertawa, menepuk lutut mereka dan meneguk anggur bagai teman sekamar asrama. Mereka sempat tak menyadari kehadiranku sampai aku berdeham.

"Oh, Nak Hayward!"

"Halo, Pak Wahlberg." Aku menyunggingkan senyum santun. Agak aneh melihat dosenku kini sedang bercanda bersama Ayah di rumah kami.

"Bagaimana hari pertamamu kuliah, Ced? Tidak kusangka mata kuliah pertamamu adalah memahat patung!" kata Ayah, lantas berputar kepada Pak Wahlberg. " Dia tidak menyenggol patung apa-apa, kan?"

Dengan sisa tawa dari menonton, Pak Wahlberg menjawab sekenanya. "Demi Tuhan, apa dia benar-benar mewarisi kecerobohan Grace? Tidak, tidak. Hari ini belum mulai apa-apa selain tugas untuk mengikir sabun. Tiga minggu lagi dia dan kawan-kawannya baru kuajari cara untuk memahat patung."

Aku hanya memutar bola mata, tidak repot-repot untuk merespons guyonan dua pria tua itu. Rasanya cukup aneh mendengar Pak Wahlberg menyebut nama Ibu sedemikian akrab, tapi mereka memang pernah menjadi teman sekelas yang sangat akrab dan sering curi waktu untuk merokok bersama.

Kenyataannya, aku bisa mendadak masuk Fenway—setelah sepuluh tahun mempersiapkan diri masuk Harvard Medical School—juga karena Pak Wahlberg. Tak ada yang tahu soal ini sama sekali.

Aku pamit dari ruang duduk untuk mengacak-acak isi kulkas di dapur, berharap bahwa pemberian tetangga kali ini cukup enak untuk kucamil. Semenjak beberapa tahun terakhir, kami sering mendapat kiriman makanan dari beberapa tetangga secara bergantian, sebab Ayah menolak untuk mempekerjakan pelayan lagi di rumah.

Samar-samar kudengar obrolan Ayah dan Pak Wahlberg beralih dari The Milton Berle Show. Pak Wahlberg membicarakan pameran besar yang juga ia beritahukan pada kami tadi pagi. Art in America Today. Berkata bahwa Ayah mesti datang, sebab itu akan memberinya inspirasi secara nyata untuk melukis. Ah, sudah pasti Ayah menunjukkan lukisan-lukisan jeleknya kepada Pak Wahlberg.

"Aku yakin kau bisa mencoba melukis Grace setelah itu."

Aku spontan memutar tubuh, dan tepat saat itu, tatapanku bertemu dengan Ayah. Ekspresinya tak terbaca. Ia cepat-cepat memalingkan muka kepada pada Pak Wahlberg.

"Ah-hah, kau yakin begitu?" ia memaksakan tawa. "Sayangnya aku masih sangat amatiran, dan aku tak mau melukisnya dengan kemampuan seperti ini."

"Kalau kau mengejar gaya renaisans, sobat, kuakui kau memang harus belajar bertahun-tahun. Tapi gaya lukis bukan itu saja."

"Aku tidak bisa abstrak. Grace biasanya melukis abstrak, aku tak tahu apa namanya."

"Sudah pernah lihat gaya lukis Picasso yang sedang trendi? Kubisme."

Ayah membuka mulut, tetapi menutupnya lagi. "Aku sudah melihatnya," ia menjawab dengan muram. "Maaf, tapi aku lebih suka gaya lukisnya yang sebelumnya. Yang sekarang tampak seperti ... lukisan bocah SD."

The MuseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang