The chamber of a thousand faces

44 13 0
                                    


Kuperhatikan patung Janet untuk keseribu kali.

Aku masih tidak yakin apakah mimpi waktu itu sungguhan mimpi atau bukan. Hanya Theo yang mampu memastikannya, tetapi aku galau betul saat ini.

Bagaimana jika itu bukan mimpi? Dadaku berdenyut nyeri saat membayangkan andai curhatan Janet adalah kenyataan. Sebab kata-katanya terasa sangat nyata bagiku. Selain keinginan untuk tiba-tiba mengembalikan uang, aku ingat satu lagi ucapan Janet.

Semacam, bahwa aku tidak bisa mencintainya karena ia begitu persis dengan Ibu. Aku tidak yakin apakah itu ucapan Janet, atau kesadaranku sendiri. Kukira itu pemikiranku sendiri, dan aku begitu malu saat kesadaran dalam mimpiku saja mampu mengingat hal tersebut.

Aku melamun, dan lagi-lagi proses patung alabasterku tidak berkembang pesat. Saat Pak Wahlberg menangkap basah, ia menyindirku lagi, dan mencari kesempatan untuk menegurku.

"Bagaimana kau bisa berpartisipasi di pameran kalau kau tidak lulus mata kuliah ini?" sentaknya, dan aku buru-buru mengalihkan pandangan dari patung Janet.

"Pak," Vincent, yang duduk di hadapanku, berkata dengan pelan. "Bisakah saya bertanya?"

Empat kata dan Vincent berhasil menyelamatkanku dari bakal omelan Pak Wahlberg. Aku refleks menghela napas lega saat Pak Wahlberg menjauh. Ronald meremas pundakku dengan simpatik.

Senin itu, ketika kelas seni pahat sudah bubar, aku masih bertahan di kelas. Ronald pergi ke toilet sementara Vincent sedang berbincang dengan teman kelas kami yang lain, memberi pendapatnya tentang patung alabaster yang mereka kikir.

Aku menghampiri patung Janet yang masih bertahan di sisi meja Pak Wahlberg. Beberapa waktu lalu sempat muncul perdebatan apakah sebaiknya patung itu dipindah, dan muncul banyak pendapat. Ada yang minta patungnya ditutup kain saja karena rasis, dan ada yang justru menyarankan agar ditaruh museum karena sudah selaiknya ditaruh di sana. Ditambah pendapat-pendapat lain, pada akhirnya tak ada yang disetujui dan patung Janet dibiarkan begitu saja. Semata-mata karena para mahasiswa jurusan seni pertunjukan tidak mau meminjamkan kain hitam mereka dan patungnya terlalu berat untuk dipindah dengan kekuatan tangan.

Kuperhatikan lekat-lekat Janet batu yang rasa malunya diabadikan sepanjang masa.

Di mana kau, Jane? Jariku saling meremas di balik punggung. Aku tahu kau pernah kabur saat ibumu mulai berulah, tapi di mana kau sekarang?

Aku menelan ludah. Meski aku mengharapkan bantuan Theo, sisi lain di lubuk hati berharap besar bahwa itu hanya mimpi. Bahwa absennya Josh dan kroco-kroconya dari kampus tidak berhubungan dengan lenyapnya Janet selama seminggu, bahkan lebih. Bukankah Josh sangat melindungi Janet? Ia tak mungkin melakukan sesuatu walau itu menyangkut uang.

Benar. Itu semestinya cuma mimpi. Hanya di mimpi Josh mampu berbuat kasar pada Janet. Di kenyataan, ia yang akan mengasariku kalau berani menyinggung Janet.

"Ayo pulang." Vincent tahu-tahu menarikku. "Waktunya melukis sekarang."

Aku menghela napas. Karena aku putus dengan Janet, maka aku mesti mengerjakan lukisan itu seorang diri. Aku sempat berpikir untuk membatalkannya, tetapi aku sudah kapok menyakiti Ayah. Aku tak mau mengulanginya lagi.

Kali ini aku khawatir tidak bisa melukis dengan benar karena terbayang-bayang lenyapnya Janet.

Bagaimana bisa aku tetap melukis sementara Janet hilang entah ke mana?

"Andai aku masih benci setengah mati dengan kampus ini, aku pasti sudah muntah cat warna-warni sekarang." Aku menggerutu saat mengikutinya keluar studio. Vincent tertawa.

The MuseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang