Breaking the third promise

50 19 1
                                    


Note: (+) for slightly nsfw content.


••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••


Oktober mampir. Sudah lama aku tidak pulang ... tidak juga saat akhir pekan. Aku tidak mengira waktu berlalu begitu cepat ketika aku menggila dengan lukisan potret Ibu. Aku selalu ingin muntah dan menangis tiap melihatnya. Rasanya aku ingin menyapukan cat hitam ke seluruh permukaan kanvas saja alih-alih mengikuti langkah demi langkah ajaran Lizzy.

Pada tahap ini, aku juga merasakan betapa kekanakan Vincent karena tak kunjung meminta maaf. Ia juga tidak lagi sering mencuri pandang. Ia bahkan pindah tempat duduk di dekat meja dosen, terutama saat mata kuliah pahat Pak Wahlberg. Dia sering sekali bertanya, mencuri perhatian Pak Wahlberg sehingga kami dibiarkan menggerus alabaster sendirian. Vincent terlihat seperti penjilat di mataku.

Herannya, aku tidak pernah benar-benar bisa membencinya. Aku tidak tahu kenapa.

Berani mengeplak Ronald tapi tidak untuk minta maaf kepadaku? Apakah itu berarti aku menempati puncak kasta? Josh terbawah, Ronald di atasnya, dan Vincent di atasnya lagi, dan aku di puncak? Tapi Josh menjotosku. Jadi ini bukan piramida, melainkan lingkar rantai tidak jelas yang bermain-main di kepalaku.

Pada hari yang sama, hari di mana aku sadar bahwa sudah lebih dari dua minggu tidak pulang, aku memutuskan untuk menelepon Ayah. Juga Janet. Namun akan kutelepon dia nanti—Ayah adalah prioritasku saat ini.



"Apa kau tidak pulang, Nak?"

Aku mengangkat pandangan, menembus jendela bilik telepon yang buram. Mahasiswa yang menempati bilik di sampingku baru saja digantikan oleh kawannya. "Mungkin minggu depan." Tangan kiriku bersandar pada telepon, mengetuk-ketuk jari gelisah.

"Ah ... sepertinya kau sangat sibuk mempersiapkan untuk pameran, ya?"

Aku menelan ludah. "Ya." Jangan. Jangan cerita apapun menyoal pameran itu. Ini seperti menjilat ludah sendiri, dan aku takkan melakukannya sampai aku benar-benar membuktikan bahwa aku bisa melukis untuk pameran.

Ada jeda sejenak, kemudian suara Ayah yang agak serak seolah tak minum berhari-hari. "Baiklah," katanya. "Kabari kalau mau pulang, ya? Atau tidak—ah, terserah kau saja ...."

"Yah?"

"Biasanya kau pulang tiap hari." Ayah terkekeh. "Dan aku biasanya mengusirmu untuk menginap di mana saja. Sekarang kau benar-benar melakukannya, ternyata agak sepi juga."

Aku menyandarkan kepala pada permukaan boks telepon yang dingin. "Aku akan pulang," kataku. "Sesegera mungkin. Aku harus menyelesaikan tugas-tugasku dengan cepat sehingga aku tak perlu membawanya ke rumah."

Lagi-lagi ada jeda, kali ini cukup lama, sampai-sampai kukira jatah teleponku sudah habis. Saat aku merogoh saku untuk mencari koin lima sen tambahan, Ayah bersuara.

"Jadi? Apa kau sudah mulai menikmati kampusmu sekarang?"

Jangan. Jangan bilang. "Sebaliknya. Kepalaku rasanya mau pecah." Itu saja cukup, kurasa. "Buku-buku medismu belum kaubereskan, kan?"

"Masih rapi di kamarmu seperti biasa."

"Bagus." Aku berdeham. "Kalau begitu sampai jumpa segera."

Setelah itu aku mencoba untuk menelepon ke rumah Janet, tetapi ibunya bilang ia sudah keluar sejak tadi. Aku mencoba menelepon kelab tetapi hanya mahasiswa baru yang menjawab, dan tak ada yang tahu.

The MuseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang