Cassius Hall mengingatkanku pada museum yang terpotong.
Kau tahu, museum biasanya besar--dengan ruang-ruang bersekat tinggi dan pilar-pilar dan pencahayaan super terang. Biasanya aku bakal merasa seperti dewa muda yang baru dilantik oleh Jupiter. Namun di Cassius Hall, kau merasa seperti dewa tanpa asal yang dilempar ke sudut tergelap dunia.
Cassius Hall adalah galeri yang membentang panjang, dengan pilar-pilar granit lengkung serupa ambang tanpa pintu. Ini seperti potongan lorong museum yang hanya dijejali patung-patung di tepi-tepi dinding. Cassius Hall tidak punya patung sebanyak itu. Hanya ada enam patung di sudut-sudut pilar, mayoritas adalah patung para pendiri kampus yang sama sekali tidak penting masuk ke dalam sejarah seni. Hanya ada satu patung David, yang ditaruh tepat di sudut pilar terdepan, dengan bagian alat kelaminnya berwarna lebih kotor daripada semua bagian tubuhnya.
Selama keluar masuk Cassius Hall, aku hanya pernah merasa ketakutan atau mengantuk. Tak pernah tidak. Pagi ini aku mengantuk dan agak ketakutan. Pencahayaan Cassius Hall sangat buruk; lampu-lampu fluoresens dipadamkan selama tak ada lukisan-lukisan baru dipajang. Hanya berkas sinar matahari di timur yang menyoroti patung David dan pasangannya dari arah jendela atas pintu. Tirai-tirai tebal merah darah bekas auditorium atas menutupi jendela-jendela di sepanjang galeri, dan tak ada yang berminat menarik.
Kawan-kawanku menganggap ini suasana renungan pagi yang inspiratif. Aku merasa seperti satpam magang di museum horor terbengkalai. Cassius Hall sama sekali tidak membuatku girang seperti saat mengunjungi Museum Ngengat di Italia, sepuluh tahun lalu.
Tapi ini adalah kandang kami selama satu tahun belakangan. Dan tiga tahun ke depan.
Pak Wahlberg--satu-satunya dosen mata kuliah seni ukir dan pahat--akhirnya masuk. Ia membuka pintu ganda museum seperti pemilik yang berhak, dan ada seorang pemuda di sisinya. Ia tidak seperti para seniman muda yang lain, dan kupikir Pak Wahlberg akhirnya mendapatkan asisten dosen yang pantas.
"Pagi, para seniman muda." Pak Wahlberg datang bagai selebriti di karpet merah. Kami buru-buru bergeser merapat ke dinding saat ia melintas. Asisten dosennya mengekori, usai menutup pintu dengan perlahan dan melenggang tanpa suara.
Gadis-gadis berbisik di depan dan di sampingku. Mereka saling menarik rok, menyenggol bahu satu sama lain yang sudah berdesakan, dan lempar seringai penuh kode. Sekali lagi, akhirnya ada dosen muda di Fenway.
Pak Wahlberg bersandar di pedestal tertinggi di Cassius Hall--tingginya tepat sebahu dan ia melipat tangan penuh kepuasan. Sisa pendar mentari timur menyinari rambut sebahunya yang dicat hijau tua.
"Seni patung. Akhirnya." Ia menyeringai lebar sembari menatap satu per satu wajah kami. "Selamat datang di dunia ukir-mengukir yang tidak hanya mengandalkan kreativitas, tetapi kesabaran luar biasa dan ketelatenan."
Untuk pertama kalinya, aku yakin aku bakal mengulang sebuah mata kuliah.
"Kalian beruntung menjadi mahasiswa semester tiga di tahun ini. Ada banyak kesempatan untuk berkembang dan mengharumkan nama Fenway." Pak Wahlberg menoleh kepada asistennya. "Pertama-tama, teman baru kalian adalah seorang kurator muda dari museum ikonik di Italia."
Pak Wahlberg mempersilakan pemuda itu--yang ternyata mahasiswa--dengan sopan dan penuh kekaguman. Aku mencium aroma penjilat, tapi kali ini berbalik.
"Bangsat." Ronald menghela napas saat pemuda di depan memperkenalkan diri sebagai Vincent Roth. Aku terkekeh pelan. "Bocah Eropa lagi."
"Apalagi Italia," bisikku.
"Ciao Bella."
Aku pura-pura mengusap wajah untuk menyembunyikan senyum geli di wajah. Ronald mulai membisikkan kata-kata Italia yang umum bertebaran. Come sta? Bene grazie. Apa bahasa Italia dari 'keparat kau'? Ia harus bertanya pada si Roth itu.
![](https://img.wattpad.com/cover/342908816-288-k573790.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
The Muse
Ficción histórica"𝐀𝐤𝐮 𝐭𝐚𝐡𝐮 𝐩𝐚𝐭𝐮𝐧𝐠 𝐚𝐝𝐚𝐥𝐚𝐡 𝐬𝐞𝐧𝐢 𝐦𝐞𝐧𝐠𝐚𝐛𝐚𝐝𝐢𝐤𝐚𝐧 𝐤𝐞𝐧𝐚𝐧𝐠𝐚𝐧, 𝐭𝐞𝐭𝐚𝐩𝐢 𝐡𝐚𝐫𝐮𝐬𝐤𝐚𝐡 𝐚𝐤𝐮 𝐦𝐞𝐦𝐚𝐡𝐚𝐭 𝐈𝐛𝐮 𝐝𝐚𝐧 𝐦𝐞𝐧𝐠𝐚𝐛𝐚𝐝𝐢𝐤𝐚𝐧 𝐤𝐞𝐣𝐚𝐡𝐚𝐭𝐚𝐧𝐧𝐲𝐚 𝐩𝐚𝐝𝐚 𝐤𝐚𝐦𝐢?" ⁕⁕⁕ WATTYS 2023 SH...