Sudahlah. Aku memang tidak bisa minum.
Vincent benar-benar memberikan wiski terbaiknya. Yah, sebenarnya aku tidak tahu apakah itu memang yang terbaik, tetapi aku tidak protes saat ia memberikan sebotol Old Forester dari tahun 1942.
"Keren," bisikku, kemudian mencobanya dan bergidik geli. Rasanya seperti mencicip legit karamel dan tembakau yang dibungkus lapisan selembut sutra.
Kini aku duduk di lantai dua rumahnya, tempat segala patung berada (kami sepakat menyebutnya sebagai Ruang Patung karena Studio Patung adalah tempat yang dimiliki Pak Wahlberg di kampus). Aku bersandar pada dinding, memandang alabaster yang sudah dirupakan bentuk kasar separuh tubuh manusia. Aku bisa mengenali dua pundaknya yang langsing, dadanya yang agak besar, dan lengkung-lengkung kasar yang menandai gaya rambutnya. Kontur wajahnya pun sudah memperlihatkan ceruk mata dan tonjolan hidung. Keren.
Aku meneguk wiski lagi—lebih tepatnya menyesap—kemudian cegukan kecil.
"Ibu sangat cantik," gumamku.
"Itu belum apa-apa, Hayward," jawab Vincent pelan. Dia duduk bersila di sisiku, mengawasiku tanpa kata sejak tadi.
Kutatap pemuda Italia itu dengan lesu. "Roth, aku minta maaf."
"Non, non." Ia menahan napas. Matanya membulat dalam kengerian. "Itu salahku, Hayward. Aku semestinya tidak ...."
"Tadi Fillman menyetubuhinya." Vincent terperangah mendengar ucapanku. "Sambil menyuruhnya untuk putus dariku."
Dan Vincent juga pernah menyarankan hal serupa. Kenapa aku tidak mendengarkannya? Yah, itu tidak perlu dijawab. Aku pun menaruh botol wiski merapat pada dinding. "Apa aku bodoh, Roth? Semua tanda-tanda itu dan aku masih mengeyel?"
Vincent diam saja. Reaksi yang paling tepat untuk saat ini.
Aku menghela napas. "Kalau kau tidak bisa memberi pencerahan, setidaknya minta maaf padaku juga. Kenapa kau tidak bilang sejak awal?" Yah, bukan berarti aku bakal percaya dia saat itu juga sih. "Kenapa kau diam saja selama berminggu-minggu? Kau tahu kalau aku dihajar Fillman?"
Vincent mengayunkan tangannya, seolah mengatakan "sudah jelas" dan pemuda itu mendekat. Kukira dia bakal menepuk-nepuk bahuku, tetapi dia memelukku. Aku melongo sesaat.
Sial. Aku belum pernah dipeluk cowok selain Ayah.
"Sejujurnya aku sangat ingin menjengukmu, Hayward." Suaranya sangat parau di pundakku. Aku sangat syok sampai tidak bisa menepuk-nepuk punggungnya balik. Ayah sudah pernah menyandarkan dagu pada bahuku, tapi saat Vincent melakukannya, rasanya geli setengah mati. "Tapi aku tidak sanggup menyelamatkan wajahku sendiri bahkan dari cermin yang kutatap. Aku sangat malu pada diriku saat sedang mabuk. Sungguh. Dan aku sangat malu karena aku pun sama bergantungnya pada alkohol agar bisa berbicara."
Aku baru saja mau membalas, tetapi Ronald sudah terlanjur muncul dari arah tangga. "Apa-apaan?" pekiknya.
Aku refleks mendorong Vincent dengan mata melotot. "Kau harus meminta maaf juga karena memelukku, sialan."
Namun Vincent hanya mengangkat alis bingung.
"Yo, Vince. Ini bukan Italia." Ronald tampaknya menyadari apa yang terjadi. "Tidak ada pelukan, tidak ada cium pipi seperti kau menyapa tetanggamu di sana."
Bahuku melemas. Oh, ternyata kebiasaan. Mendengar ini, aku bersyukur bahwa aku orang Amerika yang kadang-kadang individualis. Pulih dari keterkejutan itu, aku menatap Vincent sekali lagi. Ekspresinya penuh kebimbangan, bertanya-tanya apakah dia mendapatkan maafku atau tidak.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Muse
Ficción histórica"𝐀𝐤𝐮 𝐭𝐚𝐡𝐮 𝐩𝐚𝐭𝐮𝐧𝐠 𝐚𝐝𝐚𝐥𝐚𝐡 𝐬𝐞𝐧𝐢 𝐦𝐞𝐧𝐠𝐚𝐛𝐚𝐝𝐢𝐤𝐚𝐧 𝐤𝐞𝐧𝐚𝐧𝐠𝐚𝐧, 𝐭𝐞𝐭𝐚𝐩𝐢 𝐡𝐚𝐫𝐮𝐬𝐤𝐚𝐡 𝐚𝐤𝐮 𝐦𝐞𝐦𝐚𝐡𝐚𝐭 𝐈𝐛𝐮 𝐝𝐚𝐧 𝐦𝐞𝐧𝐠𝐚𝐛𝐚𝐝𝐢𝐤𝐚𝐧 𝐤𝐞𝐣𝐚𝐡𝐚𝐭𝐚𝐧𝐧𝐲𝐚 𝐩𝐚𝐝𝐚 𝐤𝐚𝐦𝐢?" ⁕⁕⁕ WATTYS 2023 SH...